Menjelang pulang. Bukan pulang
seperti mereka kebanyakan, aku sudah memilih menjadi minoritas. Diam-diam
pulang. Bukanlah benar-benar diam, karena toh aku mengumumkan kepulangan ini
pada khalayak sosial yang lebih banyak tidak mengenal aku daripada yang mengenaliku.
Kan supaya agak aneh lalu aku menambahkan, “di sini saya tidak butuh komentar”.
Tetapi dengan alasan kemanuasiaan aku meralatnya menjadi “jangan berkomentar,
hanya diam dan doakan saja”.
Menjelang pulang. Jiwa dan raga
terentang. Sengaja aku pilih kata rentang daripada regang. Supaya lebih
semangat dan tak tampak putus asa karena aku tidak ingin sekalipun
mendekatinya. Katanya memang gitu, semakin dekat dengan apa yang kita mau
terlebih yang kita butuhkan, maka akan semakin banyak hal-hal aneh yang muncul.
Menggebu-gebu, ragu-ragu, lalu “ragaku memang disini, tetapi jiwaku sudah
melayang pulang”. Bukan salah kita, karena lunaknya hati memang diciptakan
untuk menerobos banyak pilihan.
Menjelang pulang. Aku tidak
berbicara kepada ayam. Aku juga tidak menyanyikan lagu-lagu religi. Aku tidur
dan menikmati mimpiku. Mimpi dalam mimpi dan mimpi dalam diam. Belakangan aku
jadi semakin sering minum, katanya mendadak minum seperti itu menandakan kita
sedang grogi. Kalau aku bilang, banyak minum seperti itu menandakan sebentar
lagi aku akan buang air kecil atau kembung. Selain itu, aku juga mulai malas
makan. Bukan karena memang aku tak bersahabat dengan nasi. Tetapi karena ketika
makan, akan banyak hal yang memberatkan. Salah satunya adalah memberatkan kelopak
mata. Aku mengantuk.
Menjelang pulang. Aku hidup 24 jam.
Dalam tidur aku pulang. Bangunku untuk pulang. Nah, padahal aku harus mulai
memikirkan tentang kemana aku akan pulang? Aku bukan menuju rumah secara
harfiah. Bersuka-cita aku mempersiapkan semua ini. Meski mereka hanya seperti
buih pada lautan, tetapi itu sudah lebih dari cukup karena ada yang menunggu
aku pulang. Sekarang aku sudah faham, ada yang menungguku sementara aku pernah
menunggu yang lain. Apa kubilang.. banyak hal yang terjadi pada masa-masa
begini, termasuk menyadari kemunafikan.
Menjelang pulang. Debar jantung
meningkat dua kali lipat. Bukan karena jatuh cinta, yakin, ini kan getarannya
beda. Mungkin karena aku belum faham rutenya. Atau karena.. kau biarkan aku
pulang melalui semua keterjangkauan secara absolut dan relatif. Ah, izinkan aku
menyinggung geografi sebentar selagi ingat ketika masa kuliah. Begini.. apa
guna garis khatulistiwa? Jawabannya adalah untuk menghubungkan hatiku ke
hatimu.. kita mengelilingi dunia atau dunia dikelilingi oleh kita. Apa bedanya,
sama manisnya.
Menjelang pulang. Ternyata menjelang
siang. Aku bersiap-siap.
0 komentar:
Post a Comment