Cuma belajar
kelompok saja dicurigai. Jam sebelas malam belum tidur, dituduh sedang main handphone.
Lebih parahnya lagi waktu bangun kesiangan, ayah pasti bilang karena tadi malam
aku begadang. Ayah bahkan tidak pernah tahu atau bahkan tidak mau tahu, berapa
banyak jumlah tugas kelompok dan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan secara
individu. Aku bahkan tidak punya lebih uang jajan untuk beli kuota, karena ayah
sangat membatasi uang jajanku, bagaimana mungkin aku main handphone?. Lalu
tentang begadang, rumah ini di dekat pasar yang selalu ramai, biarpun seumur
hidupku sudah tinggal disini, namun tetap saja ada masa dimana aku lebih
gelisah daripada biasanya, mungkin lebih keren kalau kubilang aku insomnia,
kadang-kadang.
“Ingat,
biaya kuliah mahal!”
Tentu aku
tidak akan lupa. Bangun tidur, ayah akan menyambutku dengan kalimat itu. Pamit main,
ayah pesan begitu. Pulang dari masjid, ayah juga bilang begitu. Rasanya bak memanjat
batang kacang ajaib milik Jack, tinggi dan jauh di atas sana si biaya kuliah
itu.
Atau suatu
waktu ayah akan tanya, “Mau kuliah dimana kau nanti?”.
Kalau sekarang
sedang gelap gulita, pasti tiba-tiba benderang dari binar mataku. Aku selalu
bersemangat setiap kali ada yang bertanya tentang mimpi-mimpiku.
“Ayah tahukah
banyak nian kampus di Jawa, aku mau kuliah di Jawa, Yah. Disana ada kampus yang
namanya …”
“Ingat,
biaya kuliah mahal!”
Selalu saja
begitu. Listrik padam bisa kusalahkan
PLN. Tapi bilamana semangatku padam, tidak tega rasanya bila kusalahkan ayah. Tapi
memang ayah yang salah, lirih benar suara-suara ini ada di dalam lubuk hatiku. Dengan
segera aku akan mengusir suara-suara itu. Aku tahu ayah juga mendukungku
kuliah. Bersamaan dengan itu, aku pun sadar bagaimana kondisi kami. Ayah hanya
pedagang buah di pasar satu-satunya yang ada di kampung kami. Kalau dagangannya
tidak habis laku, ayah akan berkeliling dari satu RT ke RT lain. Kampung kami
kecil, hampir setiap hari semua orang ke pasar. Jika mereka tidak membeli buah segar
ketika di pasar, maka sedikit sekali yang akan membeli buah layu di sore hari.
Ayah mungkin
belum dapat kabar. Anak-anak remaja di sekolah mulai terserang wabah aneh. Senyum
sendiri, rela lapar demi membelikan coklat, sok akrab dengan teman kelas lainnya
agar bisa kirim salam dengan gratis. Kalau sampai kabar ini sampai pada ayah,
kuperkirakan peringatannya akan semakin sering kudengar. Apalagi sekarang aku
sudah kelas dua belas dan dalam tahun ini akan menghadapi ujian kelulusan.
“Pik, belum
punya pacar ya?”
“Belum, wak”
“Jangan kau
menyendiri, seperti ayahmu itu. Hidup itu indah, Pik. Harus diisi dengan
hal-hal berkesan”.
Terus saja
sepanjang hari aku membayangkan apalah indahnya pacaran?. Wak Ipang adalah
teman ayah berdagang di pasar. Mereka sudah saling kenal sejak remaja. Wajar saja
bila ia yang paling pandai menerka hati ayah. Indahnya bayanganku kemudian
sirna ketika aku pulang dan bertemu ayah. Sumringah. Ayah bahkan tampak sedang
memecahkan es batu, ada satu teko teh manis di atas meja. Itu semua membuatku
terheran-heran.
“hari ini
panas terik, Pik”.
“Tumben
ayah beli es”.
“Tidak
apalah sesekali. Kau juga pasti haus kan. Pulang sekolah harus jalan kaki”.
Usut punya
usut hari ini dagangan ayah ludes habis sudah. Jadi ayah pulang lebih awal. Rumah
sudah dibersihkan. Cucian piring yang sejatinya adalah tugasku, sudah pula ayah
kerjakan. aku mencoba mencari celah yang pas untuk menyambung obrolan tempo
hari tentang kuliah.
“Yah, sebentar
lagi Pik ulang tahun”.
“Iya, ayah
sudah siapkan kado untuk kau.”
Ayah, biar
saja anak remaja lainnya mengalami penyakit yang aneh. Karena aku mengalami hal
yang lebih aneh. Ayah tampak lebih muda, tampan, dan banyak uangnya. Hari ini
aku bahagia sekali ayah. Aku berharap ayah memberiku kado biaya kuliah ke Jawa.
“Tapi kau
harus hemat, Pik. Ingat, biaya kuliah mahal!”
“….”
“Ayah juga
dengar, kawan-kawanmu mulai mengenal cinta-cintaan. Jangan kau ikuti yang
demikian itu”.
“…..”
“Ayah tidak
ingin kau jadi penjual buah seadanya seperti ayah begini”
“…….”.
Mataku berkaca-kaca. Nafasku naik turun sama beratnya. Aku hela pelan-pelan,
takut ayah merasa tersinggung.
Obrolan siang
hari sepekan sebelum ulang tahunku, berlalu begitu saja. Ayah kembali berdagang,
kadang langsung habis, kadang juga harus ditambah dengan berkeliling. Aku semakin
sibuk latihan soal. Menyisihkan uang jajanku untuk membeli kuota internet, agar
bisa belajar dari sumber lainnya yang lebih banyak lagi. Wak Ipang juga begitu,
selalu mengulangi kalimat yang itu-itu saja bila bertemu denganku di pasar. Benar-benar
lambat dunia berputar, namun pasti.
Hari ini
adalah hari ulang tahunku. Aku segera berangkat ke masjid, berjalan mendahului
ayah. Aku ingin tunjukkan padanya bahwa aku sudah dewasa. Tidak perlu ayah
ingatkan dan suruh-suruh lagi untuk kewajibanku. Pulang dari masjid, aku
menyapu halaman, mencuci piring dan bergegas mandi. Ayah sedang bersiap-siap menata
buah dalam keranjang di sisi kiri dan kanan motornya. Aku sudah siap menerima
kado dari ayah.
“Pik, ayah
berangkat duluan ya”.
“Eh, iya
ayah. Fii amanillah”.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam, ayah".
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam, ayah".
Apa-apaan ini?
Ayah bahkan tidak mengucapkan selamat ulang tahun dan mendo’akan apalah begitu
untukku. Apa mungkin ayah lupa? Atau ayah mau meberikan aku kejutan? Mana mungkin
ayah seromantis itu repot-repot menyiapkan kejutan untukku. Aku jadi layu. Kulangkahkan
kakiku menuju ke sekolah dengan gontai, turun sudah semangatku.
Pelajaran di
sekolah hari ini sulit aku mengerti. Biarpun bapak dan ibu guru sudah
menjelaskannya, tetap saja aku bingung. Beberapa kali aku ditegur karena kedapatan
sedang melamun. Kalau nilaiku jelek kali ini, sudah bisa kupastikan bahwa ini
adalah salah ayah. Aku marah.
Pulang sekolah
hari ini aku harus mampir ke pasar. Jangan sampai aku bertemu dengan ayah. Cukup
saja aku diberi harapan palsu, katanya akan diberi hadiah ulang tahun. Tapi tetap
saja aku harus ke pasar, karena ayah sudah menitipkan makan siang dan kunci
rumah pada Wak Ipang seperti biasanya. Biarlah kali ini aku yang mengalah.
“Pik. Pik. Hei,
Pik”. Wak Ipang berteriak memanggilku, ia belari tegopoh menghampiri.
“Ada apa,
wak?”
“Ayah kau,
Pik. Ayah kau…”
“Kenapa
ayah? Ada apa, wak?” Ayah, tiba-tiba hatiku menjadi gelisah. Aku lupa bahwa
sedetik yang lalu sedang marah pada ayah.
“Ayah kau
sepertinya sudah tak sadar…”
“Ayah
kenapa? Dimana ayah?” Aku semakin panik.
“Ayo, Pik. Kita
ke dalam pasar, ayah kau ada disana”
Air mataku
bercucuran, bagaimana jika sesuatu terjadi pada ayah? Aku sudah tidak pernah
melihat ibu semenjak bayi. Kalau sekarang sesuatu hal yang kutakutkan terjadi
pada ayah, aku tidak mau, aku tidak akan siap.
Dari kejauhan
aku melihat kios ayah dikerumuni banyak orang. Kupercepat langkahku, rasanya
berat sekali. Orang-orang menatapku dengan sorot mata yang tidak aku tahu apa
artinya. Aku semakin khawatir. Sampailah aku di depan kerumunan. Lututku gemetar,
seragamku basah bersimbah peluh. Aku harus menerobos orang-orang ini. Pelan-pelan
aku kepalkan dengan kuat jemariku, perlahan mulai melangkah. Dengan sendirinya
orang-orang memberi jalan. Sampai akhirnya aku lihat ayah ….
“…..”.
Aku benar-benar terkejut melihat
ayah, sampai jatuh lututku bersimpuh. Air mataku mengalir deras.
“Pik ….”
Tangisku semakin menjadi, aku
meraung ketakutan. Sedih, takut, khawatir dan bahagia menjadi satu.
“Selamat ulang
tahun, Pik”
Ayah berjongkok
di hadapanku. Di tangannya ada sepotong roti kecil tanpa lilin di atasnya. Aku semakin
tak kuasa menahan air mata. Ayah dan seisi pasar ini telah berkomplot
mengerjaiku. Mereka bersorak sorai, mengucapkan selamat padaku, mengusap
kepalaku, menepuk bahuku, dan beberapa diantaranya memberikan kado berupa
tempe, sayuran, cabai, dan apa saja yang ada di kios mereka.
“Hei, anak
laki-laki jangan cengeng, Pik!”
Aku sekarang
sudah ada dalam pelukan ayah. Usiaku hari ini adalah 16 tahun dan aku
bersyukur, ayah baik-baik saja tidak seperti yang kusangka.
“Apa ini
hadiah yang ayah maksud?”
“Hahahaha. Bukan,
Pik. Hadiah dari ayah adalah kau boleh kuliah kemana saja!”
“Sungguh
ayah?”
“Tentu, kau
sudah dewasa sekarang. Pergilah kau cari ilmu, kejar cita-citamu. Ke jawa atau
kemanapun yang kau mau!”
“Benarkah
ayah?” Aku terperanjat, takjub.
“Iya, tapi
kau harus bersungguh-sungguh. Ingat …”
“Aku ingat,
yah. Biaya kuliah mahal!”
Kami berdua
tergelak. Ingusku keluar tanpa bisa kutahan. Air mataku surut dan yang tersisa
adalah isak bahagia. Wak Ipang menyaksikan drama siang hari ini juga ikut
tergelak. Ibu-ibu tampak senyum-senyum dan menggelengkan kepala melihat tingkah
kami.
Diam-diam aku
minta maaf, karena sudah berburuk sangka pada ayah, bahkan aku sudah berdosa
sekali karena berani menuduh ayah. Ayah.. terima kasih, ini adalah kado
terindah dalam hidupku, akan kujaga amanah dari ayah.
===
Akhirnya Pik bisa kuliah ke Jawa. Usaha ayah terus berkembang, sekarang sudah ditambah dengan berjualan jus dan juga es buah. Handphone milik Pik sudah diganti dengan yang baru, kuotanya juga selalu ada. Ayah juga membeli handphone meskipun bekas. Jadi ayah dan Pik bisa sering-sering telpon dan juga saling tatap dalam video, dan tentu saja ayah akan bilang, "Ingat, biaya kuliah mahal!"
===
Ps.
- Sayangi orang tua
- Jangan pacaran sebelum menikah
- Belajar dengan bersungguh-sungguh, bukan untuk orang lain tapi untuk diri sendiri maka kemudian akan berdampak pula baiknya bagi orang lain
- Ingat perjuangan kedua orang tua dan juga keluarga
- Ingat, biaya kuliah mahal!
0 komentar:
Post a Comment