BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan
makhluk sosial yang mana dalam hidupnya ia tidak akan mampu berdiri sendiri
tanpa adanya campur tangan orang lain, demikian pula sebaliknya, setiap
individu akan membutuhkan individu lainnya untuk memenuhi setiap kebuthannya.
Kebutuhan manusia yang sifatnya tidak terbatas menjadikan manusia semakin
bergantung satu sama lainnya dan juga dengan alam di sekitarnya.
Manusia tidak serta merta dapat menetukan
langkah hidupnya sebagai makhluk sosial, tetapi ada sustu proses yang harus
dilaluinya. Diawali dengan adanya sosialisasi dalam keluarga semasa
kanak-kanaknya hingga berada langsung di tengah-tengah masyarakat luas sebagai
orang dewasa.
Umumnya manusia akan mengalami masa pra
sekolah, di masa itu manusia mendapatkan pendidikan terutama dari kedua orang
tuanya. Mas selanjutnya adalah masa sekolah. Pada masa sekolah manusia akan
mendapatkan pendidikan formal dari orang-orang yang disebut sebagai guru.
Guru berkewajiban memanusiakan manusia
untuk mencapai tujuan tertentu. Guru juga mempunyai beban moral untuk
membimbing peserta didiknya agar mendapatkan sosialisasi yang sempurna di bawah
bimbingannya. Seorang guru harus memiliki kualifikasi tertentu agar tidak salah
asuhan terhadap peserta didiknya yang akan menjadi generasi penerus kelak.
Guru yang tidak memenuhi kompetensi tidak
selalu menghasilkan peserta didik yang mengalami penyimpangan. Dewasa ini,
lingkungan juga sangat mempengaruhi tigkah laku peserta didik itu sendiri
setelah menjadi manusia dewasa.
Banyak kasus-kasus korupsi yang terungkap
setelah negara mengalami kerugian yang sangat besar oleh beberapa oknum.
Oknum-oknum tersebut tentulah orang berpendidikan yang pernah merasakan dunia
sekolah dalam hidupnya hingga ia menduduki jabatan tertentu dan memungkinkan ia
melakukan tindak korupsi.
Permasalahan seperti halnya korupsi bukan
berarti kesalahan guru pada masa sekolahnya dahulu. Lingkungan biasanya
menuntut seseorang untuk mendapatkan hal lebih dari yang ia inginkan dan lebih
dari kemampuannya untuk memiliki sesuatu tersebut secara normal, hingga bisa
tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme itu bisa dilakukan.
Guru memiliki peran besar dalam hal ini.
seorang guru yang baik dan kompeten harus mampu mengatasi dan mencegah defek
moral peserta didiknya sejak awal dan menanamkan pendidikan karakter yang kuat
dalam diri peserta didiknya sehingga akan terus melakat dalam jiwa peserta
didik tersebut hingga ia dewasa kelak.
Untuk memahami dan lebih jelasnya lagi,
sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Kewarganegaraan yang kelak menjadi guru
PKn yang tentunya identik dengan moralitas dan nasionalisme tentunya sangat
penting untuk mengetahui kriteria guru Pkn yang baik sehingga mampu mencegah
dan mengatasi defek moral yang terjadi di sekitar kita.
Selain itu, studi kasus korupsi “Syarifudin
dan Nazarudin” akan memperkuat pemahaman materi mata kuliah Korupsi Patologi Sosial
dengan cara mengemukakan gagasan dan ide berdasarkan teori dan konsep yang
berlaku secara umum.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah dikemukakan, maka dirumuskanlah beberapa permaslahan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah
cara mengubah atau mengatasi defek moral?
2. Bagaimanakah
kriteria calon guru Pkn yang baik pada saat sekarang ini?
3. Bagaimanakah
kasus Syarifudin dan Nazarudin dalam sudut pandang etika dan normatif?
4. Apa
sajakah fenomena yang berkaitan dengan kasus Syarifudin dan Nazarudin?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini sejalan dengan rumusan masalah yang ada, yaitu untuk:
1. Memberikan
informasi tentang cara mengubah dan mengatasi defek moral
2. Menjabarkan
kriteria calon guru PKn dan Moral Pancasila yang baik
3. Membahas
kasus Syarifudin dan Nazarudin dari sudut pandang etika dan normatif
4. Menjelaskan
dan memberikan argumen tentang kasus Syarifudin dan Nazarudin dan kaitannya
terhadap white coral crime, nasionalisme, dan upaya melarikan diri dari
masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Cara Mengubah atau Mengatasi Defek Moral
Moral berasal dari
Bahasa Latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adap kebiasaan. Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik
buruk terhadap perkatan dan perbuatan. Secara istilah, moral merupakan istilah
yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai kehendak,
pendapat atau perbuatan secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, dan
buruk.
Dengan demikian, moral dapat diartikan
sebagai istilah yang digunakan untuk memberikan batsan terhadap aktivitas manusia
dengan nilai ayau ketentuan berupa baik-buruk maupun benar-salah. Orang yang
bermoral dapat diartikan sebagai orang yang berkelakuan baik dalam kehidupan
sehari-harinya. Adapun yang menjadi tolak uukr penentuan perbuatan baik atau
buruk adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang serta sedang berlangsung di
masyarakat, sedangkan etika menentukan nilai perbuatan manusia baik dan buruk
yang tolak ukurnya adalah akal rasio manusia. Dengan demikian tolak ukur yang
digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat,
kebiasaan, dan lainnya yang berlaku di dalam masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat ada anak-anak
yang mengalami perkembangan pribadi yang regresif serta kerusakan pada fungsi
intelektualnya, sehingga interrelasi kemanusiaannya menjadi miksin, beku,
steril tanpa afeksi yang adakalanya disertai penolakan terhadap super-ego dan
hati nurani sendiri hingga akhirnya muncul kebekuan moral.
Anak-anak yang demikian itu digolongkan
pada kelompo defek (cacat) moral. Orientasi sosialnya rusak, hal itu
menyebabkan mereka menjadi autis dan psikotis. Mereka mudah dipengaruhi oleh
hal-hal yang buruk, dan sifatnya sangat egois. Pada umumya mereka melakukan
tindakan yang meledak-ledak tanpa belas kasihan, tanpa ampun, dan tidak
mengenal belas kasihan. Hatinya beku membatu tanpa afeksi sama sekali.
Anak yang mengalami defek moral di masa
kecilnya kebanyakan akan menjadi orang dewasa yang defisien moral. Ketika
seorang anak pada masa mudanya mengalami defek moral karena pengaruh lingkungan
yang kejam dan buruk, di kemudian hari mereka mengembangkan kecenderungan-kecenderungan
kriminal, dimana ancaman dan hukuman tidak mempan mencegah dan melarang
perbuatan mereka. Adapun ciri-ciri orang yang mengalami defek moral antara lain
ialah sebagai berikut:
1. Secara
fisik dan organik mereka normal bahkan ada yang sangat pandai dan briliant,
pintar berbicara, dan cerdik menarik. Tapi mereka keras kepala, banyak tingkah,
tidak bisa diperhitungkan, mudah berubah, dan sangat munfik.
2. Tiak
toleran, suka melanggar aturan, disiplin, norma, dan otoritas. Mereka jadi
penyimpang dan penjahat yang permanen.
3. Sangat
sombong, ada penilaian lebih terhadap diri sendiri, tidak tahu malu, tidak tahu
harga diri, tidak bisa belajar dan pengalaman-pengalaman terutama kebaikan.
4. Tidak
tahu belas kasih, tanpa mengenal afeksi, tidak pernah merasa bersalah atau
berdosa, dan mau menang sendiri. Sangat egosentris, tidak mau memperdulikan hak
orang lain sehingga selalu menghina dan menerjang perasaan orang lain dengan
perangainya yang sangat kasar.
5. Tidak
punya kesadaran bertanggung jawab secara susila.
Setelah
mengetahui ciri-ciri orang yang mengalami defek moral secara gamblang maka
harus dilakukan upaya untuk mengubah atau mengatasi permasalahan tersebut.yaitu
dengan cara memberikan pendidikan moral guna menyelamatkan generasi yang akan
datang.
1.
Pendidikan moral
di awali dari lingkungan keluarga. Pertama adalah mengharmoniskan hubungan Ibu
dan Bapak, sehingga dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya.
2.
Memberikan
bimbingan kerohanian bagi anak, sehingga ia mengenal Tuhan dan mengerti arti
ketuhanan. Karena pendidikan moral yang paling baik terdapat dalam agama,
karena nilai moral yang dapat dipatuhi dengan suka rela, tanpa ada paksaan dari
luar, hanya dari kesadaran diri, datangnya dari keyakinan beragama.
3.
Sebagai orang
tua wajib memberikan bimbingan pada anak-anaknya, jangan sampai membiarkan
anak-anaknya tumbuh tanpa bimbingan, atau hanya diserahkan pada guru di
sekolah.
4.
Orang tua
memberikan jaminan atas segala kebutuhan anaknya, baik fisk maupun psikis dan
sosial. Sehingga si anak merasa tentram dan hidup tenang tanpa kekecewaan.
5.
Memerikan
dukungan padanya pada saat ia berada dalam amsa sekolah. Hendaknya sekolah
menjadi lapangan yang baik bagi penumbuhan dan pengembangan mental dan moral
anak didik, di samping tempat pemberian pengetahuan, pendidikan keterampilan
dan pengembangan bakat dan kecerdasan.
6.
segala sesuatu
yang berhubungan dengan pendidikan (pengajaran baik guru, buku, peraturan dan
alat-alat di sekolah) dapat membawanya pada mental yang sehat, moral yang
tinggi dan pengembangan bakat, sehingga anak itu dapat lega dan tenang dalam
pertumbuhan dan jiwanya tidak terguncang.
7.
Mengusahakan
supaya masyarakat, termasuk pemimpin dan penguasanya menyadari betapa
pentingnya masalah pendidikan anak, terutama pendidikan agama.
8.
Segala macam buku,
gambar, tulisan, dan bacaan yang akan membawa kerusakan moral anak perlu
dilarang peredarannya. Semua itu akan merusak mental dan moral generasi muda,
yang sekaligus akan menghancurkan masa depan bangsa kita.
Dengan
mengetahui cara-cara tersebut diharapkan setiap orang yang melihat dan
merasakan adanya orang lain yang mengalami defek moral di sekitarnya dapat
mengubah dan mengatsi permasalahan tersebut.
B. Kriteria Calon Guru PKn dan Moral Pancasila yang
Baik
Untuk menjadi seorang
guru yang baik tentunya para calon guru haruslah memenuhi kriteria tertentu
yang merupakan kompetensi dan kualifikasi tertentu. Kompetensi merupakan
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki,
dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen
dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Seorang guru dalam mengemban tugasnya harus
berdasarkan pada kode etik tertentu yang harus dipatuhi. Mengacu pada kode etik
guru yang berlaku saat ini, maka seorang calon guru PKn harus memiliki beberapa
sikap berikut ini:
1.
Ihklas dalam
mengajarkan ilmu yang dimilikinya dengan hanya mengharapkan keridhaan Tuhan
Yang Maha Esa.
2.
Mampu memandang
peserta didiknya seperti anaknya sendiri kelak agar tidak melakukan hal-hal
yang mengecewakan dan melukai mereka
3.
Bijaksana dalam
mengajar, yang berarti dapat mengambil suatu sistem dan metode mengajar yang
tepat.
4.
Dapat
memperkirakan dan menentukan waktu yang tepat untuk mengajar sehingga peserta
didik tidak bosan
5.
memberikan
teladan yang baik bagi peserta didiknya kelak.
Dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, dijelaskan dalam pasal 10 bahwa kompetensi guru meliputi hal-hal berikut
ini:
1.
Kompetensi
pedagogik, adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik
2.
Kompetensi
kepribadian, adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif,
dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik
3.
Kompetensi
sosial, adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara
efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta
didik, dan masyarakat sekitar.
4.
Kompetensi
profesional, adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan
mendalam.
Sebagai calon guru tentunya itu harus
ditumbuhkan bahkan sebelum menjadi seorang guru, karena nantinya akan berkutat
di lingkungan pendidikan yang menuntut empat hal tersebut. Guru yang baik dalam
mengajar adalah guru yang memiliki beberapa karakteristik dan kompetensi yang
dibutuhkan dalam proses mengajar. Secara garis besarnya, seorang guru dituntut
untuk memiliki karakteristik pribadi, karakteristik profesional, dan
karakteristik keahlian. Tiga kualitas tersebut merupakan karakteristik utama
yang menentukan kualitas suatu pembelajaran.
Dalam mengemban suatu tugas dan tanggung
jawab, tentu tidak boleh menganggap enteng dan melakukannya secara setengah-setengah.
Profesi guru hendaknya diemban sebagai amanah dan panggilan jiwa dan bukan
hanya karena keterpaksaan atau ikut-ikutan saja. Oleh karenanya, calon guru
yang baik harus memiliki kriteria berikut ini berdasarkan fakta di lapangan
yang menunjukkan banyaknya guru yang melaksanakan tugasnya hanya karena
keterpaksaan dan ikut-ikutan saja, yaitu:
1.
Memiliki minat
yang besar terhadap mata pelajaran yang kelak akan diajarkannya, dalam hal ini
tentunya PKn dan Moral Pancasila.
2.
Memiliki
kecakapan untuk memperkirakan kepribadian dan suasana hati secra tepat sehingga
tidak mengganggu proses belajar mengajar terutama di kelas
3.
Memiliki
kesabaran, keakraban, dan sensitivitas yang diperlukan untuk menumbuhkan semangat
belajar
4.
Memiliki
pemikiran yang imajinatif (konseptual) dan praktis dalam usaha memberi
penjelasan pada siswanya kelak.
5.
Memiliki
kualifikasi memadai dalam bidangnya baik isi maupun metode mengajar
6.
Memiliki sikap
terbuka dan luwes dalam enggunakan metode mengajar agar anak tidak bosan dan
sesuia dengan perkembangan zaman.
Dari semua kriteria calon guru Pkn dan
Moral Pancasila yang telah dijelaskan di atas, bila dihayati dengan baik dan
kemudian diterapkan ketika menjadi guru kelak, tentunya akan memberikan dampak
positif bagi generasi yang akan datang dan dapat menekan terjadinya defek
moral.
C. Kasus Syarifudin dan Nazarudin dalam Sudut Pandang
Etika dan Normatif
Baik Syarifudin maupun Nazarudin,
keduanya berkecimpung dalam dunia politik. Bila faktanya terjadi kasus yang
melibatkan keduanya sampai ke ranah hukum tentunya hal tersebut bertentangan
dengan etika yang berklaku dalam dunia politik, karena semuanya telah diatur
dengan aturan dan sanksi yang jelas pula.
Brhanuddin Salam (1196:113) menjelaskan
bahwa satu keyakinan yang selalu ada dalam pandangan etika ialah bahwa pada
dasarnya manusia itu baik. Politik dalam pandangan etika tidak lebih dari suatu
alat. Hanyalah alat yang berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia.
Etika sebagai suatu pengetahuan, fungsinya
juga adalah sebagai alat membantu menyadarkan orang-orang yang dipercayakan
memegang salah satu dari tugas pemerintahan, supaya bersedia melandasi
kekuasaan dengan rasa etik. Rasa etik yang dimaksud tidak lain adalah etika
pancasila.
Etika yang dijiwai oleh falsafah negara
Pancasila, disebutkan etika Pancasila, yaitu meliputi:
1.
Etika yang berjiwa Ketuhanan Yang Esa
2.
Etika yang berprikemanusiaan
3.
Etika yang dijiwai oleh rasa kesatuan nasional
4.
Etika yang berjiwa demokrasi
5.
Etika yang berkeadilan sosial.
Kasus
Syarifudin dan Nazarudin merupakan kasus korupsi yang tentunya sangat merugikan
negara dan menyengsarakan rakyat banyak. Dari sudut pandang etika, kasus itu
berarti mengandung unsur penyalahgunaan kepercayaan, meremehkan tanggung jawab
moral yang dituntut orang banyak, sekaligus merupakan penyimpangan terhadap
norma hukum dan sosial.
Pelaku
korupsi, kolusi, dan nepotisme seperti halnya Syarifudin dan Nazarudin telah
mengorbankan perasaan batinnya, mengingkari ajaran dosa yang diwujudkan pada
tindak membohongi dan memeras orang lain, rakus menerima sesuatu yang
seharusnya diberikan pada negara, bersekongkol dengan pihak lain dalam
melakukan pelanggaran hukum demi keuntungan pribadi dan menodai janji yang
diikrarkan demi Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan
dari sudut pandang normatif, sudah barang pasti bahwa kasus keduanya merupakan
hal yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan aturan yang berlaku di
masyarakat.
Menyikapi
kasus ini, maka yang harus mendapatkan sorotan saat ini adalah para aparat
penegak hukum. Karena, persoalan Nazarudin ini sebenarnya berawal dari masalah
hukum dan masalah hukum hanya bisa diselesaikan kalau Nazarudi bisa ditangkap
atau didatangkan.
Meskipun
seluruh rakyat Indonesia mendesak agar kasus ini dibuka seterang-terangnya.
Rakyat memang tidak serta merta menyampaikan kekecewaannya, namun mereka akan
mengingat setiap tindakan yang menyimpang, dan melanggar hukum yang dilakukan
oleh para politisi semisal Syarifudin dan juga Nazarudin. Tentunya rakyat
berharap agar hukum di terapkan dan ditegakkan di republik ini, mengadili para
pelu korupsi ke pengadilan dan tnjukkan kesalahan-kesalahan sesuai dengan
pasal-pasal yang dilanggar mereka, yang demikian itu berarti pendekatan secara
normatif.
D.
Kasus
Syarifudin dan Nazarudin dan Kaitannya dengan Sakitnya Pelaku Kejahatan di Luar
Negeri, White Coral Crime, dan Nasionalisme
Kasus syarifudin dan
Nazarudin mampu membuka mata kita semua sebagai warga yang melek hukum. Bukan
sesuatu yang baru lagi jika para pelaku kejahatan banyak yang terserang
penyakit sehingga dengan kemampuan finansialnya memungkinkan untuk berobat ke
luar negri.
Kebetulan ataupun tidak, sakitnya para
pelaku kejahatan itu umumnya hampir selalu bertepatan dengan waktunya
pemanggilan dan pemeriksaan secara hukum oleh pihak yang berwenang. Dengan kata
lain dapat diartikan sebagai tindakan melarikan diri.
Perilaku melarikan diri para pelaku
kejahatan itu menunjukkan menurunnya rasa nasionalisme sebagai warga negara
Indonesia. Tindak pidana korupsi itu sendiri sudah bertolak belakang dengan
nasionalisme, terlebih lagi bila ditambah dengan upaya menghindar dan melarikan
diri.
Dewasa ini, hasil pengamatan para ahli
tidak dapat dipungkiri, rasa nasionalisme bangsa kita sangatlah menipis, bahkan
terancam punah. Yang muncul adalah Ikatan Primordialisme, yang berkiblat pada
ikatan kesukuan, keagamaan, dan atau antar golongan.
Korupsi yang talah membudaya di Indonesia
telah membuat kerusakan-kerusakan parah bahakan sampai kepada budaya perilaku
masyarakat lapisan bawah yang memandang korupsi sebagai bagian dari sistem sosial,
politik, ekonomi, hukum, dan pemerintahan. Sekalipun dalam Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi muali dari UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20
tahun 2001 yang dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa akibat dari tindak
pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan
nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Korupsi tidak hanya sekedar merusak
keuangan negara, akan tetapi merusak seluruh sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, bangsa dan negara yang berdaulat.
Kasus Syarifudin dan Nazarudin juga ada
kaitannya dengan white colar crime. Menurut Coleman (1985:5), white colar crime
adalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang yang
dilakukan dalam pekerjaan yang dihormati dan sah. Aktivitas tersebut bertujuan
untuk mendapatkan uang.
Kasus tindak pidana korupsi dalam white
coral crime termasuk ke dalam organizational crime. Albanses (1987:7),
mengkonsepkan organizational sebagai kejahatan yang didasarkan timbul maupun
adanya rencana dan tipu muslihat, namun tidak terbaatas pada kejahatan
berhubungan dengan pekerjaan. Kejahatan itu dilakukan berdasarkan kesempatan
yang diciptakan melalui pekerjaan yang legal. Itu berarti korupsi memang
mungkin dilakukan oleh siapapun yang tidak memiliki hati nurani dan rasa
nasionalisme tinggi.
Berbagai macam kasus yang berkaitan dengan
moral seperti halnya korupsi tidak akan terjadi bila setiap individu yang
menduduki suatu jabatan tertentu memiliki kepribadian dan karakter yang kuat.
Pendidikan karakter itu harus ditanamkan sejak usia pra sekolah dan seterusnya.
Itu berarti orang tua, guru serta lingkungan sangat berperan dalam menentukan
moral individu tersebut ke depannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan materi pada bab
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
1. Defek moral dapat diubah dan diatasi dengan
cara memberikan pendidikan moral sejak anak dalam masa pra sekolah yang
kemudian diperkuat melalui lingkungan sekolah dan masyarakat dimana ia berada
melalui pendidikan karakternya.
2. Kriteria yang baik bagi calon guru akan menjadi
bekal yang baik bila dihayati dan diterapkan kelak ketika menjalankan profesi
guru
3. Korupsi merupakan penyakit moral yang termasuk dalam
white coral crime yang menandakan menipisnya rasa nasionalisme.
B.
Saran
Berdasarkan simpulan yang ada, maka penulis
memberikan beberapa saran bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan berhubungan
dengan adanya makalah dengan tema serupa, diantaranya adalah:
1. Tanamkan pendidikan karakter dalam diri anak
sejak dini
2. Berikan dukungan rohani kepada siapapun untuk
mengenalkannya pada Tuhan dan memahami arti ketuhanan sehingga ia akan
menghindari hal-hal yang tidak Tuhan kehendaki
3. Jadilah guru Pkn yang baik dengan menhayati
setiap kriteria yang telah penulis coba ajukan dalam makalah ini berdasarkan
acuan-acuan tertentu
DAFTAR
PUSTAKA
Majid, Abdul. 2011. Perencanaan Pembelajaran.
Jakarta: PT Remaja Rosda Karya Bandung
Salam, Burhanuddin. 1996. Etika Sosial. Bandung:
Penerbit Rineka Cipta
Soekanto, Soerjono. 1980. Pokok-pokok Sosiologi
Hukum. Jakarta: PT Rajawali Grasindo Persada
http://alsaindonesia.org/site/tindak-pidana-korupsi-dan-rasa-nasionalisme-bangsa/
0 komentar:
Post a Comment