Tepat sudah 14 hari aku di rumah aja.
Lusa sudah berganti menjadi April. Beberapa orang menghubungiku, bertanya
tentang kabarku, kondisi disini, dan hal penting serta ndak penting lainnya. Hal
yang agak sering kuterima adalah, kamu ndak bosan sendirian di rumah? Sini biar
ndak bosan? Atau ayok ngobrol biar ndak bosan. Padahal biar kupikir
bagaimanapun, aku sama sekali belum merasa bosan dengan kondisi sekarang ini.
Alhamdulillah, sehat dan baik. Begitu
yang bisa kukabarkan. Namun kemudian kutambahkan juga, Alhamdulillah sehat dan
ini baik nian, karena ternyata kondisi ini membuatku semakin banyak tahu hal
yang tentu saja baru. Mungkin kalian juga begitu. Suka citaku saja yang boleh
jadi lebih daripada kalian. Tentu saja kita harus tetap sama prihatin dan duka
mendalam dengan adanya pandemi ini.
Selama masa social distancing
begini, aku yang adaptif ya wajar saja kalau hasilnya begini. Tapi mungkin ini
bisa meredakan isi kepalaku yang penuh dengan oh ternyata… kalau gini, gimana
ya? Lalu kalau gitu? Ini apa sih? Dan lain sebagainya.
1.
Lockdown
Dari mulai yang bercanda sampai yang serius, aku
percaya semua pada awalnya. Aku sempat merasa lockdown bukan hal yang
sulit dilakukan. Tinggal suruh saja semuanya, kalau memang pemerintah begitu tinggi
marwahnya, kan kami pun akan turut serta. Beberapa tulisan kubaca, sampai ndak kukira
lagi banyaknya tulisan yang kubaca. Pada akhirnya aku simpulkan, oh ternyata
ndak semudah itu.
Menutup semua akses berarti benar-benar harus sudah
siap. Paling penting menurutku menyiapkan mental. Aku saja yang mengaku begini
adaptif terhadap tempat baru, kondisi baru, nyatanya di awal masa work from
home juga terkejut karena jam enam pagi sudah siap berangkat ke sekolah, padahal
sudah saatnya di rumah aja, tubuh yang biasa bergerak tiba-tiba harus punya
rutinitas baru, konon bisa menyebabkan stress bagi beberapa orang. Aku sempat
juga khawatir, kalau gajiku dipotong bagaimana kondisi finansialku bulan ini? Sedangkan
aku begitu tertib menuliskan apa yang akan dan yang ndak akan aku lakukan,
beserta alternatifnya.
Kemudian ada kabar lockdown? Iya, dan yang diminta
adalah lockdown Indonesia. Aku langsung terbayang geografi di kelas XI
tentang ketahanan pangan, di semester genap ada mitigasi bencana, ada
penelitian geografi di kelas X, rencana tata ruang wilayah di kelas XII,
sebentar saja.. kepalaku langsung penuh. Lalu aku lupa dengan lockdown. Optimis
kita bisa melalui ini semua.
Jadi aku ketika ditanya kabar, kujawab sehat dan baik.
Ketika ditanya sudah nikah atau belum?, nah itu ku-lockdown kau.
2.
Zoom
Sekarang ini aku berkenalan dengan zoom untuk kali
pertama. Iya aku tahu ada aplikasi yang namanya zoom berikut fungsinya. Tapi
tahu saja memang benar ndak akan bisa mengerti. Selama anak-anak harus belajar
di rumah, aku merasa jadi guru yang malas nian belajar selama ini. Padahal setiap
malam aku selalu belajar. Belajar geografi, belajar perkembangan peserta didik,
dan hal-hal hikmah lainnya yang akan aku bagikan pada anak-anak di kelas. Ternyata
semakin hari, makin banyaklah yang belum aku tahu.
Intinya aku jadi tahu banyak media pembelajaran, banyak
web keren yang isinya materi yang bagus untukku dan tentu saja bisa diakses
juga oleh anak-anak. Tapi sejauh ini aku baru pakai zoom untuk ngobrol dengan
teman-teman, rapat online, dan tentu saja dengan anak.
Untuk bapak dan ibu guru, bisa juga pakai google classroom
yang ternyata di lapangan disingkat menjadi gcr. Menurutku gcr mudah dimengerti
dan mudah diakses. Untuk kegiatan tatap muka bisa juga menggunakan google
hangout, tapi pesertanya terbatas. Ada juga portal rumah belajar dari
kemendikbud, yang sayangnya menurutku sulit diakses (aku yang agak ndak sabar),
payah juga untuk anak-anak buat akun di kelas maya. Quizziz yang seru nian,
warna-warni menarik seperti juga halnya kahoot. Kemudian ada webex, tapi aku
belum pernah coba.
Mungkin setelah pandemic covid19 ini berlalu, aku bisa
minta keluarga untuk pasang aplikasi zoom dihandphone atau laptopnya,
jadi kami bisa ramai-ramai ngobrol ndak bergantian video call lewat WhatsApp.
3.
Cuci Tangan
Ini bukan cuci tangan seperti lempar batu sembunyi
tangan ya. Sebelum masa work from home ini, aku sudah lumayan tertib
cuci tangan. Tapi ndak pakai sabun. Ya pakai kalau ada, tapi di sekolah kadang
ndak ada juga sabunnya dan aku juga ndak bawa sabun cuci tangan ke sekolah. Setiap
setelah pakai kaos kaki, aku akan cuci tangan. Mau makan juga cuci tangan,
walau makannya pakai sendok. Sebelum mengajar dan setelah mengajar. Jadi dengan
cuci tangan ini aku ndak terlalu terkejut.
Aku tahu lho cuci tangan yang baik dan dibenarkan itu
bagaimana. Tapi jarang aku praktikkan karena selama ini cuci tangan bagiku
adalah kebiasaan. Sedangkan saat ini cuci tangan meningkat menjadi kebutuhan.
Cuci tangan merupakan langkah mudah dan aman untuk
melindungi diri dari virus corona COVID-19, tetapi tidak banyak yang tahu
bagaimana cara mencuci tangan yang benar. Berikut tata cara mencuci tangan yang
direkomendasikan WHO.
·
Basahi tangan dengan air.
·
Tuang sabun pada tangan secukupnya untuk
menutupi semua permukaan tangan.
·
Gosok telapak tangan yang satu ke telapak tangan
lainnya.
·
Gosok punggung tangan dan sela jari.
·
Gosok punggung jari ke telapak tangan dengan
posisi jari saling bertautan.
·
Genggam dan basuh ibu jari dengan posisi
memutar.
·
Gosok bagian ujung jari ke telapak tangan agar
bagian kuku terkena sabun.
·
Gosok tangan yang bersabun dengan air mengalir.
·
Keringkan tangan dengan lap sekali pakai
4.
Hoax
Kemarin ditanya, kamu kenapa sih anti nian sama berita
hoax? Ya apa iya itu harus aku jawab juga?. Bukan hanya satu dua tulisan yang
aku baca sejak lama tentang dampaknya menyebarkan berita hoax, belum lagi
ujaran kebencian. Sekolah kami di Pining, pernah kulihat guru-gurunya sampai
membuat video kampanye menentang hoax. Sayang nian aku sudah ndak ada disana
waktu video itu dibuat.
Banyak berita yang mantap nian judulnya, baik tata
kalimatnya, mendayu, syahdu, mengiris hati, mendobrak semangat, ternyata hoax. Sementara
bersamaan dengan itu adalah fitnah, dusta, dan memecah belah persatuan.
Pernah juga karena malas membaca dan ndak teliti, aku
meneruskan berita hoax. Rasanya malu, kesal, dan menyesal. Padahal mudah saja
aku cek, banyak fasilitas untuk mengecek apakah berita itu fakta atau hoax, aku
pernah cari dan itu bisa dilakukan di
stophoax.id.
Selain empat hal yang ingin kutekankan
itu, aku juga berusaha lebih menghargai momen di rumah aja. Bisa telpon keluarga
setiap saat tanpa bilang “Nanti yaa, sekarang mau ngajar dulu”. Menjaga jarak,
apalagi dengan yang ndak halal tu kan. Jadi lebih memperhatikan Indonesia
daripada hari sebelumnya. Menyimak kajian pranikah dengan tenang dan ndak malu
kalau senyum-senyum sendiri. Jadwalku padat dan aku ndak merasa bosan.
Banyak hal yang bisa dilakukan
selama di rumah aja. Dinikmati dan disyukuri. Untuk orang-orang yang bahkan
sampai kehilangan pekerjaannya karena masa ini, boleh jadi itu terasa berat,
maka kuharapkan dengan khusyuk, semoga Allah gantikan dengan yang lebih baik
dan penuh keberkahan. Pada masa ini ada orang-orang yang kehilangan anggota
keluarganya, semoga lapang hatinya dan terus laju semangat hidupnya. Untuk yang
masih memaksakan diri untuk ndak turut serta menjaga jarak dan memutus rantai pandemi
padahal ndak perlu pula ia berlalu-lalang di luar sana, ndak kah kau itu tega
nian?.
===
Kutulis ini karena…
- Beginikah rasanya jaga jarak?
- Terketuk keyboardku,
karena pertanyaan dari kakak o
- Ini adalah tulisan khusus untuk
kakak o yang sedang belajar sejarah padahal dia guru geografi
- Aku rindu anak-anakku
- Di rumah aja!