Friday, October 30, 2015

Nopember. Lagi!



Dalam rangka menyambut bulan nopember yang harus tetap ceria meskipun akan lebih basah daripada bulan lainnya.. aku mempersembahkan segumpal darah yang bilamana ia telah rusak maka rusak pula pemiliknya, sehingga bila ia bersih dan sehat, begitupula dengan pemiliknya.

Aku bertaruh banyak dalam penawaran ini.. bukan sekedar meninggalkan geografi. Aku fikir aku sudah berpisah dengan geografi setelah melakukan perajalanan yang katanya akan lebih keren kalau disebut sebagai pengabdian. Dan pengabdian itu akan naik level, lebih keren lagi bila diiringi dengan gelar guru SM3T. Ternyata levelnya bisa dinaikkan lagi.. terutama bila aku ikut mengepalkan tangan dan melemparkannya ke udara seraya berteriak “maju bersama mencerdaskan Indonesia”. Sepertinya Indonesia ini nasibnya sama seperti aku, belum cerdas.

Nyatanya.. aku dan geografi tidak benar-benar terpisah. Karena aku mengajar Bahasa Indonesia dan Pendidikan Kewarganegaraan. Hubungannya? Begini.. kata guruku, atau kata gurunya guruku, atau bolehlah kata guru gurunya guruku.. geografi itu adalah ibunya mereka, ilmu-ilmu lainnya. Aku tidak pernah bertanya mengapa demikian, dan aku tidak pula berniat untuk menjelaskan. Adanya, aku punya segumpal darah tadi.. lalu aku letakkan ia dipangkuan geografi. Begitulah mengapa aku dan geografi tidak benar-benar terpisah.
Jadi mari kita bahas paragraf pertama..

Mengapa bulan Nopember dihubungkan dengan ceria? Karena sebenarnya yang berhubungan dengan ceria adalah September, umumnya. Jadi aku sudah asal bicara saja tentang Nopember ceria. Bagaimana dengan lebih basah daripada bulan lainnya? Itu karena aku berada di antara garis-garis maya yang dilalui materi dengan banyak uap air yang lelah dan akhirnya jenuh di cakrawala. Jadi, boleh dikatakan bahwa pernyataan yang kedua tidak asal bicara dan bisa dijelaskan secara ilmiah.

Paragraf dua..
Terlalu banyak hal yang aku harus jelaskan dengan sukarela kali ini. Hanya kali ini. Ceritanya, sekarang aku adalah orang-orang yang dipanggil “ibu guru”. Dengan akhlak ala kadarnya, dengan ilmu dan pengetahuan secukupnya, aku berusaha semampunya. Yah, ini biarlah menjadi bagian dari perjuanganku atau perjuangan kami. Males menjelaskan panjang lebar di bagian ini.

Paragraf ketiga..
Aku dan kami, biasa menyebut diri ini sebagai anak geo. Entah harus menunjukkan ekspresi yang bagaimana.

Ini di luar paragraf satu, dua, dan tiga..
aku sedang jatuh cinta dan bersiap patah hati dalam satu waktu yang bersamaan. Manakah yang akan mencapai garis finis duluan? kita tunggu sampai tahun depan.. eh, biar aku saja yang menunggu. sendirian.

IBU



Kau, mengajari aku mengucapkan kata-kata baru
Kau, menghendaki aku mengucapkan kata-kata bagus
Kau, adalah yang tidak membunuhku selagi masih bayi
Kau, adalah yang tidak mengutukku hingga menjadi batu
Kau, sebut nama aku.. pada tiap ucap doamu
Kau, jauh lebih tinggi daripada aneka macam sorga
Kau, tanyakan kabarku.. disaat aku tinggal jauh
Kau, adalah yang lunglai.. disaat aku marah pergi
Kau, adalah yang malu disaat aku berbuat memalukan
Kau, adalah yang bimbang tanya dengan siapa aku pergi
Kau, jauh lebih harum dari apapun yang paling mengharumkan
Kau, adalah yang bilang.. jangan kecewa sabar sayang
Kau, adalah dirimu dengan getar kupanggil engkau ibu.
Ketika engkau tersenyum kepadaku, cinta tak perlu lagi kucari darimu.

Dari the panas dalam, hatur nuhun surayah...

Kalau aku yang nyanyi, suaranya memang ndak akan merdu.. tapi kalau  aku yang mendengarkan, maka akan terjadi pertumpahan lelehan.. eng, darah. eh. air mata. Tapi ragu pula, sepertinya ndak akan keluar begitu saj adnegan mudahnya.

Hujan Di Pagi Buta



Hujan lagi disini, sementara disana belum hujan. Bukan salah hujannya, tetapi salah kepalamu berlindung di bawah langit yang basah. Lalu setelah hujan reda, katanya akan ada pelangi. Bahkan setelah badai yang memporak-porandakan segalanya hingga luluh lantah juga akan ada pelangi sebagai pelipur lara. Setelah kita kehujanan apakah pelangi sudah mulai muncul? Atau akan muncul? Apakah sebaiknya jangan muncul saja?
Sebaiknya kita, ah kaulah.. kembali belajar lagi. Banyak belajar tentang hujan dan tentang pelangi. Kalau sudah selesai, maka engkau boleh kembali lagi padaku dan ceritakan mengapa hingga saat ini pelangi belum juga muncul juga padahal sudah beberapa kali hujan turun.

Pelangi seperti halnya ideologi. Bukan hal yang diciptakan oleh negara. Tapi tidak pula sama persis dengan ideologi. Karena bukan digali dari sana-sini lalu kita sebut falsafah hidup.. alah, aku sekarang sudah menjadi guru pendidikan kewarganegaraan. Sedangkan aku bukan pula warga negara yang baik. Dan itu sama sekali belum memengaruhi hidupku, hidupmu, hidup kita, hidup mereka.. sejauh ini.

Apa kabar hujan hari ini? Masih berupa air atau sudah mengkristal lebih keras dan lebih besar selayaknya kerikil? Kerakal? Atau hujannya sudah berubah menjadi beribu-ribu pertanyaan seperti dalam paragraf ini. Biar saja, karena hujan.. siapapun dia, bukan keinginannya turun tepat di atas kepala kita. Bukan keinginannya menghujani kita. Sampaikan pada angin. Lalu angin akan meminta kita menyampaikannya lagi pada tekanan.. lalu bumi berotasi. Inginnya aku saja yang berevolusi, supaya bumi tidak lelah. Tapi aku juga belum tanyakan pada bumi, apakah ia lelah?

Segala sesuatu bisa menjadi lebih sederhana.. seperti air yang berubah menjadi hitam karena kopi. Atau seperti angin yang tidak berwarna. Atau seperti ibu yang tersenyum melihat kita pertama kalinya. Atau seperti.. hujan. Salah! Hujan sama sekali tidak sederhana. Hujan lebih hebat dari apapun.

Dia bisa turun disini.. tetapi tidak disana. Lalu aku menambahkan. Hujan juga bisa turun disana dan disini secara bersamaan. Lalu hujan juga bisa sama sekali enggan turun padahal kita sudah mendambanya selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga tahun berganti.. mungkin ketika hujan turun di tahun berikutnya, aku sudah mati.

Apakah itu rinai dan badai sekalipun.. tidak akan merubah apapun tentang cintaku pada hujan. Bukan karena hujan itu romantis, bukan pula karena hujan itu siklus. Tetapi karena tidak ada hal yang lebih pasti dan pantas aku nantikan selain daripada hujan. Pernah kau menunggu hujan? Ketika hujan tiba-tiba turun, apa rasanya? Atau bagaimana keadaanmu bila hujan yang kita tunggu disini ternyata turun disana. Kalau aku, berurai darah dari kedua mataku.

Mulanya yang akan menjadi judul dalam tulisan ini adalah hujan pagi buta. Tetapi apakah semua ini terlalu jelas? Sepertinya aku yang terlalu banyak bertanya.. jangan dijawab. Karena ini adalah urusanku dengannya, dengan hujan.

Aku harap hujan suatu waktu akan membawaku hanyut.. membawaku bertemu hujan berikutnya yang bersamanya muncul pelangi. Tetapi ternyata.. mungkin aku dan hujan sudah terikat janji dalam janji yang bisa diingat oleh makhluk seperti aku, disini atau tidak sama sekali. Jadi, meski engkau tanpa pelangi.. meski engkau turun disana sementara aku menunggu disini.. meski engkau berubah bentuk. Kita akan bertemu. Dan kita telah bertemu.. kemudian kita bertemu lagi.

Itulah Mengapa Anjing Berkaki Empat



Bebas itu artinya merdeka.  Aku adalah perempuan merdeka. Bukan berarti aku atau yang lainnya tidak faham tentang agama dan norma. Itu bahkan di luar kepala. Aku sudah khatam. Lalu aku berkhianat.

Perempuan bebas sebenarnya lebih lugas aku sebutkan daripada perempuan merdeka. Tetapi kebabasan perempuan seringpula diartikan sebagai bebas tanpa tanggung jawab. Nyatanya aku tetap bertanggungjawab. Setidaknya pada beberapa hal yang benar-benar tidak boleh terjadi dan tidak perlu aku alami sehingga dampaknya terus menorehkan jejak atau tepatnya menjadi aib.

Menjadi perempuan bebas bukan berarti harus terlibat dalam pergaulan bebas. Mungkin beberapa orang akan menyangkal bahwa ini adalah pembelaan atau bahkan pembenaran. Biar saja, aku adalah kafilah yang tetap berlalu saat anjing-anjing menggonggong. Apakah kau adalah anjing dalam hidupku? Atau ada anjing lain yang tidak aku ketahui keberadaannya? Jangan beri tahu aku rahasiamu.. nanti kau aku bunuh.

Apakah ini keluh kesah? Bukan, ini adalah tanda-tanda bahwa aku masih hidup di negeri antah berantah ini. Padahal masih dalam pulau yang sama, dalam negara yang sama, dan dalam sirkulasi udara yang sama. Nah nah, aku mulai meracau. Bukankah ini adalah khasnya ineu? Selamat datang, selamat kamu sudah nyasar dalam tulisan penting dan tidak penting edisi ini.

Janji adalah janji. Aku pernah berjanji tidak akan sembarangan berjanji. Lalu aku melanggarnya dan kemudian kembali berjanji lagi. Harap dimaklumi karena aku adalah perempuan yang bebas. Maka aku bebas menentukan kapan aku akan mulai berjanji lagi bila aku telah melanggar janji.

Sekarang bebas sudah tidak lagi berarti banyak di negeri antah bernatah ini. Aku hanya bisa melongo tergagap setiap kali dicela dicerca dan ditegur hati nurani. Ah, lagakku. Seperti yang masih punya hati nuranilah ini... aslinya hati nurani aku sudah digadaikan untuk menyambung hidup. Kan hidup aku sudah berakhir, waktu itu.. waktu itu sudah aku posting.

Jadi sekarang intinya apa? Seperti halnya tanpa awal yang jelas makan akan diakhiri dengan hal yang lebih tidak jelas lagi. Beginilah dan begitulah berawal dan berakhir dengan sendirinya dan semauku.

Terimakasih untuk semua ucapan nasihat dan pujian, karena ku anggap itu semua pujian. Aku terlalu tebal muka dan tebal telingan untuk mencerna. Sebentar lagi aku akan melompat pagar, lalu aku melompati pohon kelapa, lalu aku melompati Leuser, lalu aku sudah berada di atas kepalamu. Biar kau tahu rasa, biar matamu terbuka.. aku ini ada. Dan aku bebas.



 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design