Friday, December 11, 2015

Cerita menjelang pulang...



Menjelang pulang. Bukan pulang seperti mereka kebanyakan, aku sudah memilih menjadi minoritas. Diam-diam pulang. Bukanlah benar-benar diam, karena toh aku mengumumkan kepulangan ini pada khalayak sosial yang lebih banyak tidak mengenal aku daripada yang mengenaliku. Kan supaya agak aneh lalu aku menambahkan, “di sini saya tidak butuh komentar”. Tetapi dengan alasan kemanuasiaan aku meralatnya menjadi “jangan berkomentar, hanya diam dan doakan saja”.

Menjelang pulang. Jiwa dan raga terentang. Sengaja aku pilih kata rentang daripada regang. Supaya lebih semangat dan tak tampak putus asa karena aku tidak ingin sekalipun mendekatinya. Katanya memang gitu, semakin dekat dengan apa yang kita mau terlebih yang kita butuhkan, maka akan semakin banyak hal-hal aneh yang muncul. Menggebu-gebu, ragu-ragu, lalu “ragaku memang disini, tetapi jiwaku sudah melayang pulang”. Bukan salah kita, karena lunaknya hati memang diciptakan untuk menerobos banyak pilihan.

Menjelang pulang. Aku tidak berbicara kepada ayam. Aku juga tidak menyanyikan lagu-lagu religi. Aku tidur dan menikmati mimpiku. Mimpi dalam mimpi dan mimpi dalam diam. Belakangan aku jadi semakin sering minum, katanya mendadak minum seperti itu menandakan kita sedang grogi. Kalau aku bilang, banyak minum seperti itu menandakan sebentar lagi aku akan buang air kecil atau kembung. Selain itu, aku juga mulai malas makan. Bukan karena memang aku tak bersahabat dengan nasi. Tetapi karena ketika makan, akan banyak hal yang memberatkan. Salah satunya adalah memberatkan kelopak mata. Aku mengantuk.

Menjelang pulang. Aku hidup 24 jam. Dalam tidur aku pulang. Bangunku untuk pulang. Nah, padahal aku harus mulai memikirkan tentang kemana aku akan pulang? Aku bukan menuju rumah secara harfiah. Bersuka-cita aku mempersiapkan semua ini. Meski mereka hanya seperti buih pada lautan, tetapi itu sudah lebih dari cukup karena ada yang menunggu aku pulang. Sekarang aku sudah faham, ada yang menungguku sementara aku pernah menunggu yang lain. Apa kubilang.. banyak hal yang terjadi pada masa-masa begini, termasuk menyadari kemunafikan.

Menjelang pulang. Debar jantung meningkat dua kali lipat. Bukan karena jatuh cinta, yakin, ini kan getarannya beda. Mungkin karena aku belum faham rutenya. Atau karena.. kau biarkan aku pulang melalui semua keterjangkauan secara absolut dan relatif. Ah, izinkan aku menyinggung geografi sebentar selagi ingat ketika masa kuliah. Begini.. apa guna garis khatulistiwa? Jawabannya adalah untuk menghubungkan hatiku ke hatimu.. kita mengelilingi dunia atau dunia dikelilingi oleh kita. Apa bedanya, sama manisnya.

Menjelang pulang. Ternyata menjelang siang. Aku bersiap-siap.

Tuesday, December 8, 2015

Cerita antara hujan dan ujian...



Hujan, sekotak ultra, di depan laptop… ahay. Ini semacam surga dunia. Ini adalah hari kedua ujian semseter untuk anak-anakku di sekolah. Tapi aku masih di rumah, bukan karena aku ini guru yang tidak baik, meskipun mungkin begitu.. tetapi karena ini masih pagi. Seperti biasa, aku sudah siap dan yang lainnya masih terlelap atau sedang bersiap-siap. Ketika sampai pad akalimat sebelum ini, aku teringat belum menggunakan sedikit parfum. Katanya wangi apel, tapi kiraku ini apel busuk.. tapi tetap saja aku suka, karena apel ini warnanya hijau.

Tepat pula ini adalah ujian untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Pendidikan Kewarganegaaran. Aku yang mengampu. Rasanya ingin segera selesai, turut pula aku mendoakan agar mereka bernilai baik sehingga tidak perlu remedial.. karena remedial adalah lambang belum berhasilnya aku sebagai guru. selain itu, egois juga aku supaya banyak berwaktu luang tanpa remedi itu. Ditambah lagi saat hujan seperti ini banyak setan menggodaku untuk berfikiran aneh-aneh. Syukurnya, sepertinya setan-setan itu telah kalah.

Berbahagialah aku yang sepagi ini sudah bisa duduk santai.. diam-diam menghirup udara pagi dan melihat ada burung gereja yang kedinginan mengendap masuk ke dalam dapur. Aku biarkan saja.. dia keluar. Lalu terbang masuk lagi, enah apa yang sedang ia cari. Burung gereja itu, bisa jadi sama denganku.. sedang memikirkan kebahagiaan pagi ini. Seketika aku ingat untuk berdoa. Bukankah ketika hujan adalah waktu dimana Tuhan banyak mengabulkan doa kita? Maka aku meminta, dan meminta, lalu meminta lagi… banyak hal yang aku pinta.

Aku mulai mendengarkan lagu dengan bantuan headset yang sebelah bagiannya sudah tidak berfungsi. Lagu-lagu yang pernah mengiringi beberapa adegan dalam hidupku atau hidup orang lain. Aku tidak merasa keberatan mengulang membayangkannya. Lain lagi dengan remedial ujian, anak-anak pasti akan sangat keberatan. Jadi aku mendoakan semoga sedikit saja dari mereka yang remedial.

Kotak ultra di samping kananku sudah aku kosongkan.. lalu aku terbayang adikku nan jauh di sana, sedang apakah ia? Dia selalu menjadi gadis kecilku hingga kapanpun kelak. Alit, tidak terlalu suka susu. Kemudian fikirku melayang jauh dan jauh lebih ke seberang sana, papa. Susu juga bukan yang papa sukai, papa lebih suka kopi.. dan sekarang papa lebih suka ibu itu.

Aku membayangkan setelah ujian anak-anak selesai dan selesai pula beberapa urusanku di semester ini. Aku akan menyempatkan waktu untuk pulang, untuk gadis kecilku. Semoga bertepatan dengan pengambilan hasil laporan belajarnya selama ini.. tidak pernah ada orangtua atau keluarganya yang datang ke sekolah untuk prestasi sederhana itu. Tentu kelak akan menjadi luka yang bisa saja diungkit olehnya. Aku harus melengkungkan garis bibirnya sehingga ia tersenyum.

Sudah aku bayangkan juga akan aku habiskan waktu liburan itu untuk hal-hal menyenangkan bersamanya di rumah. Kemudian ada pula sela-sela waktu yang akan aku persembahkan untuk seseorang yang telah ada dalam hatiku dan adapula aku dalam hatinya meskipun kami telah melalui banyak hal bahkan hingga hari ini. Akan aku perbaiki selagi aku masih bisa. Akan aku tunaikan janjiku di kemudian hari untuknya.

Aku terhempas, kembali ke depan laptop. Hujan belum reda, sebentar lagi waktunya berangkat ke sekolah. Masih ada waktu untuk membayangkan? Masih boleh berdoa? Duh, retoris. Ini kan untukku sendiri, tentu saja aku tidak perlu menjawab, apalagi engkau.. jangan dijawab, aku sudah tahu jawabannya. Boleh.

Ibu, Kasih, dan Kasih Sayang Ibu


“Ibu, Kasih sayang , ibu!”
“Iya, nak. Ibu pun sayang Kasih”
…………….
Eh. Apa barusan itu yang dia maksudkan? Dia bilang sayangi akukah? Atau dia hanya merasa kata kasih ditambah sayang akan menjadi kata dengan keindahan luar biasa? dan Kasih adalah namanya.

Kasih, ketika aku menuliskan ini, mungkin ia sedang terlelap atau juga dia sudah terbangun dan sibuk beribadah dan melakukan pekerjaan anak-anak seusianya di kampung ini, membantu orang tua atau antri mandi di kamar mandi menasah dekat rumahnya. Menasah mungkin sebentar lagi mulai agak ramai oleh jamaah yang masih ingat pada seruan Tuhan untuk melaksanakan kewajibannya, semua orang di sini mengaku beragama Islam. Sekarang pukul 04.14 WIB.

Tempat ini ribuan kilometer jauhnya dari tanah Papua. Entah mengapa pula Kasihku itu bisa berhitam kulit dan berkeriting rambut seperti layaknya saudara kita nun jauh di ujung Timur sana. Adakah generasi di atasnya yang mewariskan? Ternyata tidak juga. Kasih bilang, “Aku sering main panas, bu”, tanpa menjawab mengapa rambutnya keriting.

Masih kelas satu SMP dan dia sudah begitu hebat, menurutku. Bukan karena sekolah adalah sama-sama rumah kedua bagi kami, bukan pula karena sekarang aku adalah ibu kedua untuknya. Tetapi lebih karena garis takdir.. dari sekian banyak anak, toh Kasih yang aku ceritakan.

Sekolah kami tidak baik diberi label tertinggal. Fasilitas cukup lengkap, meskipun anak-anak belum bisa belajar komputer karena tidak ada. Perpustakaan dengan buku berserakan dan debu hampir di setiap bukunya, mereka masih malas membaca. Memang di sekolah ini.. di kampung ini… sebaiknya aku sampaikan bahwa di Kecamatan dengan sembilan desa yang empat di antaranya tersebar jauh, sangat jauh ini belum mengenal “jaringan”. Beberapa orang mendambakan jaringan untuk kemudahan hidup dan berkomunikasi dengan dunia luar. Tetapi ada pula yang menentangnya dengan alasan… berbagai alasan yang intinya dianggap akan merugikan mereka di kemudian hari.

Nah, tidak ada sinyal operator seluler berarti susahkah? Sama sekali tidak, karena dalam keterbatasan maka akan muncul ide-ide dan cara adaptasi yang hebat. Nayatanya undangan pernikahan tetap akan kita teriama dari ujung kampung sana meski kita di ujung lainnya lagi. Belum lagi kabar duka. Tambah lagi kabar duka yang menjadi suka bagi rang lain, wah, itu sudah barang tentu akan menjadi kabar yang segera menyebar, gosip.

Tempat tinggal Kasih lebih jauh lagi dari “jaringan”. Bukan hanya sinyal, tetapi jalan dan juga listrik. Namanya Lesten. Katanya sekarang sedang gencar dilakukan pembangunan, terutama pembuatan jalan. Sebelumnya di sana telah pula ada listrik dari tenaga surya, sayangnya belum dimanfaatkan secara bijak dan telah dimanfaatkan dengan sangat maksimal. Maka hasilnya adalah beberapa panel penangkap panas sudah rusak.

Untuk menuju Pining, kampung kami sekarang ini. Konon, Kasih dan warga Lesten lainnya harus berjalan kaki, kecuali mereka memiliki kendaraan roda dua yang sudah berlapis rantai pada kedua rodanya dan ada jonder maka mereka tidak perlu sering-sering jalan kaki. Jonder jangan diabayangkan sebagai kendaraan mewah atau bahkan kendaraan lapis baja seperti hendak perang. Bayangkanlah jonder  sebagai alat berat dengan empat roda yang sangat besar dan tinggi, seperti di lahan pertanian atau perkebunan di negeri Barat sana. Lalu untuk kembali menuju Lesten akan menghabiskan lebih banyak waktu lagi, karena jalannya menanjak. Sembilan jam, jangan dibayangkan.

Tapi tawa Kasih selalu seperti tanpa beban. Mungkin memang karena usianya yang memang masih pada perkembangan anak-anak, tetapi tidak ingin aku disalahkan bila aku menebak dan menilai itu karena kedewasaannya. Kasih sudah punya cerita yang mungkin belum pernah kita alami, aku pun belum pernah. Dia memang tidak cemerlang dalam pelajarannya. Tidak pula pendiam. Bahkan bila aku benar-benar tidak pernah bertanya dan menutup mata, maka Kasih adalah anak nakal.

“Kasih di sini tinggal tempat siapa?”
“Pak Gecik, bu. Yang di depan pohon besar itu, bu. Pernah ibu kan lihat Kasih di situ, bu?”
Oyale, ibu panggil Kasih waktu itu. Siapa yang di Lesten?”
“Mamakku, bu. Dengan nenek”
“Bapakmu di sini?”
“Sudah enggak  adalah lagi bapakku, bu”
…..
Kemanakah bapakmu, nak? Tidak perlu aku bertanya dia sudah pula akan menjawab. Sebenarnya ingin aku cegah, takut melukai hatinya karena terkenang pada masa yang telah lalu. Tetapi aku juga merasa perlu tahu, bukankah aku sekarang adalah ibunya.. begitu kubesarkan hatiku.

Lelaki itu sudah pergi sejak Kasih masih dalam kandungan. Katanya ia pergi mencari burung di hutan. Nyatanya ia tak pernah kembali hingga suatu hari setelah Kasih lahir dan faham benar siapa mamak dan siapa bapak bagi seorang anak, tersiar kabar bahwa ada yang sempat melihat sang bapak di kota lain, masih di negeri ini, Kota Cane. Namun Kasih dan mamaknya tidak ambil pusing, mereka bahkan menganggap lelaki itu telah berpulang kepada-Nya. Sempat pula aku bertanya apakah mamaknya menikah lagi? Dengan senyuman bangga seolah dia telah menjaga kehormatan sang mamak, “Aku enggak bolehkan mamakku nikah lagi, bu”. Lalu aku simpulkan, bukan hanya anakku ini saja yang hebat, tetapi mamaknya juga kuat.

Kasih tentu mengingatkanku dan kita pada lagi tentang ibu, Kasih Ibu. Mengingatkan pada terimakasih. Mengingatkan pada Yang Maha Pengasih. Dan kelak Kasih akan selalu mengingatkan aku pada kampung ini, sekolah ini, dan semua yang akan berlalu pada masanya nanti. Aku tidak banyak berharap pada perkembangan belajar Kasih, dia cukup aktif meskipun beberapa pertanyaan yang ia lontarkan di kelas acapkali bukan pertanyaan yang pada tempatnya, tetapi kan tetap saja dia sudah berani unjuk gigi. Meskipun demikian sudah semestinya aku menaruh harap, aku ini ibunya.. aku berharap, kelak ia lulus hingga SMA dan mengabariku hendak berjuang di Kota lain untuk kuliah atau bekerja yang bukan sekedar menunggu durian atau manggis atau bahkan yang sangat aku takutkan.. menanam ganja. Allah melindungimu, nak. Melindungi kita semua. Aamiin.

Tuesday, November 24, 2015

Satu Hati Dua Cinta



Tentang satu hati dua cinta. ini obrolan yang rada berat.. kalau kamu ndak yakin otakmu bisa mencerna bahan ini, sebaiknya jangan diteruskan. Tapi bila engkau penasaran, maka diperbolehkan terus membaca dan banyak bertanya tanpa jawaban. Tanya aku, karena ini dari otakku, jangan percaya yang lain.. apalagi pilih yang lain, karena yang lain belum tentu setia. Jadi pilihlah aku.

Satu pragraf saja sudah ndak jelas apa yang akan dan telah dibicarakan. Maklumilah.

Setiap manusia lahir di dunia dengan dibekali hati. Hati yang dengan mudahnya dapat dibolak-balikkan oleh sang pemilik hati. Bila dia yang sangat engkau cintai di dunia ini berkata “Biar aku yang jaga hatimu” atau “Jaga hatimu yaa”, berarti kita berdua belum saling memahami dan masih sok jago. Hati kita ini milik siapa? Belum lagi bila hati kita ingin mendua.. kloning saja.

Hati katanya sudah dijodohkan dengan hati lainnya hingga bisa menjadi satu. Lalu mungkinkah peristiwa satu hati dua cinta itu mungkin terjadi?

Kita bahas dulu cinta itu apa..?

Berdasarkan pengalaman hidup selama sekitar 23 tahun lebih, ada beberapa waktu yang aku habiskan untuk membahas masalah cinta. Cinta pada Tuhan, cinta pada kedua orang tua, cinta tanah air, cinta monyet, cinta buta.. dan cinta kamu. Maka supaya tidak menimbulkan fitnah, mari kita bahas aku saja tanpa analogi. Karena aku adalah contoh ideal dari isi otakku.

Aku punya satu hati.. sudah terisi penuh. Lalu tanpa rencana dan tanpa aba-aba aku akan menambahkan banyak hal lagi. Ah, sesuatu.. ke dalam hatiku. Nah, menurut para ahli *ahlibicara* itu artinya aku sedang mendua, sedang berbuat kejahatan, bahkan aku disebut sebagai pengkhianat. Aku diam saja, belum waktunya untuk menjawab.
Lalu sesuatu itu benar-benar telah masuk ke dalam hatiku, seperti halnya yang lain yang telah ada di dalam hatiku sebelumnya. Lagi-lagi para ahli *kaliiniahlituduh* mulai menaikkan alisnya dan menarik garis bibir mencibir. Dasar tak pandai bersyukur!. Kemudian aku mulai tertarik untuk menjawab bahkan membahasnya…

Seperti halnya kesabaran yang ndak ada batasnya, hati ndak begitu. Kalau hati terlanjur rusak.. konon bisa merusak diri kita seutuhnya. Boleh hati diisi dengan banyak hal? Nanti kalau rusak bagaimana? Boleh! Dan ndak bagaimana-bagaimana. Hati ini bukan milik kita.. Tuhan menggenggamnya. Tugas kita memang mengisinya. Baik atau buruk dan berapapun banyaknya hati itu kita isi, itu tanggungjawab kita yang telah memilih memasukkannya.

Tentang mendua, jahat dan berkhianat..  bagaimana? Bahkan sejak kita memasukkan hal lain selain tentang Tuhan, kita telah berkhianat lebih dari apapun. Tapi, justru itu artinya kita sedang bersyukur.. menikmati banyak hal ciptaan Tuhan. Meskipun tidak seharusnya lalu dimasukkan ke dalam hati.

Sudah sejauh ini.. apakah engkau sedang berfikir aku adalah perempuan berdosa biasa yang berkeksasih lalu aku mendua, jahat, dan berkhianat? Mungkin saja iya. Tapi isi hati dan otak kita nyata berbeda. Ini tentang anak-anakku.

Anak-anakku. Mereka tidak terlahir dari rahimku, bukan aku yang menyusui, bukan aku yang menderita ketika mereka sakit dan menangis.. bukan aku pula yang turut bangga ketika mereka tertawa karena berhasil berdiri setelah jatuh. Itu semua bukan aku yang melakukannya. Tapi mereka memanggilku IBU.

Lalu hatiku yang sudah terisi sebelumnya.. akan aku isi lagi. Apakah Tuhan akan marah kepadaku? Tentu saja tidak! Kali ini aku percaya diri, karena banyak nda dan noktah lain yang pernah terlanjur aku masukkan ke dalam hati.. Tuhan akan lebih marah tentang hal itu. Baiklah, sekarang aku akan lebih percaya diri ketika kalian memanggilku “Ibu”.

Apakah anakmu mau memanggilku, ibu?
Aku lebih senang dipanggil Bunda...

Friday, November 20, 2015

Apa Kabar?

Manusia memang tempatnya salah, lupa, aniaya, kenyang, tertawa.. eh kemana-mana. Selamat datang bulan Nopember! Masih pantaskah, setelah terlambat 20 hari? Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.. Tetapi, terlambat tetaplah terlambat.

Apa kabar, neu?
Banyak hal yang telah terjadi selama duapuluh hari ini. Ada cerita dengan tawa tanpa henti.. ada juga cerita dengan air mata tertahan. Cerita seram, petualangan, bertahan, berjuang, dan jadilah aku semacam pahlawan dari negeri antah berantah..

Tentang apapun yang sudah dilalui selama ini, saya tetap bersyukur dapat melalui masa tanggal 7 dengan sangat baik.
Untuk menghindari.. alah, ini sih sekedar posting. Maka besok akan diposting lagi tulisan yang sebenar-benarnya tentang Nopember yang harusnya ceria tetapi.... ah, besok saja.

Friday, October 30, 2015

Nopember. Lagi!



Dalam rangka menyambut bulan nopember yang harus tetap ceria meskipun akan lebih basah daripada bulan lainnya.. aku mempersembahkan segumpal darah yang bilamana ia telah rusak maka rusak pula pemiliknya, sehingga bila ia bersih dan sehat, begitupula dengan pemiliknya.

Aku bertaruh banyak dalam penawaran ini.. bukan sekedar meninggalkan geografi. Aku fikir aku sudah berpisah dengan geografi setelah melakukan perajalanan yang katanya akan lebih keren kalau disebut sebagai pengabdian. Dan pengabdian itu akan naik level, lebih keren lagi bila diiringi dengan gelar guru SM3T. Ternyata levelnya bisa dinaikkan lagi.. terutama bila aku ikut mengepalkan tangan dan melemparkannya ke udara seraya berteriak “maju bersama mencerdaskan Indonesia”. Sepertinya Indonesia ini nasibnya sama seperti aku, belum cerdas.

Nyatanya.. aku dan geografi tidak benar-benar terpisah. Karena aku mengajar Bahasa Indonesia dan Pendidikan Kewarganegaraan. Hubungannya? Begini.. kata guruku, atau kata gurunya guruku, atau bolehlah kata guru gurunya guruku.. geografi itu adalah ibunya mereka, ilmu-ilmu lainnya. Aku tidak pernah bertanya mengapa demikian, dan aku tidak pula berniat untuk menjelaskan. Adanya, aku punya segumpal darah tadi.. lalu aku letakkan ia dipangkuan geografi. Begitulah mengapa aku dan geografi tidak benar-benar terpisah.
Jadi mari kita bahas paragraf pertama..

Mengapa bulan Nopember dihubungkan dengan ceria? Karena sebenarnya yang berhubungan dengan ceria adalah September, umumnya. Jadi aku sudah asal bicara saja tentang Nopember ceria. Bagaimana dengan lebih basah daripada bulan lainnya? Itu karena aku berada di antara garis-garis maya yang dilalui materi dengan banyak uap air yang lelah dan akhirnya jenuh di cakrawala. Jadi, boleh dikatakan bahwa pernyataan yang kedua tidak asal bicara dan bisa dijelaskan secara ilmiah.

Paragraf dua..
Terlalu banyak hal yang aku harus jelaskan dengan sukarela kali ini. Hanya kali ini. Ceritanya, sekarang aku adalah orang-orang yang dipanggil “ibu guru”. Dengan akhlak ala kadarnya, dengan ilmu dan pengetahuan secukupnya, aku berusaha semampunya. Yah, ini biarlah menjadi bagian dari perjuanganku atau perjuangan kami. Males menjelaskan panjang lebar di bagian ini.

Paragraf ketiga..
Aku dan kami, biasa menyebut diri ini sebagai anak geo. Entah harus menunjukkan ekspresi yang bagaimana.

Ini di luar paragraf satu, dua, dan tiga..
aku sedang jatuh cinta dan bersiap patah hati dalam satu waktu yang bersamaan. Manakah yang akan mencapai garis finis duluan? kita tunggu sampai tahun depan.. eh, biar aku saja yang menunggu. sendirian.
 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design