Tuesday, February 4, 2020

Seroja


Suatu hari Seroja pulang terlambat, tapi aku tidak tanya apa sebabnya. Air di dalam botol yang ia bawa sejak pagi, tampak hanya berkurang setengahnya. Ranselnya agak tipis dibandingkan dengan pagi tadi, menggelembung dan tampak sesak dengan beban yang banyak. Sudah petang tapi matahari masih terik, jaket yang tadi pagi dipakai oleh Seroja, sekarang tampak asal-asalan saja diselempangkan ke bahunya.

Jarak antara kami tinggal beberapa meter saja. Sebentar lagi aku bisa mencium aroma parfumnya yang sudah memudar bercampur dengan bau keringatnya dan juga bau asap kendaraan. Biasanya Seroja akan pulang naik angkot dan berjalan dari warung di ujung gang deret rumah kami. Tentu saja Seroja akan melewatiku, melewati rumahku yang berada di urutan kedua dari mulut gang. Hanya ada delapan rumah di gang ini. Rumah Seroja urutan ketiga, di seberang rumahku agak serong sedikit.

Aku harus rajin menyapu halaman, menyiram tanaman, membuang sampah, atau sekedar mengecek kunci pagar untuk mencuri-curi ingin melihat Seroja. Ia tidak pernah melakukan kegiatan seperti yang aku lakukan. Sesekali bila aku beruntung, aku akan melihatnya duduk di teras sambil memegang buku. Atau kalau bulan jatuh ke pangkuanku, kulihat Seroja tertawa tergelak bersama ibunya. Seroja tidak pernah mencuri pandang bahkan aku curiga, sebenarnya ia tidak mengenali aku.

Musim kemarau tahun ini rasa-rasanya lebih panas daripada yang sebelumnya. Pekerjaanku menyapu halaman lebih berat, kali ini bukan untuk cari perhatian dari Seroja, memang daun-daun banyak berguguran, dan ibuku akan mengomel kalau aku  bermalas-malasan. Mahasiswa tingkat akhir, rajin mengerjakan skripsi tapi malas bimbingan, jadilah ibuku semakin geram. Sore hari biasanya pekerjaanku sudah selesai, aku hanya tinggal memilah sampah dan saat itu biasanya bertepatan dengan jam pulang Seroja.

Seroja tampak kelelahan, aku lihat bulir-bulir peluh mengalir dari kening, terus turun lewat pelipisnya, dan tanganku kadang refleks ingin menyekanya. Tapi aku tahu jarakku, tangaku bukan seperti milik Luffy di One Piece, lagipula pasti dia akan teriak atau bahkan langsung kabur dan lain sebagainya yang lebih parah lagi. Tapi aku tidak terlalu mengkhawatirkan itu, karena Seroja akan tersenyum manis sekali kalau ada orang yang menyapanya. Dengan sopan ia akan berhenti sebentar agak menepi sambil mengangguk sedikit.

Bulan berganti, Seroja tetap di hati. Aih betapa aku selalu sedang kasmaran bila berhubungan dengan Seroja. Tapi tidak pernah sekalipun aku memberanikan diri untuk menyapanya. Tanpa terasa kemarau berlalu, sekarang sudah pancaroba. Aku sempat terserang flu, badanku panas tinggi, ibu melarangku untuk menyapu halaman dan keluar rumah. Aku semakin sakit kepala. Karena satu hari saja tidak melihat Seroja itu sama artinya ibu sedang menghukumku karena harus menanggung rindu.
 
Akhirnya aku sembuh dan cinta sepihak bisa aku lanjutkan lagi. Seperti wabah penyakit yang mudah menular, aku harap perasaanku bisa menular juga. Ternyata hanya flu saja yang menular. Seroja berangkat dan pulang kuliah selalu diantar, aku lihat dia memakai jaket dan juga masker. Aku harap ia segera sembuh, karena melihatnya begitu rasanya sama seperti penyakitku kambuh lagi. berangsur aku lihat Seroja sudah tidak diantar lagi, sungguh lega rasanya.

Satu tahun berlalu. musim penghujan akan segera habis. Kadang-kadang ada pelangi, mungkin bidadarinya akan turun ke sungai dimana orang-orang membuang limbah atau sembarangan melempar sandal yang putus, atau sekedar membuang pandang dengan miris. Hujan sudah jarang turun. Sedikit saja sore hari agak gerimis. Aku pernah lihat Seroja pulang dengan langkah lebar-lebar, tidak membawa payung. Aku segera berlari keluar rumah menyambar payung di dekat pintu dan sesampainya aku di luar, Seroja sudah masuk ke halaman rumahnya.

Rasanya rugi bila aku terus begini saja. Sebentar lagi aku wisuda tapi Seroja belum  juga tahu perasaanku. Sementara ibuku mulai curiga dan semakin memanfaatkan perasaanku. Sekarang apa-apa yang berhubungan dengan halaman rumah, diserahkan padaku. Peluangku semakin besar, tapi aku jadi lebih banyak pekerjaan. Hari ini juga gerimis, langit sudah gelap, dan aku pun bersiap.

Payung sudah aku siapkan, aku duduk di teras. Pagar sengaja tidak aku kunci untuk mempercepat pergerakanku. Aku juga sudah melihat prakiraan cuaca hari ini berulang kali. Aku yakin hujan akan segera turun. Dari jauh aku lihat warna jaketnya, jantungku berdebar. Aku sudah hafal warna jaket Seroja, hijau olive dengan resleting yang tidak pernah ditutup. Langkahnya semakin lebar, tampak nian ia ingin segera sampai rumah. Aku segera berlari ke halaman, keluar pagar dan berjalan cepat melewati Seroja dan sempat kulihat matanya berkedip saat kami berpapasan. Setelah melewatinya aku segera putar balik dan mengatur jarak yang pas agar payung di tanganku bisa melindunginya.

Seroja berhenti. Aku pun juga. Aku bingung harus berbuat apa, tanganku saja gemetar begini. Seroja memutar langkah, sekarang kami berhadapan. Aku semakin salah tingkah.

“Mas Nathan?”

“….” Aku bergeming.

“Mas Nathan, kan?”.

Mungkin memang sudah saatnya aku mengaku. Lagipula aku bukan maling, ya walaupun selama ini aku selalu mencuri pandang.

“Iya, kok Seroja tahu?”.

Tiba-tiba air hujan kembali ke langit. Apa-apaan ini, masih penghujung musim hujan tapi aku lihat bunga bermekaran, kupu-kupu terbang kesana-kemari. Anginnya hangat nian. Seroja tersenyum.

“Iya, mas. Ibu yang cerita, katanya Mas Nathan paling rajin nyapu halaman di gang kita ini”.

“Hehehe..” tawa macam apa ini?.

“Mas sengaja mau antar pulang aku, kan? Ayok, mas”.

Aduh. Aku malu, garuk-garuk kepala dan menggosok hidung. Aku menyesal, mengapa tidak dari dulu aku lakukan ini.  Seroja mulai mengetuk-ngetuk tongkat yang selalu ia bawa, ia arahkan kesana-kemari. Ah biarpun aku nyengir juga Seroja tidak akan melihat. Tetap saja aku malu. Pelan-pelan aku bergerak ke sampingnya. Seroja lagi-lagi tersenyum. Seroja, aku ingin menjadi tongkat yang membantu dan menemani setiap langkahmu.


=======
pesan: 
  1. Jangan pacaran! sebelum menikah.
  2. Aku pernah menyimpan niat baik, bermaksud menolong, tapi tidak jadi aku lakukan karena takut menyinggung orang yang itu. Tapi ternyata belakangan aku baru tahu, dia mengharapkan pertolonganku tanpa berani meminta karena takut merepotkan.
  3. Diam-diam kita perlu saling mendo'akan.

2 komentar:

 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design