Monday, February 17, 2020

Kado Ulang Tahun


Cuma belajar kelompok saja dicurigai. Jam sebelas malam belum tidur, dituduh sedang main handphone. Lebih parahnya lagi waktu bangun kesiangan, ayah pasti bilang karena tadi malam aku begadang. Ayah bahkan tidak pernah tahu atau bahkan tidak mau tahu, berapa banyak jumlah tugas kelompok dan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan secara individu. Aku bahkan tidak punya lebih uang jajan untuk beli kuota, karena ayah sangat membatasi uang jajanku, bagaimana mungkin aku main handphone?. Lalu tentang begadang, rumah ini di dekat pasar yang selalu ramai, biarpun seumur hidupku sudah tinggal disini, namun tetap saja ada masa dimana aku lebih gelisah daripada biasanya, mungkin lebih keren kalau kubilang aku insomnia, kadang-kadang.

“Ingat, biaya kuliah mahal!”

Tentu aku tidak akan lupa. Bangun tidur, ayah akan menyambutku dengan kalimat itu. Pamit main, ayah pesan begitu. Pulang dari masjid, ayah juga bilang begitu. Rasanya bak memanjat batang kacang ajaib milik Jack, tinggi dan jauh di atas sana si biaya kuliah itu.

Atau suatu waktu ayah akan tanya, “Mau kuliah dimana kau nanti?”.

Kalau sekarang sedang gelap gulita, pasti tiba-tiba benderang dari binar mataku. Aku selalu bersemangat setiap kali ada yang bertanya tentang mimpi-mimpiku.

“Ayah tahukah banyak nian kampus di Jawa, aku mau kuliah di Jawa, Yah. Disana ada kampus yang namanya …”
“Ingat, biaya kuliah mahal!”

Selalu saja begitu. Listrik padam  bisa kusalahkan PLN. Tapi bilamana semangatku padam, tidak tega rasanya bila kusalahkan ayah. Tapi memang ayah yang salah, lirih benar suara-suara ini ada di dalam lubuk hatiku. Dengan segera aku akan mengusir suara-suara itu. Aku tahu ayah juga mendukungku kuliah. Bersamaan dengan itu, aku pun sadar bagaimana kondisi kami. Ayah hanya pedagang buah di pasar satu-satunya yang ada di kampung kami. Kalau dagangannya tidak habis laku, ayah akan berkeliling dari satu RT ke RT lain. Kampung kami kecil, hampir setiap hari semua orang ke pasar. Jika mereka tidak membeli buah segar ketika di pasar, maka sedikit sekali yang akan membeli buah layu di sore hari.

Ayah mungkin belum dapat kabar. Anak-anak remaja di sekolah mulai terserang wabah aneh. Senyum sendiri, rela lapar demi membelikan coklat, sok akrab dengan teman kelas lainnya agar bisa kirim salam dengan gratis. Kalau sampai kabar ini sampai pada ayah, kuperkirakan peringatannya akan semakin sering kudengar. Apalagi sekarang aku sudah kelas dua belas dan dalam tahun ini akan menghadapi ujian kelulusan.

“Pik, belum punya pacar ya?”
“Belum, wak”
“Jangan kau menyendiri, seperti ayahmu itu. Hidup itu indah, Pik. Harus diisi dengan hal-hal berkesan”.

Terus saja sepanjang hari aku membayangkan apalah indahnya pacaran?. Wak Ipang adalah teman ayah berdagang di pasar. Mereka sudah saling kenal sejak remaja. Wajar saja bila ia yang paling pandai menerka hati ayah. Indahnya bayanganku kemudian sirna ketika aku pulang dan bertemu ayah. Sumringah. Ayah bahkan tampak sedang memecahkan es batu, ada satu teko teh manis di atas meja. Itu semua membuatku terheran-heran.

“hari ini panas terik, Pik”.
“Tumben ayah beli es”.
“Tidak apalah sesekali. Kau juga pasti haus kan. Pulang sekolah harus jalan kaki”.

Usut punya usut hari ini dagangan ayah ludes habis sudah. Jadi ayah pulang lebih awal. Rumah sudah dibersihkan. Cucian piring yang sejatinya adalah tugasku, sudah pula ayah kerjakan. aku mencoba mencari celah yang pas untuk menyambung obrolan tempo hari tentang kuliah.

“Yah, sebentar lagi Pik ulang tahun”.
“Iya, ayah sudah siapkan kado untuk kau.”

Ayah, biar saja anak remaja lainnya mengalami penyakit yang aneh. Karena aku mengalami hal yang lebih aneh. Ayah tampak lebih muda, tampan, dan banyak uangnya. Hari ini aku bahagia sekali ayah. Aku berharap ayah memberiku kado biaya kuliah ke Jawa.

“Tapi kau harus hemat, Pik. Ingat, biaya kuliah mahal!”
“….”
“Ayah juga dengar, kawan-kawanmu mulai mengenal cinta-cintaan. Jangan kau ikuti yang demikian itu”.
“…..”
“Ayah tidak ingin kau jadi penjual buah seadanya seperti ayah begini”
“…….”. Mataku berkaca-kaca. Nafasku naik turun sama beratnya. Aku hela pelan-pelan, takut ayah merasa tersinggung.

Obrolan siang hari sepekan sebelum ulang tahunku, berlalu begitu saja. Ayah kembali berdagang, kadang langsung habis, kadang juga harus ditambah dengan berkeliling. Aku semakin sibuk latihan soal. Menyisihkan uang jajanku untuk membeli kuota internet, agar bisa belajar dari sumber lainnya yang lebih banyak lagi. Wak Ipang juga begitu, selalu mengulangi kalimat yang itu-itu saja bila bertemu denganku di pasar. Benar-benar lambat dunia berputar, namun pasti.

Hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku segera berangkat ke masjid, berjalan mendahului ayah. Aku ingin tunjukkan padanya bahwa aku sudah dewasa. Tidak perlu ayah ingatkan dan suruh-suruh lagi untuk kewajibanku. Pulang dari masjid, aku menyapu halaman, mencuci piring dan bergegas mandi. Ayah sedang bersiap-siap menata buah dalam keranjang di sisi kiri dan kanan motornya. Aku sudah siap menerima kado dari ayah.

“Pik, ayah berangkat duluan ya”.
“Eh, iya ayah. Fii amanillah”.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam, ayah".

Apa-apaan ini? Ayah bahkan tidak mengucapkan selamat ulang tahun dan mendo’akan apalah begitu untukku. Apa mungkin ayah lupa? Atau ayah mau meberikan aku kejutan? Mana mungkin ayah seromantis itu repot-repot menyiapkan kejutan untukku. Aku jadi layu. Kulangkahkan kakiku menuju ke sekolah dengan gontai, turun sudah semangatku.

Pelajaran di sekolah hari ini sulit aku mengerti. Biarpun bapak dan ibu guru sudah menjelaskannya, tetap saja aku bingung. Beberapa kali aku ditegur karena kedapatan sedang melamun. Kalau nilaiku jelek kali ini, sudah bisa kupastikan bahwa ini adalah salah ayah. Aku marah.

Pulang sekolah hari ini aku harus mampir ke pasar. Jangan sampai aku bertemu dengan ayah. Cukup saja aku diberi harapan palsu, katanya akan diberi hadiah ulang tahun. Tapi tetap saja aku harus ke pasar, karena ayah sudah menitipkan makan siang dan kunci rumah pada Wak Ipang seperti biasanya. Biarlah kali ini aku yang mengalah.

“Pik. Pik. Hei, Pik”. Wak Ipang berteriak memanggilku, ia belari tegopoh menghampiri.
“Ada apa, wak?”
“Ayah kau, Pik. Ayah kau…”
“Kenapa ayah? Ada apa, wak?” Ayah, tiba-tiba hatiku menjadi gelisah. Aku lupa bahwa sedetik yang lalu sedang marah pada ayah.
“Ayah kau sepertinya sudah tak sadar…”
“Ayah kenapa? Dimana ayah?” Aku semakin panik.
Ayo, Pik. Kita ke dalam pasar, ayah kau ada disana”

Air mataku bercucuran, bagaimana jika sesuatu terjadi pada ayah? Aku sudah tidak pernah melihat ibu semenjak bayi. Kalau sekarang sesuatu hal yang kutakutkan terjadi pada ayah, aku tidak mau, aku tidak akan siap.

Dari kejauhan aku melihat kios ayah dikerumuni banyak orang. Kupercepat langkahku, rasanya berat sekali. Orang-orang menatapku dengan sorot mata yang tidak aku tahu apa artinya. Aku semakin khawatir. Sampailah aku di depan kerumunan. Lututku gemetar, seragamku basah bersimbah peluh. Aku harus menerobos orang-orang ini. Pelan-pelan aku kepalkan dengan kuat jemariku, perlahan mulai melangkah. Dengan sendirinya orang-orang memberi jalan. Sampai akhirnya aku lihat ayah ….

“…..”.
Aku benar-benar terkejut melihat ayah, sampai jatuh lututku bersimpuh. Air mataku mengalir deras.
“Pik ….”
Tangisku semakin menjadi, aku meraung ketakutan. Sedih, takut, khawatir dan bahagia menjadi satu.
“Selamat ulang tahun, Pik”

Ayah berjongkok di hadapanku. Di tangannya ada sepotong roti kecil tanpa lilin di atasnya. Aku semakin tak kuasa menahan air mata. Ayah dan seisi pasar ini telah berkomplot mengerjaiku. Mereka bersorak sorai, mengucapkan selamat padaku, mengusap kepalaku, menepuk bahuku, dan beberapa diantaranya memberikan kado berupa tempe, sayuran, cabai, dan apa saja yang ada di kios mereka.

“Hei, anak laki-laki jangan cengeng, Pik!”

Aku sekarang sudah ada dalam pelukan ayah. Usiaku hari ini adalah 16 tahun dan aku bersyukur, ayah baik-baik saja tidak seperti yang kusangka.

“Apa ini hadiah yang ayah maksud?”
“Hahahaha. Bukan, Pik. Hadiah dari ayah adalah kau boleh kuliah kemana saja!”
“Sungguh ayah?”
“Tentu, kau sudah dewasa sekarang. Pergilah kau cari ilmu, kejar cita-citamu. Ke jawa atau kemanapun yang kau mau!”
“Benarkah ayah?” Aku terperanjat, takjub.
“Iya, tapi kau harus bersungguh-sungguh. Ingat …”
“Aku ingat, yah. Biaya kuliah mahal!”

Kami berdua tergelak. Ingusku keluar tanpa bisa kutahan. Air mataku surut dan yang tersisa adalah isak bahagia. Wak Ipang menyaksikan drama siang hari ini juga ikut tergelak. Ibu-ibu tampak senyum-senyum dan menggelengkan kepala melihat tingkah kami.

Diam-diam aku minta maaf, karena sudah berburuk sangka pada ayah, bahkan aku sudah berdosa sekali karena berani menuduh ayah. Ayah.. terima kasih, ini adalah kado terindah dalam hidupku, akan kujaga amanah dari ayah.

===

Akhirnya Pik bisa kuliah ke Jawa. Usaha ayah terus berkembang, sekarang sudah ditambah dengan berjualan jus dan juga es buah. Handphone milik Pik sudah  diganti dengan yang baru, kuotanya juga selalu ada. Ayah juga membeli handphone meskipun bekas. Jadi ayah dan Pik bisa sering-sering telpon dan juga saling tatap dalam video, dan tentu saja ayah akan bilang, "Ingat, biaya kuliah mahal!"

===

Ps.
  1. Sayangi orang tua
  2. Jangan pacaran sebelum menikah
  3. Belajar dengan bersungguh-sungguh, bukan untuk orang lain tapi untuk diri sendiri maka kemudian akan berdampak pula baiknya bagi orang lain
  4. Ingat perjuangan kedua orang tua dan juga keluarga
  5. Ingat, biaya kuliah mahal!


0 komentar:

Post a Comment

 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design