foto pribadi |
“Saya punya
teman sekelas, seorang akhwat. Saya suka akhwat itu dan berusaha untuk
mendapatkan hatinya”.
Sejujurnya
saya agak kaget waktu beliau menyampaikan hal itu. Saya berusaha menyimak
kembali apa yang beliau sampaikan. Beliau menceritakan bahwa akhwat itu
selalu mengingatkan teman-teman sekelasnya untuk bangun melaksanakan tahajud,
meskipun teman-teman tidak ada yang membalas, ia tetap melakukan hal itu setiap
hari. Maka demi dapat merebut hati sang akhwat, beliau berusaha untuk
bangun dan segera membalas pesan itu.
Tentu saja awalnya
hanya membalas pesannya dan tidak shalat. Hari-hari selanjutnya beliau mulai
shalat tahajud juga. Begitu seterusnya hingga sang akhwat mengenali
beliau. Alangkah senangnya hati yang sedang kasmaran itu, do’a-do’a yang
dipanjatkan pun seputar maksud hati untuk bisa dekat dengan akhwat
tersebut. Sampai akhirnya mereka lulus dan malanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi. Beliau masih menaruh harapan yang sama, yakni bisa
mendapatkan hati sang akhwat.
Saya pikir
begitukah kekuatan cinta? Membuat orang berjuang melakukan hal yang sebelumnya
tidak bisa dilakukan, bahkan sekarang menjadi mudah untuk melakukannya berulang-ulang.
Cinta seorang ikhwan kepada akhwat yang dalam pandangannya sangat
sholehah dan cantik rupanya.
“Kemudian
saya mendapat kabar bahwa akhwat yang selama ini saya kejar dan saya dekati
akan segera menikah”.
Betapa terkejutnya
saya. Padahal saya sering juga mendengar, bahwa berdo’a di sepertiga malam
bagaikan anak panah yang melesat tepat pada sasarannya, Allah akan kabulkan do’a
kita. Keheranan yang saya alami, juga beliau rasakan saat itu. Beliau kecewa
dan merasa percuma saja selama ini sudah bangun lebih awal, tahajud, dan berdo’a
tapi akhirnya akhwat itu menikah dengan orang lain. Sampai akhirnya
beliau memutuskan untuk berhenti shalat tahajud meskipun bangun tepat pada
waktunya.
“Tapi saya
kemudian sadar, selama ini niat saya tahajud memang bukan karena Allah, tapi
karena dia. Akhirnya saya berusaha memperbaiki niat, supaya Allah ridha dan
melakukan ini hanya karena Allah saja”.
Akhirnya
beliau memutuskan untuk move on, tentunya ke jalan yang lebih baik dan
terus berusaha mendekat pada Allah. Beliau juga menyampaikan sebagaimana juga diriwayatkan dalam hadits, segala sesuatu
itu tergantung pada niatnya. Kalau sekarang kita belum bisa (atau belum berani)
berniat yang baik karena Allah, lakukan hal-hal yang baik sampai menjadi
kebiasaan, maka ketika kita dan hidayah saling mendekat, lebih mudah bagi kita
untuk meluruskan niat.
Kajian sore
hari itu ditutup dengan kalimat yang penuh dengan motivasi dari beliau. Bahwa ketika
kita merasa sedang jatuh, menginginkan sesuatu, dan juga bahagia, pulang dan berlabuhlah
pada Allah, karena harapan pada manusia memang akan berakhir pada kekecewaan
semata. Ternyata ini adalah kekuatan cinta yang benar, yaitu ketika kita
melakukan kesalahan, kita diingatkan dan ketika kita berada di jalan kebenaran
saat itu pula kita sedang berbagi kebaikan.
Saya
pun jadi semakin berpikir, ketika saya sedang jatuh cinta, apakah cinta ini benar
karena Allah dan hanya akan bermuara untuk Allah? Bagaimana denganmu?.
===
Cerita itu adalah atas dasar pengalaman
nyata dari seseorang yang saya dengarkan langsung dalam sebuah kajian, beliau
saat ini sedang menempuh Pendidikan profesi dokter di salah satu universitas
negeri di Solo dan sering menjadi pembicara di lingkungan dakwah mahasiswa. Beliau
juga aktif menulis buku. Semoga beliau bisa menjadi dokter yang baik dan
tentunya sholeh, serta apa yang beliau sampaikan bisa menjadi ilmu yang
bermanfaat. Aamiin. Saya ingin nantinya punya anak yang sholeh, pandai, dan dicintai Allah.