1.
Machiavelli memiliki obsesi terhadap
negara kekuasaan (maachtstaat) dimana kedaulatan tertiggi terletak pada
kekuasaan penguasa dan bukan kepada rakyat atau prinsip-prinsip hukum. Jelaskan
pemikiran machiavelli tentang:
a.
Negara kekuasaan
Niccolo Machiavelli
hidup ketika Italia masih terpecah-pecah ke dalam lima negara, yaitu: Roma,
Milan, Firenze, Napoli, dan Venesia. Seusai Perang Salib, kelima negara ini
berkembang menjadi kota-kota perdagangan yang sangat maju di seluruh Eropa,
tetapi juga menjadi kota-kota yang selalu bergejolak. Pada masa ini pemimpin
dipandang bukan sebagai orang yang kepadanya dipercayakan kekuasaan oleh kuasa
ilahi seperti pada abad pertengahan. Bersamaan dengan hal ini agama (Gereja)
juga mulai kehilangan pengaruhnya karena berkembangnya pemikiran Renaissance
yang menjadikan manusia sebagai subjek.
Machiavelli
berpendapat bahwa seorang penguasa haruslah bisa menyatukan watak singa dan
rubah sekaligus. Dengan menjadi singa, penguasa akan disegani karena
kekuatannya, namun kerap kali tidak bisa menghadapi perangkap dari bawahannya.
Sedangkan dengan menjadi rubah, penguasa dapat menghadapi perangkap tapi tidak
bisa membela diri dari serangan serigala.
Selain itu
seorang penguasa harus mengandalkan virtue (keutamaan) daripada terus
berharap pada fortune (keberuntungan).
Machiavelli memandang virtue sebagai sikap aktif seorang
pemimpin dalam menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya sehingga kekuasaan
dapat bertahan. Maka, seorang penguasa harus mengembangkan ketrampilan
dan kemampuannya dalam mengendalikan negara daripada hanya sekadar berharap
pada keberuntungan semata. Bagi para penguasa keberuntungan hanyalah suatu
kesempatan yang harus digunakan oleh seorang penguasa. Sebab, tujuan utama
seorang penguasa adalah mempertahankan dan mengembangkan kekuasaannya.
Untuk mencapai sukses, seorang Raja harus
dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia. Machiavelli
memperingatkan Raja agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa
yang layak dilakukan.
Machiavelli memperbincangkan apakah seorang
Raja itu lebih baik dibenci atau dicintai. Ia mengatakan bahwa orang selayaknya
bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi lebih aman ditakuti daripada
dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebabnya, cinta itu diikat oleh
kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu
akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi takut didorong oleh
kecemasan kena hukuman, tidak pernah meleset.
Machiavelli mengungkapkan cara bagaimana seorang
Raja untuk memegang kepercayaannya. Di sini Machiavelli berkata seorang
penguasa yang cermat tidak harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu
berlawanan dengan kepentingannya. Dia menambahkan, karena tidak ada dasar resmi
yang menyalahkan seorang Raja yang minta maaf karena dia tidak memenuhi
janjinya, karena manusia itu begitu sederhana dan mudah mematuhi
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya saat itu, dan bahwa seorang yang menipu
selalu akan menemukan orang yang mengijinkan dirinya ditipu. Sebagai hasil
wajar dari pandangan itu, Machiavelli menasihatkan sang Raja supaya senantiasa
waspada terhadap janji-janji orang lain.
b.
Cara merebut dan mempertahankan
kekuasaan
Penguasa yang
di ibaratkan sebagai singa atau rubah oleh Machiavelli dapat diartikan bahwa
bahwa seorang penguasa perlu
menggunakan cara-cara yang licik dan kejam untuk menjaga kekuasaanya.
Menurut
Machiavelli, suatu negara yang kuat harus memiliki militer yang kuat dan sistem
hukum yang kuat pula. Kedua hal ini akan melindungi suatu negara dari
kehancuran. Negara tanpa kekuatan militer yang kuat, penegakan hukum tidak akan
dipatuhi. Ketangguhan militer didapat dari kedisiplinan yang tinggi, sehingga
akan memberikan dampak yang baik bagi pelaksanaan hukum negara. Selain itu,
tentara harus dibentuk oleh rakyatnya sendiri karena tentara rakyat lebih setia
dalam mempertahankan kekuatan suatu negaranya.
Penguasa diharuskan untuk pintar menempatkan
posisinya kapan dia harus menjadi singa dan kapan dia harus menjadi seekor
rubah. Penguasa harus bisa mencegah ancaman, baik internal maupun eksternal
yang akan merusak kesatuan dan keutuhan negara sekalipun dengan cara-cara yang
kejam seperti pembunuhan, pembantaian dan lain-lain. Akan tetapi, di saat aman,
penguasa juga tidak boleh lupa untuk menarik simpati rakyatnya sebagai sumber
legitimasi baginya dengan berbaik hati dan memenuhi keinginan-keinginan
rakytanya. Dengan demikian, maka suatu negara itu akan utuh dan solid.
Masalah keamanan nasional, Machiavelli juga
berpendapat bahwa kekuatan nasional tidak boleh digantungkan kepada kekuatan
pihak lain. Garda bangsa haruslah terdiri dari warga negara itu sendiri, tidak
dari warga negara lain yang hanya bekerja sebagai tentara bayaran. Tentara
bayaran hanya bekerja sesuai dengan kontrak kerja yang disepakati, tidak ada
loyalitas yang murni terhadap seorang penguasa. Maka, negara yang
menggantungkan kekuatannya dari tentara bayaran dianggap masih lemah dan akan
hancur karena dirinya sendiri sebab terlalu banyaknya alokasi dana yang
digunakan dan tidak adanya loyalitas.
Akan tetapi di
dalam buku Principe
II dijelaskan mengenai kekejaman. menurut Machiavelli, kekejaman
dapat dilakukan dengan cara yang baik atau tidak baik. Kekejaman itu bisa
digunakan dengan baik jika hal tersebut dilakukan sekali, demi keselamatan
seseorang atau negara. Oleh karena dengan cara itu kekuasaannya akan bertahan
lama. Walaupun penguasa mengalami kesulitan, raja tidak boleh kejam, karena
kebijaksanaan yang telah ditunjukkan raja pada rakyatnya. Kebaikan raja
tersebut akan dipandang sebagai sesuatu yang tidak tulus atau hanya sebatas lip
service.
0 komentar:
Post a Comment