Thursday, June 21, 2012

Pendidikan karakter dan defek moral


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
     Manusia merupakan makhluk sosial yang mana dalam hidupnya ia tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan orang lain, demikian pula sebaliknya, setiap individu akan membutuhkan individu lainnya untuk memenuhi setiap kebuthannya. Kebutuhan manusia yang sifatnya tidak terbatas menjadikan manusia semakin bergantung satu sama lainnya dan juga dengan alam di sekitarnya.
     Manusia tidak serta merta dapat menetukan langkah hidupnya sebagai makhluk sosial, tetapi ada sustu proses yang harus dilaluinya. Diawali dengan adanya sosialisasi dalam keluarga semasa kanak-kanaknya hingga berada langsung di tengah-tengah masyarakat luas sebagai orang dewasa.
     Umumnya manusia akan mengalami masa pra sekolah, di masa itu manusia mendapatkan pendidikan terutama dari kedua orang tuanya. Mas selanjutnya adalah masa sekolah. Pada masa sekolah manusia akan mendapatkan pendidikan formal dari orang-orang yang disebut sebagai guru.
     Guru berkewajiban memanusiakan manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Guru juga mempunyai beban moral untuk membimbing peserta didiknya agar mendapatkan sosialisasi yang sempurna di bawah bimbingannya. Seorang guru harus memiliki kualifikasi tertentu agar tidak salah asuhan terhadap peserta didiknya yang akan menjadi generasi penerus kelak.
     Guru yang tidak memenuhi kompetensi tidak selalu menghasilkan peserta didik yang mengalami penyimpangan. Dewasa ini, lingkungan juga sangat mempengaruhi tigkah laku peserta didik itu sendiri setelah menjadi manusia dewasa.
     Banyak kasus-kasus korupsi yang terungkap setelah negara mengalami kerugian yang sangat besar oleh beberapa oknum. Oknum-oknum tersebut tentulah orang berpendidikan yang pernah merasakan dunia sekolah dalam hidupnya hingga ia menduduki jabatan tertentu dan memungkinkan ia melakukan tindak korupsi.
     Permasalahan seperti halnya korupsi bukan berarti kesalahan guru pada masa sekolahnya dahulu. Lingkungan biasanya menuntut seseorang untuk mendapatkan hal lebih dari yang ia inginkan dan lebih dari kemampuannya untuk memiliki sesuatu tersebut secara normal, hingga bisa tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme itu bisa dilakukan.
     Guru memiliki peran besar dalam hal ini. seorang guru yang baik dan kompeten harus mampu mengatasi dan mencegah defek moral peserta didiknya sejak awal dan menanamkan pendidikan karakter yang kuat dalam diri peserta didiknya sehingga akan terus melakat dalam jiwa peserta didik tersebut hingga ia dewasa kelak.
     Untuk memahami dan lebih jelasnya lagi, sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Kewarganegaraan yang kelak menjadi guru PKn yang tentunya identik dengan moralitas dan nasionalisme tentunya sangat penting untuk mengetahui kriteria guru Pkn yang baik sehingga mampu mencegah dan mengatasi defek moral yang terjadi di sekitar kita.
     Selain itu, studi kasus korupsi “Syarifudin dan Nazarudin” akan memperkuat pemahaman materi mata kuliah Korupsi Patologi Sosial dengan cara mengemukakan gagasan dan ide berdasarkan teori dan konsep yang berlaku secara umum.

B.     Rumusan  Masalah
     Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dirumuskanlah beberapa permaslahan sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah cara mengubah atau mengatasi defek moral?
2.      Bagaimanakah kriteria calon guru Pkn yang baik pada saat sekarang ini?
3.      Bagaimanakah kasus Syarifudin dan Nazarudin dalam sudut pandang etika dan normatif?
4.      Apa sajakah fenomena yang berkaitan dengan kasus Syarifudin dan Nazarudin?

C.    Tujuan Penulisan
     Adapun tujuan dari penulisan makalah ini sejalan dengan rumusan masalah yang ada, yaitu untuk:
1.      Memberikan informasi tentang cara mengubah dan mengatasi defek moral
2.      Menjabarkan kriteria calon guru PKn dan Moral Pancasila yang baik
3.      Membahas kasus Syarifudin dan Nazarudin dari sudut pandang etika dan normatif
4.      Menjelaskan dan memberikan argumen tentang kasus Syarifudin dan Nazarudin dan kaitannya terhadap white coral crime, nasionalisme, dan upaya melarikan diri dari masalah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Cara Mengubah atau Mengatasi Defek Moral
     Moral berasal dari Bahasa Latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adap kebiasaan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perkatan dan perbuatan. Secara istilah, moral merupakan istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai kehendak, pendapat atau perbuatan secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, dan buruk.
     Dengan demikian, moral dapat diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk memberikan batsan terhadap aktivitas manusia dengan nilai ayau ketentuan berupa baik-buruk maupun benar-salah. Orang yang bermoral dapat diartikan sebagai orang yang berkelakuan baik dalam kehidupan sehari-harinya. Adapun yang menjadi tolak uukr penentuan perbuatan baik atau buruk adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang serta sedang berlangsung di masyarakat, sedangkan etika menentukan nilai perbuatan manusia baik dan buruk yang tolak ukurnya adalah akal rasio manusia. Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan, dan lainnya yang berlaku di dalam masyarakat.
     Dalam kehidupan bermasyarakat ada anak-anak yang mengalami perkembangan pribadi yang regresif serta kerusakan pada fungsi intelektualnya, sehingga interrelasi kemanusiaannya menjadi miksin, beku, steril tanpa afeksi yang adakalanya disertai penolakan terhadap super-ego dan hati nurani sendiri hingga akhirnya muncul kebekuan moral.
     Anak-anak yang demikian itu digolongkan pada kelompo defek (cacat) moral. Orientasi sosialnya rusak, hal itu menyebabkan mereka menjadi autis dan psikotis. Mereka mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang buruk, dan sifatnya sangat egois. Pada umumya mereka melakukan tindakan yang meledak-ledak tanpa belas kasihan, tanpa ampun, dan tidak mengenal belas kasihan. Hatinya beku membatu tanpa afeksi sama sekali.
     Anak yang mengalami defek moral di masa kecilnya kebanyakan akan menjadi orang dewasa yang defisien moral. Ketika seorang anak pada masa mudanya mengalami defek moral karena pengaruh lingkungan yang kejam dan buruk, di kemudian hari mereka mengembangkan kecenderungan-kecenderungan kriminal, dimana ancaman dan hukuman tidak mempan mencegah dan melarang perbuatan mereka. Adapun ciri-ciri orang yang mengalami defek moral antara lain ialah sebagai berikut:
1.      Secara fisik dan organik mereka normal bahkan ada yang sangat pandai dan briliant, pintar berbicara, dan cerdik menarik. Tapi mereka keras kepala, banyak tingkah, tidak bisa diperhitungkan, mudah berubah, dan sangat munfik.
2.      Tiak toleran, suka melanggar aturan, disiplin, norma, dan otoritas. Mereka jadi penyimpang dan penjahat yang permanen.
3.      Sangat sombong, ada penilaian lebih terhadap diri sendiri, tidak tahu malu, tidak tahu harga diri, tidak bisa belajar dan pengalaman-pengalaman terutama kebaikan.
4.      Tidak tahu belas kasih, tanpa mengenal afeksi, tidak pernah merasa bersalah atau berdosa, dan mau menang sendiri. Sangat egosentris, tidak mau memperdulikan hak orang lain sehingga selalu menghina dan menerjang perasaan orang lain dengan perangainya yang sangat kasar.
5.      Tidak punya kesadaran bertanggung jawab secara susila.
     Setelah mengetahui ciri-ciri orang yang mengalami defek moral secara gamblang maka harus dilakukan upaya untuk mengubah atau mengatasi permasalahan tersebut.yaitu dengan cara memberikan pendidikan moral guna menyelamatkan generasi yang akan datang.
1.         Pendidikan moral di awali dari lingkungan keluarga. Pertama adalah mengharmoniskan hubungan Ibu dan Bapak, sehingga dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya.
2.         Memberikan bimbingan kerohanian bagi anak, sehingga ia mengenal Tuhan dan mengerti arti ketuhanan. Karena pendidikan moral yang paling baik terdapat dalam agama, karena nilai moral yang dapat dipatuhi dengan suka rela, tanpa ada paksaan dari luar, hanya dari kesadaran diri, datangnya dari keyakinan beragama.
3.         Sebagai orang tua wajib memberikan bimbingan pada anak-anaknya, jangan sampai membiarkan anak-anaknya tumbuh tanpa bimbingan, atau hanya diserahkan pada guru di sekolah.
4.         Orang tua memberikan jaminan atas segala kebutuhan anaknya, baik fisk maupun psikis dan sosial. Sehingga si anak merasa tentram dan hidup tenang tanpa kekecewaan.
5.         Memerikan dukungan padanya pada saat ia berada dalam amsa sekolah. Hendaknya sekolah menjadi lapangan yang baik bagi penumbuhan dan pengembangan mental dan moral anak didik, di samping tempat pemberian pengetahuan, pendidikan keterampilan dan pengembangan bakat dan kecerdasan.
6.         segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan (pengajaran baik guru, buku, peraturan dan alat-alat di sekolah) dapat membawanya pada mental yang sehat, moral yang tinggi dan pengembangan bakat, sehingga anak itu dapat lega dan tenang dalam pertumbuhan dan jiwanya tidak terguncang.
7.         Mengusahakan supaya masyarakat, termasuk pemimpin dan penguasanya menyadari betapa pentingnya masalah pendidikan anak, terutama pendidikan agama.
8.         Segala macam buku, gambar, tulisan, dan bacaan yang akan membawa kerusakan moral anak perlu dilarang peredarannya. Semua itu akan merusak mental dan moral generasi muda, yang sekaligus akan menghancurkan masa depan bangsa kita.
     Dengan mengetahui cara-cara tersebut diharapkan setiap orang yang melihat dan merasakan adanya orang lain yang mengalami defek moral di sekitarnya dapat mengubah dan mengatsi permasalahan tersebut.

B.     Kriteria Calon Guru PKn dan Moral Pancasila yang Baik
     Untuk menjadi seorang guru yang baik tentunya para calon guru haruslah memenuhi kriteria tertentu yang merupakan kompetensi dan kualifikasi tertentu. Kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen  dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
     Seorang guru dalam mengemban tugasnya harus berdasarkan pada kode etik tertentu yang harus dipatuhi. Mengacu pada kode etik guru yang berlaku saat ini, maka seorang calon guru PKn harus memiliki beberapa sikap berikut ini:
1.      Ihklas dalam mengajarkan ilmu yang dimilikinya dengan hanya mengharapkan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Mampu memandang peserta didiknya seperti anaknya sendiri kelak agar tidak melakukan hal-hal yang mengecewakan dan melukai mereka
3.      Bijaksana dalam mengajar, yang berarti dapat mengambil suatu sistem dan metode mengajar yang tepat.
4.      Dapat memperkirakan dan menentukan waktu yang tepat untuk mengajar sehingga peserta didik tidak bosan
5.      memberikan teladan yang baik bagi peserta didiknya kelak.
     Dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan dalam pasal 10 bahwa kompetensi guru meliputi hal-hal berikut ini:
1.      Kompetensi pedagogik, adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik
2.      Kompetensi kepribadian, adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik
3.      Kompetensi sosial, adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
4.      Kompetensi profesional, adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.
     Sebagai calon guru tentunya itu harus ditumbuhkan bahkan sebelum menjadi seorang guru, karena nantinya akan berkutat di lingkungan pendidikan yang menuntut empat hal tersebut. Guru yang baik dalam mengajar adalah guru yang memiliki beberapa karakteristik dan kompetensi yang dibutuhkan dalam proses mengajar. Secara garis besarnya, seorang guru dituntut untuk memiliki karakteristik pribadi, karakteristik profesional, dan karakteristik keahlian. Tiga kualitas tersebut merupakan karakteristik utama yang menentukan kualitas suatu pembelajaran.
     Dalam mengemban suatu tugas dan tanggung jawab, tentu tidak boleh menganggap enteng dan melakukannya secara setengah-setengah. Profesi guru hendaknya diemban sebagai amanah dan panggilan jiwa dan bukan hanya karena keterpaksaan atau ikut-ikutan saja. Oleh karenanya, calon guru yang baik harus memiliki kriteria berikut ini berdasarkan fakta di lapangan yang menunjukkan banyaknya guru yang melaksanakan tugasnya hanya karena keterpaksaan dan ikut-ikutan saja, yaitu:
1.      Memiliki minat yang besar terhadap mata pelajaran yang kelak akan diajarkannya, dalam hal ini tentunya PKn dan Moral Pancasila.
2.      Memiliki kecakapan untuk memperkirakan kepribadian dan suasana hati secra tepat sehingga tidak mengganggu proses belajar mengajar terutama di kelas
3.      Memiliki kesabaran, keakraban, dan sensitivitas yang diperlukan untuk menumbuhkan semangat belajar
4.      Memiliki pemikiran yang imajinatif (konseptual) dan praktis dalam usaha memberi penjelasan pada siswanya kelak.
5.      Memiliki kualifikasi memadai dalam bidangnya baik isi maupun metode mengajar
6.      Memiliki sikap terbuka dan luwes dalam enggunakan metode mengajar agar anak tidak bosan dan sesuia dengan perkembangan zaman.
     Dari semua kriteria calon guru Pkn dan Moral Pancasila yang telah dijelaskan di atas, bila dihayati dengan baik dan kemudian diterapkan ketika menjadi guru kelak, tentunya akan memberikan dampak positif bagi generasi yang akan datang dan dapat menekan terjadinya defek moral.

C.    Kasus Syarifudin dan Nazarudin dalam Sudut Pandang Etika dan Normatif
     Baik Syarifudin maupun Nazarudin, keduanya berkecimpung dalam dunia politik. Bila faktanya terjadi kasus yang melibatkan keduanya sampai ke ranah hukum tentunya hal tersebut bertentangan dengan etika yang berklaku dalam dunia politik, karena semuanya telah diatur dengan aturan dan sanksi yang jelas pula.
     Brhanuddin Salam (1196:113) menjelaskan bahwa satu keyakinan yang selalu ada dalam pandangan etika ialah bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Politik dalam pandangan etika tidak lebih dari suatu alat. Hanyalah alat yang berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia.
     Etika sebagai suatu pengetahuan, fungsinya juga adalah sebagai alat membantu menyadarkan orang-orang yang dipercayakan memegang salah satu dari tugas pemerintahan, supaya bersedia melandasi kekuasaan dengan rasa etik. Rasa etik yang dimaksud tidak lain adalah etika pancasila.
     Etika yang dijiwai oleh falsafah negara Pancasila, disebutkan etika Pancasila, yaitu meliputi:
1. Etika yang berjiwa Ketuhanan Yang Esa
2. Etika yang berprikemanusiaan
3. Etika yang dijiwai oleh rasa kesatuan nasional
4. Etika yang berjiwa demokrasi
5. Etika yang berkeadilan sosial.
Kasus Syarifudin dan Nazarudin merupakan kasus korupsi yang tentunya sangat merugikan negara dan menyengsarakan rakyat banyak. Dari sudut pandang etika, kasus itu berarti mengandung unsur penyalahgunaan kepercayaan, meremehkan tanggung jawab moral yang dituntut orang banyak, sekaligus merupakan penyimpangan terhadap norma hukum dan sosial.
Pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme seperti halnya Syarifudin dan Nazarudin telah mengorbankan perasaan batinnya, mengingkari ajaran dosa yang diwujudkan pada tindak membohongi dan memeras orang lain, rakus menerima sesuatu yang seharusnya diberikan pada negara, bersekongkol dengan pihak lain dalam melakukan pelanggaran hukum demi keuntungan pribadi dan menodai janji yang diikrarkan demi Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan dari sudut pandang normatif, sudah barang pasti bahwa kasus keduanya merupakan hal yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan aturan yang berlaku di masyarakat.
Menyikapi kasus ini, maka yang harus mendapatkan sorotan saat ini adalah para aparat penegak hukum. Karena, persoalan Nazarudin ini sebenarnya berawal dari masalah hukum dan masalah hukum hanya bisa diselesaikan kalau Nazarudi bisa ditangkap atau didatangkan.
Meskipun seluruh rakyat Indonesia mendesak agar kasus ini dibuka seterang-terangnya. Rakyat memang tidak serta merta menyampaikan kekecewaannya, namun mereka akan mengingat setiap tindakan yang menyimpang, dan melanggar hukum yang dilakukan oleh para politisi semisal Syarifudin dan juga Nazarudin. Tentunya rakyat berharap agar hukum di terapkan dan ditegakkan di republik ini, mengadili para pelu korupsi ke pengadilan dan tnjukkan kesalahan-kesalahan sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar mereka, yang demikian itu berarti pendekatan secara normatif.

D.    Kasus Syarifudin dan Nazarudin dan Kaitannya dengan Sakitnya Pelaku Kejahatan di Luar Negeri, White Coral Crime, dan Nasionalisme
     Kasus syarifudin dan Nazarudin mampu membuka mata kita semua sebagai warga yang melek hukum. Bukan sesuatu yang baru lagi jika para pelaku kejahatan banyak yang terserang penyakit sehingga dengan kemampuan finansialnya memungkinkan untuk berobat ke luar negri.
     Kebetulan ataupun tidak, sakitnya para pelaku kejahatan itu umumnya hampir selalu bertepatan dengan waktunya pemanggilan dan pemeriksaan secara hukum oleh pihak yang berwenang. Dengan kata lain dapat diartikan sebagai tindakan melarikan diri.
     Perilaku melarikan diri para pelaku kejahatan itu menunjukkan menurunnya rasa nasionalisme sebagai warga negara Indonesia. Tindak pidana korupsi itu sendiri sudah bertolak belakang dengan nasionalisme, terlebih lagi bila ditambah dengan upaya menghindar dan melarikan diri.
     Dewasa ini, hasil pengamatan para ahli tidak dapat dipungkiri, rasa nasionalisme bangsa kita sangatlah menipis, bahkan terancam punah. Yang muncul adalah Ikatan Primordialisme, yang berkiblat pada ikatan kesukuan, keagamaan, dan atau antar golongan.
     Korupsi yang talah membudaya di Indonesia telah membuat kerusakan-kerusakan parah bahakan sampai kepada budaya perilaku masyarakat lapisan bawah yang memandang korupsi sebagai bagian dari sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, dan pemerintahan. Sekalipun dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi muali dari UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001 yang dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa akibat dari tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Korupsi tidak hanya sekedar merusak keuangan negara, akan tetapi merusak seluruh sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, bangsa dan negara yang berdaulat.
     Kasus Syarifudin dan Nazarudin juga ada kaitannya dengan white colar crime. Menurut Coleman (1985:5), white colar crime adalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang yang dilakukan dalam pekerjaan yang dihormati dan sah. Aktivitas tersebut bertujuan untuk mendapatkan uang.
     Kasus tindak pidana korupsi dalam white coral crime termasuk ke dalam organizational crime. Albanses (1987:7), mengkonsepkan organizational sebagai kejahatan yang didasarkan timbul maupun adanya rencana dan tipu muslihat, namun tidak terbaatas pada kejahatan berhubungan dengan pekerjaan. Kejahatan itu dilakukan berdasarkan kesempatan yang diciptakan melalui pekerjaan yang legal. Itu berarti korupsi memang mungkin dilakukan oleh siapapun yang tidak memiliki hati nurani dan rasa nasionalisme tinggi.
     Berbagai macam kasus yang berkaitan dengan moral seperti halnya korupsi tidak akan terjadi bila setiap individu yang menduduki suatu jabatan tertentu memiliki kepribadian dan karakter yang kuat. Pendidikan karakter itu harus ditanamkan sejak usia pra sekolah dan seterusnya. Itu berarti orang tua, guru serta lingkungan sangat berperan dalam menentukan moral individu tersebut ke depannya.










BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
                 Berdasarkan pembahasan materi pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Defek moral dapat diubah dan diatasi dengan cara memberikan pendidikan moral sejak anak dalam masa pra sekolah yang kemudian diperkuat melalui lingkungan sekolah dan masyarakat dimana ia berada melalui pendidikan karakternya.
2.      Kriteria yang baik bagi calon guru akan menjadi bekal yang baik bila dihayati dan diterapkan kelak ketika menjalankan profesi guru
3.      Korupsi merupakan penyakit moral yang termasuk dalam white coral crime yang menandakan menipisnya rasa nasionalisme.

B.   Saran
                 Berdasarkan simpulan yang ada, maka penulis memberikan beberapa saran bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan berhubungan dengan adanya makalah dengan tema serupa, diantaranya adalah:
1.      Tanamkan pendidikan karakter dalam diri anak sejak dini
2.      Berikan dukungan rohani kepada siapapun untuk mengenalkannya pada Tuhan dan memahami arti ketuhanan sehingga ia akan menghindari hal-hal yang tidak Tuhan kehendaki
3.      Jadilah guru Pkn yang baik dengan menhayati setiap kriteria yang telah penulis coba ajukan dalam makalah ini berdasarkan acuan-acuan tertentu









DAFTAR PUSTAKA

Majid, Abdul. 2011. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: PT Remaja Rosda Karya Bandung
Salam, Burhanuddin. 1996. Etika Sosial. Bandung: Penerbit Rineka Cipta
Soekanto, Soerjono. 1980. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Rajawali Grasindo Persada
http://alsaindonesia.org/site/tindak-pidana-korupsi-dan-rasa-nasionalisme-bangsa/

0 komentar:

Post a Comment

 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design