“Ibu, Kasih sayang , ibu!”
“Iya, nak. Ibu pun sayang Kasih”
…………….
Eh. Apa barusan itu yang dia maksudkan? Dia
bilang sayangi akukah? Atau dia hanya merasa kata kasih ditambah sayang akan
menjadi kata dengan keindahan luar biasa? dan Kasih adalah namanya.
Kasih, ketika aku menuliskan ini, mungkin ia
sedang terlelap atau juga dia sudah terbangun dan sibuk beribadah dan melakukan
pekerjaan anak-anak seusianya di kampung ini, membantu orang tua atau antri
mandi di kamar mandi menasah dekat
rumahnya. Menasah mungkin sebentar
lagi mulai agak ramai oleh jamaah yang masih ingat pada seruan Tuhan untuk
melaksanakan kewajibannya, semua orang di sini mengaku beragama Islam. Sekarang
pukul 04.14 WIB.
Tempat ini ribuan kilometer jauhnya dari tanah
Papua. Entah mengapa pula Kasihku itu bisa berhitam kulit dan berkeriting rambut
seperti layaknya saudara kita nun jauh di ujung Timur sana. Adakah generasi di
atasnya yang mewariskan? Ternyata tidak juga. Kasih bilang, “Aku sering main
panas, bu”, tanpa menjawab mengapa rambutnya keriting.
Masih kelas satu SMP dan dia sudah begitu
hebat, menurutku. Bukan karena sekolah adalah sama-sama rumah kedua bagi kami,
bukan pula karena sekarang aku adalah ibu kedua untuknya. Tetapi lebih karena
garis takdir.. dari sekian banyak anak, toh Kasih yang aku ceritakan.
Sekolah kami tidak baik diberi label
tertinggal. Fasilitas cukup lengkap, meskipun anak-anak belum bisa belajar
komputer karena tidak ada. Perpustakaan dengan buku berserakan dan debu hampir
di setiap bukunya, mereka masih malas membaca. Memang di sekolah ini.. di
kampung ini… sebaiknya aku sampaikan bahwa di Kecamatan dengan sembilan desa
yang empat di antaranya tersebar jauh, sangat jauh ini belum mengenal
“jaringan”. Beberapa orang mendambakan jaringan untuk kemudahan hidup dan
berkomunikasi dengan dunia luar. Tetapi ada pula yang menentangnya dengan
alasan… berbagai alasan yang intinya dianggap akan merugikan mereka di kemudian
hari.
Nah, tidak ada sinyal operator seluler berarti
susahkah? Sama sekali tidak, karena dalam keterbatasan maka akan muncul ide-ide
dan cara adaptasi yang hebat. Nayatanya undangan pernikahan tetap akan kita
teriama dari ujung kampung sana meski kita di ujung lainnya lagi. Belum lagi
kabar duka. Tambah lagi kabar duka yang menjadi suka bagi rang lain, wah, itu
sudah barang tentu akan menjadi kabar yang segera menyebar, gosip.
Tempat tinggal Kasih lebih jauh lagi dari
“jaringan”. Bukan hanya sinyal, tetapi jalan dan juga listrik. Namanya Lesten.
Katanya sekarang sedang gencar dilakukan pembangunan, terutama pembuatan jalan.
Sebelumnya di sana telah pula ada listrik dari tenaga surya, sayangnya belum
dimanfaatkan secara bijak dan telah dimanfaatkan dengan sangat maksimal. Maka
hasilnya adalah beberapa panel penangkap panas sudah rusak.
Untuk menuju Pining, kampung kami sekarang ini.
Konon, Kasih dan warga Lesten lainnya harus berjalan kaki, kecuali mereka
memiliki kendaraan roda dua yang sudah berlapis rantai pada kedua rodanya dan
ada jonder maka mereka tidak perlu
sering-sering jalan kaki. Jonder jangan
diabayangkan sebagai kendaraan mewah atau bahkan kendaraan lapis baja seperti
hendak perang. Bayangkanlah jonder sebagai alat berat dengan empat roda yang
sangat besar dan tinggi, seperti di lahan pertanian atau perkebunan di negeri
Barat sana. Lalu untuk kembali menuju Lesten akan menghabiskan lebih banyak
waktu lagi, karena jalannya menanjak. Sembilan jam, jangan dibayangkan.
Tapi tawa Kasih selalu seperti tanpa beban.
Mungkin memang karena usianya yang memang masih pada perkembangan anak-anak,
tetapi tidak ingin aku disalahkan bila aku menebak dan menilai itu karena
kedewasaannya. Kasih sudah punya cerita yang mungkin belum pernah kita alami,
aku pun belum pernah. Dia memang tidak cemerlang dalam pelajarannya. Tidak pula
pendiam. Bahkan bila aku benar-benar tidak pernah bertanya dan menutup mata,
maka Kasih adalah anak nakal.
“Kasih di
sini tinggal tempat siapa?”
“Pak Gecik, bu. Yang di depan pohon besar itu, bu. Pernah ibu kan lihat Kasih di situ, bu?”
“Pak Gecik, bu. Yang di depan pohon besar itu, bu. Pernah ibu kan lihat Kasih di situ, bu?”
“Oyale, ibu panggil Kasih waktu itu.
Siapa yang di Lesten?”
“Mamakku,
bu. Dengan nenek”
“Bapakmu di
sini?”
“Sudah enggak adalah lagi bapakku, bu”
…..
Kemanakah bapakmu, nak? Tidak perlu aku
bertanya dia sudah pula akan menjawab. Sebenarnya ingin aku cegah, takut
melukai hatinya karena terkenang pada masa yang telah lalu. Tetapi aku juga
merasa perlu tahu, bukankah aku sekarang adalah ibunya.. begitu kubesarkan
hatiku.
Lelaki itu sudah pergi sejak Kasih masih dalam
kandungan. Katanya ia pergi mencari burung di hutan. Nyatanya ia tak pernah
kembali hingga suatu hari setelah Kasih lahir dan faham benar siapa mamak dan
siapa bapak bagi seorang anak, tersiar kabar bahwa ada yang sempat melihat sang
bapak di kota lain, masih di negeri ini, Kota Cane. Namun Kasih dan mamaknya
tidak ambil pusing, mereka bahkan menganggap lelaki itu telah berpulang
kepada-Nya. Sempat pula aku bertanya apakah mamaknya menikah lagi? Dengan
senyuman bangga seolah dia telah menjaga kehormatan sang mamak, “Aku enggak bolehkan mamakku nikah lagi, bu”.
Lalu aku simpulkan, bukan hanya anakku ini saja yang hebat, tetapi mamaknya
juga kuat.
Kasih tentu mengingatkanku dan kita pada lagi
tentang ibu, Kasih Ibu. Mengingatkan pada terimakasih. Mengingatkan pada Yang
Maha Pengasih. Dan kelak Kasih akan selalu mengingatkan aku pada kampung ini,
sekolah ini, dan semua yang akan berlalu pada masanya nanti. Aku tidak banyak
berharap pada perkembangan belajar Kasih, dia cukup aktif meskipun beberapa
pertanyaan yang ia lontarkan di kelas acapkali bukan pertanyaan yang pada
tempatnya, tetapi kan tetap saja dia sudah berani unjuk gigi. Meskipun demikian
sudah semestinya aku menaruh harap, aku ini ibunya.. aku berharap, kelak ia
lulus hingga SMA dan mengabariku hendak berjuang di Kota lain untuk kuliah atau
bekerja yang bukan sekedar menunggu durian atau manggis atau bahkan yang sangat
aku takutkan.. menanam ganja. Allah melindungimu, nak. Melindungi kita semua.
Aamiin.
0 komentar:
Post a Comment