Monday, March 30, 2020

Social Distancing


Tepat sudah 14 hari aku di rumah aja. Lusa sudah berganti menjadi April. Beberapa orang menghubungiku, bertanya tentang kabarku, kondisi disini, dan hal penting serta ndak penting lainnya. Hal yang agak sering kuterima adalah, kamu ndak bosan sendirian di rumah? Sini biar ndak bosan? Atau ayok ngobrol biar ndak bosan. Padahal biar kupikir bagaimanapun, aku sama sekali belum merasa bosan dengan kondisi sekarang ini.
Alhamdulillah, sehat dan baik. Begitu yang bisa kukabarkan. Namun kemudian kutambahkan juga, Alhamdulillah sehat dan ini baik nian, karena ternyata kondisi ini membuatku semakin banyak tahu hal yang tentu saja baru. Mungkin kalian juga begitu. Suka citaku saja yang boleh jadi lebih daripada kalian. Tentu saja kita harus tetap sama prihatin dan duka mendalam dengan adanya pandemi ini.
Selama masa social distancing begini, aku yang adaptif ya wajar saja kalau hasilnya begini. Tapi mungkin ini bisa meredakan isi kepalaku yang penuh dengan oh ternyata… kalau gini, gimana ya? Lalu kalau gitu? Ini apa sih? Dan lain sebagainya.
1.       Lockdown
Dari mulai yang bercanda sampai yang serius, aku percaya semua pada awalnya. Aku sempat merasa lockdown bukan hal yang sulit dilakukan. Tinggal suruh saja semuanya, kalau memang pemerintah begitu tinggi marwahnya, kan kami pun akan turut serta. Beberapa tulisan kubaca, sampai ndak kukira lagi banyaknya tulisan yang kubaca. Pada akhirnya aku simpulkan, oh ternyata ndak semudah itu.
Menutup semua akses berarti benar-benar harus sudah siap. Paling penting menurutku menyiapkan mental. Aku saja yang mengaku begini adaptif terhadap tempat baru, kondisi baru, nyatanya di awal masa work from home juga terkejut karena jam enam pagi sudah siap berangkat ke sekolah, padahal sudah saatnya di rumah aja, tubuh yang biasa bergerak tiba-tiba harus punya rutinitas baru, konon bisa menyebabkan stress bagi beberapa orang. Aku sempat juga khawatir, kalau gajiku dipotong bagaimana kondisi finansialku bulan ini? Sedangkan aku begitu tertib menuliskan apa yang akan dan yang ndak akan aku lakukan, beserta alternatifnya.
Kemudian ada kabar lockdown? Iya, dan yang diminta adalah lockdown Indonesia. Aku langsung terbayang geografi di kelas XI tentang ketahanan pangan, di semester genap ada mitigasi bencana, ada penelitian geografi di kelas X, rencana tata ruang wilayah di kelas XII, sebentar saja.. kepalaku langsung penuh. Lalu aku lupa dengan lockdown. Optimis kita bisa melalui ini semua.
Jadi aku ketika ditanya kabar, kujawab sehat dan baik. Ketika ditanya sudah nikah atau belum?, nah itu ku-lockdown kau.

2.       Zoom
Sekarang ini aku berkenalan dengan zoom untuk kali pertama. Iya aku tahu ada aplikasi yang namanya zoom berikut fungsinya. Tapi tahu saja memang benar ndak akan bisa mengerti. Selama anak-anak harus belajar di rumah, aku merasa jadi guru yang malas nian belajar selama ini. Padahal setiap malam aku selalu belajar. Belajar geografi, belajar perkembangan peserta didik, dan hal-hal hikmah lainnya yang akan aku bagikan pada anak-anak di kelas. Ternyata semakin hari, makin banyaklah yang belum aku tahu.
Intinya aku jadi tahu banyak media pembelajaran, banyak web keren yang isinya materi yang bagus untukku dan tentu saja bisa diakses juga oleh anak-anak. Tapi sejauh ini aku baru pakai zoom untuk ngobrol dengan teman-teman, rapat online, dan tentu saja dengan anak.
Untuk bapak dan ibu guru, bisa juga pakai google classroom yang ternyata di lapangan disingkat menjadi gcr. Menurutku gcr mudah dimengerti dan mudah diakses. Untuk kegiatan tatap muka bisa juga menggunakan google hangout, tapi pesertanya terbatas. Ada juga portal rumah belajar dari kemendikbud, yang sayangnya menurutku sulit diakses (aku yang agak ndak sabar), payah juga untuk anak-anak buat akun di kelas maya. Quizziz yang seru nian, warna-warni menarik seperti juga halnya kahoot. Kemudian ada webex, tapi aku belum pernah coba.
Mungkin setelah pandemic covid19 ini berlalu, aku bisa minta keluarga untuk pasang aplikasi zoom dihandphone atau laptopnya, jadi kami bisa ramai-ramai ngobrol ndak bergantian video call lewat WhatsApp.

3.       Cuci Tangan
Ini bukan cuci tangan seperti lempar batu sembunyi tangan ya. Sebelum masa work from home ini, aku sudah lumayan tertib cuci tangan. Tapi ndak pakai sabun. Ya pakai kalau ada, tapi di sekolah kadang ndak ada juga sabunnya dan aku juga ndak bawa sabun cuci tangan ke sekolah. Setiap setelah pakai kaos kaki, aku akan cuci tangan. Mau makan juga cuci tangan, walau makannya pakai sendok. Sebelum mengajar dan setelah mengajar. Jadi dengan cuci tangan ini aku ndak terlalu terkejut.
Aku tahu lho cuci tangan yang baik dan dibenarkan itu bagaimana. Tapi jarang aku praktikkan karena selama ini cuci tangan bagiku adalah kebiasaan. Sedangkan saat ini cuci tangan meningkat menjadi kebutuhan.
Kubaca di tirto,
Cuci tangan merupakan langkah mudah dan aman untuk melindungi diri dari virus corona COVID-19, tetapi tidak banyak yang tahu bagaimana cara mencuci tangan yang benar. Berikut tata cara mencuci tangan yang direkomendasikan WHO.
·         Basahi tangan dengan air.
·         Tuang sabun pada tangan secukupnya untuk menutupi semua permukaan tangan.
·         Gosok telapak tangan yang satu ke telapak tangan lainnya.
·         Gosok punggung tangan dan sela jari.
·         Gosok punggung jari ke telapak tangan dengan posisi jari saling bertautan.
·         Genggam dan basuh ibu jari dengan posisi memutar.
·         Gosok bagian ujung jari ke telapak tangan agar bagian kuku terkena sabun.
·         Gosok tangan yang bersabun dengan air mengalir.
·         Keringkan tangan dengan lap sekali pakai

4.       Hoax
Kemarin ditanya, kamu kenapa sih anti nian sama berita hoax? Ya apa iya itu harus aku jawab juga?. Bukan hanya satu dua tulisan yang aku baca sejak lama tentang dampaknya menyebarkan berita hoax, belum lagi ujaran kebencian. Sekolah kami di Pining, pernah kulihat guru-gurunya sampai membuat video kampanye menentang hoax. Sayang nian aku sudah ndak ada disana waktu video itu dibuat.
Banyak berita yang mantap nian judulnya, baik tata kalimatnya, mendayu, syahdu, mengiris hati, mendobrak semangat, ternyata hoax. Sementara bersamaan dengan itu adalah fitnah, dusta, dan memecah belah persatuan.
Pernah juga karena malas membaca dan ndak teliti, aku meneruskan berita hoax. Rasanya malu, kesal, dan menyesal. Padahal mudah saja aku cek, banyak fasilitas untuk mengecek apakah berita itu fakta atau hoax, aku pernah cari dan itu bisa dilakukan di stophoax.id.

Selain empat hal yang ingin kutekankan itu, aku juga berusaha lebih menghargai momen di rumah aja. Bisa telpon keluarga setiap saat tanpa bilang “Nanti yaa, sekarang mau ngajar dulu”. Menjaga jarak, apalagi dengan yang ndak halal tu kan. Jadi lebih memperhatikan Indonesia daripada hari sebelumnya. Menyimak kajian pranikah dengan tenang dan ndak malu kalau senyum-senyum sendiri. Jadwalku padat dan aku ndak merasa bosan.
Banyak hal yang bisa dilakukan selama di rumah aja. Dinikmati dan disyukuri. Untuk orang-orang yang bahkan sampai kehilangan pekerjaannya karena masa ini, boleh jadi itu terasa berat, maka kuharapkan dengan khusyuk, semoga Allah gantikan dengan yang lebih baik dan penuh keberkahan. Pada masa ini ada orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya, semoga lapang hatinya dan terus laju semangat hidupnya. Untuk yang masih memaksakan diri untuk ndak turut serta menjaga jarak dan memutus rantai pandemi padahal ndak perlu pula ia berlalu-lalang di luar sana, ndak kah kau itu tega nian?.

===
Kutulis ini karena…
  1. Beginikah rasanya jaga jarak?
  2. Terketuk keyboardku, karena pertanyaan dari kakak o
  3. Ini adalah tulisan khusus untuk kakak o yang sedang belajar sejarah padahal dia guru geografi
  4. Aku rindu anak-anakku
  5. Di rumah aja!



0 komentar:

Post a Comment

 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design