Tidak terasa
sudah hampir lima tahun aku berada di kota ini. Bandung dengan segala nikmat
lezat kulinernya, warna-warni fashion, dan tentu saja kabut yang di tahun
pertama kabutnya putih, bersih, dan dingin, sampai akhirnya di penghujung tahun
ini rasanya mulai banyak kabut polusi. Aku tutup ritsleting koper dan bersamaan
dengan itu aku hembuskan pula helaan nafas lega. Akhirnya selesai juga.
Ternyata sedikit
saja barang-barangku. Baju yang hanya itu-itu saja, badan ndak pula terlalu
gemuk, tapi sampai akhir begini tabunganku tinggal sedikit lagi. aku lirik rak
kecil di sudut kamar. Oh kiranya disana uang-uangku selama ini berada. Buku-buku
sehubungan mata kuliah, ya tentu saja hanya versi copy-nya, lalu
selanjutnya rata-rata ditulis oleh NH Dini, beberapa komik, dan sebagian lagi
membuatku tercekat karena satu baris penuh berisi buku tentang perempuan dalam
Islam. Di baris kedua itu, sampul buku tampak masih rapi. Beda nian dengan
buku-buku lainnya yang sudah berulang kali dibaca bahkan mungkin sering
tergilas badanku karena tertidur ketika membaca.
Kardus-kardus
berdebu juga tak kalah menggemaskan. Harus segera dirapikan tapi debunya aduhai
tidak tahan hidungku dibuatnya. Aku buka kardus pertama, hampir saja aku
terlonjak kaget. Keluar kecoak dari dalamnya. Pasti isinya adalah barang yang
sangat berharga, sampai-sampai aku tidak pernah membuangnya selama hampir lima
tahun ini. Isinya adalah beberapa buku catatan, surat-surat edaran yang pernah
aku terima dari kampus, dan beberapa jurnal. Ah, ternyata memang berharga,
jurnalku. Memang aku punya kebiasaan menulis jurnal.
Jurnal berwarna
hijau muda. Aku ingat ini aku beli di bandara sesaat sebelum kutinggalkan
kotaku, ayahku, ibuku, adikku, rumahku, teman-temanku, guru-guruku, jalan-jalan
yang pernah aku lalui, mamang penjual martabak favoritku, ibu penjual bubur
ketan hitam, es kelapa muda di tepian sungai paling besar di kotaku, dan
tentunya semua kenangan yang pada akhirnya selalu aku rindukan sampai hari ini.
15
Agustus 2003
Aku
harus kemana? Entah aku yang terlalu kecil ataukah kota ini yang terlalu besar.
Karena
aku tidak dibekali uang untuk membeli rumah, baiklah besok aku cari kosan.
Hahahaha,
ternyata aku sudah hampir lupa dengan hari itu. Pertama kali aku datang ke Bandung,
aku belum ada tempat tinggal, tapi sudah ada tujuan sementara. Salah seorang
kerabat menawarkan salah satu kamar di rumahnya agar aku bisa istirahat dan
mulai mencari kost keesokan harinya. Mereka dengan senang hati menerimaku,
namun jaraknya cukup jauh dari kampus, maka dengan berat hati namun dengan
maksud tulus aku menolak tawaran mereka.
Keesokan harinya
aku bisa langsung pindah kost. Karena seorang teman sekolahku, yang juga akan
menjadi teman sekelasku di kampus, sepanjang hari menemani mencari kost, aku
jadi merasa lebih riang, belum terasa rindu yang aku ceritakan di awal tadi. Rupanya
perasaan-perasaan itu datang menyerap tepat di malam kedua aku di kamar baru.
17 Agustus 2003
Sepi.
Sepi. Sepiiiii. Dirgahayu Indonesia. Kau sudah merdeka dan aku belum. Bagaimana
aku bisa mengisimu. Sementara aku saja sedang tertekan.
Ayah dan ibu sedang apakah? Aku rindu.
Setelah Agustus
di tahun itu, aku mulai sibuk dengan kegiatan kampus. Bergabung dengan organisasi
yang membantuku lebih dekat dengan hal-hal yang pada dasarnya aku sukai seperti
hutan, gunung, tebing, sungai, pantai, dan gua. Nilai-nilaiku tetap baik, aku
bahkan menerima beasiswa. Ayah memberikan bonus uang jajan yang dengan senang
hati kuterima dan kupakai untuk liburan ke Yogyakarta.
Pada beberapa
lembar selanjutnya aku lihat potongan tiket bioskop yang sudah memudar tulisan
judul filmnya. Tiket kereta api seharga dua puluh tujuh ribu yang sudah susah
payah kudapatkan tiketnya namun tetap saja aku tidak dapat tempat duduk. Kereta
api kelas ekonomi saat itu membuatku merinding, selama masih ada ruang untuk
berdiri makan setiap orang akan masuk, segala macam pedagang berebutan masuk
tiap kali berhenti di stasiun-stasiun kecil di sepanjang perjalanan.
Ada juga cetakan
foto yang membuatku mual melihat gayaku. Meski akhirnya aku tertawa geli juga
membayangkan bahwa aku pernah sekonyol itu. Ada aku dan dua orang sahabatku,
orang-orang yang sabar mendekatiku sampai akhirnya aku membuka hati dan
menerima uluran tangan persabahatan yang tulus dari mereka. Hari ini saat aku
membuka jurnal ini, mereka sudah kembali ke kampung halaman masing-masing. Mereka
sudah lebih duluan lulus daripada aku, Amel sudah akan menikah, sedangkan Lona
kabarnya akan melanjutkan studi master. Aku turut bahagia dan bangga pada
pencapaian yang telah mereka lakukan.
Tahun 2004 aku
semakin jarang menulis. Mungkin karena saat itu tugas kuliah semakin banyak, selain
itu aku juga sambil bekerja mengajar les. Aku hanya menuliskan beberapa rencana
awal tahun, target bulanan, dan tentang hal-hal baru yang aku alami. Sepertinya
aku semakin dewasa, sedikiti nian aku lihat keluh kesah di sepanjang tahun
2004.
5 September 2004
Aku perlu istirahat. Pusing. Teman-temanku
curhat tentang orang yang mereka sukai.
Mungkin aku juga akan suka pada seseorang
nantinya.
Tapi aku pusing, karena disukai oleh orang yang tidak
aku sukai.
Semoga penghujan segera berlalu.
Telah sampai
padaku sebuah salam perkenalan dari orang yang sudah pula aku kenal. Kami bertemu
beberapa kali di kampus, pada bahasa tubuh budaya timur kami sudah saling bertegur
sapa. Salam itu aku terima. Hal kecil bagiku kiranya sesuatu yang besar bagi
orang lain. Dia terus mengikutiku, membawakanku banyak makanan manis,
membantuku dengan suka rela untuk menyelesaikan tugas, namun aku bergeming.
10
Oktober 2004
Kenapa
aku tidak boleh pacaran? Dulu katanya anak sekolah jangan pacaran, sekarang kan
bukan lagi.
Apa
aku diam-diam pacaran saja? Apa ayah dan Ibu akan tahu kalau aku diam-diam pacaran?
Lagipula
tahun ini aku belum ingin pulang. Aku ingin liburan.
Pada akhirnya
aku tidak jadi pacaran. Hampir setiap akhir pekan aku pergi atas nama “liburan”,
kadang-kadang aku membolos untuk kuliah. Seringkali datang terlambat, namun aku
tetap berusaha memenuhi tugas dengan baik. Nilaiku tetap stabil.
12 Oktober 2004
Tiba-tiba
ibu telpon, tanya kabarku. Rupanya seminggu kemarin aku selalu mengabaikan telpon
dari rumah.
Beberapa
hari ini kondisi ibu kurang baik. Parahnya sudah dua hari ayah tidak pulang.
Aku
harus lebih sering telpon mereka.
Ibu bukan orang
yang bermewah-mewah dalam hidupnya, aktivitas sosialnya juga terbatas pada
kegiatan Pendidikan, pertanian, dan pengajian. Semangatnya membara untuk
berangkat mengaji sepanjang ada izin dari ayah. Dari ibu pula tubuhku punya
alarm bangun setiap dini hari untuk mandi dan kemudian berdo’a. Ibu sering
bilang, kita tidak pernah tahu sampai kapan kita punya banyak uang, harus
latihan dari sekarang. Itu adalah hari pertama ibu mengajakku untuk berpuasa
berselang yang ternyata namanya adalah puasa Daud.
13 Oktober 2004
Ayah menelponku tadi siang. Tampaknya situasi di
rumah sangat kacau.
Setelah hari itu, sepanjang Oktober berlalu dengan
telpon yang terus bergantian masuk. Benar-benar keluarga yang sangat sibuk. Aku
butuh liburan. Awal November aku sudah punya beberapa destinasi. Liburan kali
itu aku tidak pulang lagi.
8 November 2004
Akhirnya aku pulang.
……………………
9 November 2004
Ternyata rumahku luas dan bisa menampung banyak
orang. Orang-orang yang tidak aku kenal.
……………………
10 November 2004
Rumah tidak sekacau yang aku bayangkan. Aku saja
yang paling kacau disini.
Air mataku jatuh menetes di atas lembaran jurnal. Merusak
tintanya. Tapi masih bisa aku baca.
11 November 2004
Aku kembali ke Bandung hari ini. Entah kapan aku
sanggup untuk pulang lagi.
Aku pastikan barang-barangku hari ini tidak akan
bisa aku selesaikan. Tersungkur aku di antara kardus-kardus penuh debu. Hari ini
aku sudah tahu akan kemana kubawa barang-barangku. Aku akan merubah rencana
penerbanganku. Aku harus pulang.
====
Aku sudah di rumah
dengan perasaan yang lebih segar. Meskipun sekarang aku sendirian.
Di jurnal hijau muda tahun 2003 – 2004 itu, ada
satu halaman yang sengaja aku lipat dan akhirnya kini aku buka lagi.
7 November
2005
Benarkah mama
telah pergi?
====
=========
P.s.
- Selamat tanggal 14 Maret, Ma.
- Ini fiksi lhooo
- Kenapa tahun 2003? Mungkin karena senyum mbak yang kukenang waktu di dalam masjid
- Baiknya kita pada orang tua saat ini, tidak akan sepadan dengan kasih sayang dan pengorbanan yang telah mereka berikan dan lakukan untuk kita
- Jaga kesehatan jiwa, raga, dan iman
- Jangan pacaran sebelum menikah
- Sopan dan santun pada orangtua
- Jangan cuek kalau orangtua telpon, jawab!
- Sampai sekarang aku masih menulis jurnal pribadi
0 komentar:
Post a Comment