hai jingga, sudah berapa lamakah kita tak bercengkrama?
rasanya begitu banyak luputku, menghindarimu.. membuatmu menunggu.. tak memperhatikanmu..
menurutmu, apakah aku mengabaikanmu? mungkin iya bagimu, jingga.
ah, jingga.. kau terlalu berburuk sangka padaku jika kau berfikir begitu.
siang berlalu malam berganti..
melihat biru aku terbayang akan keteduhanmu.
melihat putih, aku sedang melihat hatimu.
hijau? hijau adalah cintaku untukmu jingga...
aku bahkan tak bisa lepas dan melepaskanmu.
apakah itu kutukan?
sama sekali bukan jinggaku. itu adalah anugrah dalam hidupku.. menyatu denganmu, menemukan Tuhan hingga memeluk-Nya dan tak akan kita lepas lagi. Kita akan menuju ke arah itu kan, jingga?
sekarang jingga, entah siapa yang sedang bergerak meniggalkan siapa.
tapi aku tahu, kau pasti tetap disana, di tempat pertama kali kita berjumpa, menungguku pulang. tapi aku bahkan tidak pergi kemana-mana, mengertilah...
aku tidak menutup pintu, hanya memberi tirai tipis, setipis kabut yang enggan menghalangi keindahan cinta kita.
jingga...
ada duri dalam tenggorokanmu
aku memakan sekam dan meminum racun
kepalaku? sudah berpindah ke tempat kaki berpijak dan kakiku mengawang, aku jungkir balik
jinggaku tercinta.. aku tak harus berkeluh kesah padamu, meski ya yang aku lakukan saat ini lebih dari sekedar keluh kesah
pantasnya aku menangis, tapi sayang sekali.. aku tidak cengeng.
jingga tak tanya tentang kabarku?
tak perlu.. aku tak akan menjawabnya
nanti aku pulang jingga, ketika hujan sudah turun.. aku pasti pulang
jingga, aku mencintaimu meski kau tak mempercayainya.
0 komentar:
Post a Comment