Suatu hari
Seroja pulang terlambat, tapi aku tidak tanya apa sebabnya. Air di dalam botol
yang ia bawa sejak pagi, tampak hanya berkurang setengahnya. Ranselnya agak
tipis dibandingkan dengan pagi tadi, menggelembung dan tampak sesak dengan
beban yang banyak. Sudah petang tapi matahari masih terik, jaket yang tadi pagi
dipakai oleh Seroja, sekarang tampak asal-asalan saja diselempangkan ke
bahunya.
Jarak antara
kami tinggal beberapa meter saja. Sebentar lagi aku bisa mencium aroma
parfumnya yang sudah memudar bercampur dengan bau keringatnya dan juga bau asap
kendaraan. Biasanya Seroja akan pulang naik angkot dan berjalan dari warung di
ujung gang deret rumah kami. Tentu saja Seroja akan melewatiku, melewati
rumahku yang berada di urutan kedua dari mulut gang. Hanya ada delapan rumah di
gang ini. Rumah Seroja urutan ketiga, di seberang rumahku agak serong sedikit.
Aku harus
rajin menyapu halaman, menyiram tanaman, membuang sampah, atau sekedar mengecek
kunci pagar untuk mencuri-curi ingin melihat Seroja. Ia tidak pernah melakukan
kegiatan seperti yang aku lakukan. Sesekali bila aku beruntung, aku akan
melihatnya duduk di teras sambil memegang buku. Atau kalau bulan jatuh ke
pangkuanku, kulihat Seroja tertawa tergelak bersama ibunya. Seroja tidak pernah
mencuri pandang bahkan aku curiga, sebenarnya ia tidak mengenali aku.
Musim kemarau
tahun ini rasa-rasanya lebih panas daripada yang sebelumnya. Pekerjaanku
menyapu halaman lebih berat, kali ini bukan untuk cari perhatian dari Seroja,
memang daun-daun banyak berguguran, dan ibuku akan mengomel kalau aku bermalas-malasan. Mahasiswa tingkat akhir,
rajin mengerjakan skripsi tapi malas bimbingan, jadilah ibuku semakin geram.
Sore hari biasanya pekerjaanku sudah selesai, aku hanya tinggal memilah sampah
dan saat itu biasanya bertepatan dengan jam pulang Seroja.
Seroja tampak
kelelahan, aku lihat bulir-bulir peluh mengalir dari kening, terus turun lewat
pelipisnya, dan tanganku kadang refleks ingin menyekanya. Tapi aku tahu jarakku,
tangaku bukan seperti milik Luffy di One Piece, lagipula pasti dia akan teriak
atau bahkan langsung kabur dan lain sebagainya yang lebih parah lagi. Tapi aku
tidak terlalu mengkhawatirkan itu, karena Seroja akan tersenyum manis sekali
kalau ada orang yang menyapanya. Dengan sopan ia akan berhenti sebentar agak
menepi sambil mengangguk sedikit.
Bulan
berganti, Seroja tetap di hati. Aih betapa aku selalu sedang kasmaran bila
berhubungan dengan Seroja. Tapi tidak pernah sekalipun aku memberanikan diri
untuk menyapanya. Tanpa terasa kemarau berlalu, sekarang sudah pancaroba. Aku
sempat terserang flu, badanku panas tinggi, ibu melarangku untuk menyapu
halaman dan keluar rumah. Aku semakin sakit kepala. Karena satu hari saja tidak
melihat Seroja itu sama artinya ibu sedang menghukumku karena harus menanggung
rindu.
Akhirnya aku
sembuh dan cinta sepihak bisa aku lanjutkan lagi. Seperti wabah penyakit yang
mudah menular, aku harap perasaanku bisa menular juga. Ternyata hanya flu saja
yang menular. Seroja berangkat dan pulang kuliah selalu diantar, aku lihat dia
memakai jaket dan juga masker. Aku harap ia segera sembuh, karena melihatnya
begitu rasanya sama seperti penyakitku kambuh lagi. berangsur aku lihat Seroja
sudah tidak diantar lagi, sungguh lega rasanya.
Satu tahun
berlalu. musim penghujan akan segera habis. Kadang-kadang ada pelangi, mungkin
bidadarinya akan turun ke sungai dimana orang-orang membuang limbah atau
sembarangan melempar sandal yang putus, atau sekedar membuang pandang dengan
miris. Hujan sudah jarang turun. Sedikit saja sore hari agak gerimis. Aku pernah
lihat Seroja pulang dengan langkah lebar-lebar, tidak membawa payung. Aku segera
berlari keluar rumah menyambar payung di dekat pintu dan sesampainya aku di
luar, Seroja sudah masuk ke halaman rumahnya.
Rasanya rugi
bila aku terus begini saja. Sebentar lagi aku wisuda tapi Seroja belum juga tahu perasaanku. Sementara ibuku mulai
curiga dan semakin memanfaatkan perasaanku. Sekarang apa-apa yang berhubungan
dengan halaman rumah, diserahkan padaku. Peluangku semakin besar, tapi aku jadi
lebih banyak pekerjaan. Hari ini juga gerimis, langit sudah gelap, dan
aku pun bersiap.
Payung sudah
aku siapkan, aku duduk di teras. Pagar sengaja tidak aku kunci untuk
mempercepat pergerakanku. Aku juga sudah melihat prakiraan cuaca hari ini
berulang kali. Aku yakin hujan akan segera turun. Dari jauh aku lihat warna
jaketnya, jantungku berdebar. Aku sudah hafal warna jaket Seroja, hijau olive
dengan resleting yang tidak pernah ditutup. Langkahnya semakin lebar, tampak
nian ia ingin segera sampai rumah. Aku segera berlari ke halaman, keluar pagar
dan berjalan cepat melewati Seroja dan sempat kulihat matanya berkedip saat kami
berpapasan. Setelah melewatinya aku segera putar balik dan mengatur jarak yang
pas agar payung di tanganku bisa melindunginya.
Seroja berhenti.
Aku pun juga. Aku bingung harus berbuat apa, tanganku saja gemetar begini. Seroja
memutar langkah, sekarang kami berhadapan. Aku semakin salah tingkah.
“Mas Nathan?”
“….” Aku bergeming.
“Mas Nathan,
kan?”.
Mungkin memang
sudah saatnya aku mengaku. Lagipula aku bukan maling, ya walaupun selama ini
aku selalu mencuri pandang.
“Iya, kok
Seroja tahu?”.
Tiba-tiba air
hujan kembali ke langit. Apa-apaan ini, masih penghujung musim hujan tapi aku
lihat bunga bermekaran, kupu-kupu terbang kesana-kemari. Anginnya hangat nian. Seroja
tersenyum.
“Iya, mas. Ibu yang cerita, katanya Mas Nathan paling rajin nyapu halaman di gang kita ini”.
“Hehehe..”
tawa macam apa ini?.
“Mas sengaja
mau antar pulang aku, kan? Ayok, mas”.
Aduh. Aku malu,
garuk-garuk kepala dan menggosok hidung. Aku menyesal, mengapa tidak dari dulu
aku lakukan ini. Seroja mulai
mengetuk-ngetuk tongkat yang selalu ia bawa, ia arahkan kesana-kemari. Ah biarpun
aku nyengir juga Seroja tidak akan melihat. Tetap saja aku malu. Pelan-pelan
aku bergerak ke sampingnya. Seroja lagi-lagi tersenyum. Seroja, aku ingin
menjadi tongkat yang membantu dan menemani setiap langkahmu.
=======
=======
pesan:
- Jangan pacaran! sebelum menikah.
- Aku pernah menyimpan niat baik, bermaksud menolong, tapi tidak jadi aku lakukan karena takut menyinggung orang yang itu. Tapi ternyata belakangan aku baru tahu, dia mengharapkan pertolonganku tanpa berani meminta karena takut merepotkan.
- Diam-diam kita perlu saling mendo'akan.
Sukaa... Ku tunggu cerita² selanjutnya 😍
ReplyDelete😍senangnyaa didukung beginii. Terima kasiih
Delete