Monday, September 23, 2019

Basi!


(Setelah sekian lama kisah ini kututup, pada bagian akhir akan aku buka semuanya).

Alkisah ….

Seharusnya tidak kudiamkan saja ajakannya untuk makan malam pada akhir pekan ini. Kukira akan ada lagi pangeran berkuda putih yang lebih tampan dengan jubahnya yang berkibar akan mengajakku untuk makan malam, ternyata aku halu. Kemudian ketika kutanyakan kembali, apakah ajakannya masih berlaku? Dia tersenyum, getir. Lalu dia berkata, “Basi!”.

Pernah juga pada awal musim kemarau ada kabar sampai padaku.

“Basi!. Kau pikir aku tidak pernah tahu perempuan mana saja yang telah termakan bujuk rayumu? Rumah mana saja yang sudah kau singgahi? Kau kira aku tidak tahu semua itu? Dan penjelasanmu sekarang ini bagiku sudah basi!”.

Lelahnya aku bekerja seharian. Sampai di rumah bukannya disambut dengan senyum ceria, aroma yang harum, dan segelas teh manis hangat. Sialnya aku. Meski sambutan dari Mak Lampir ini sudah dapat pula aku perkirakan, tetapi tetap saja mendengarnya disaat capek begini menjadi emosiku memuncak. Kalau saja sejak semula aku sedikit lebih kaya daripada keluarga Mak Lampir ini, dapatlah aku jaga harga diriku. Tapi beginilah kiranya suratan, aku harus bersanding dengannya yang selalu menyambutku dengan serapah. Mak Lampir, istriku.

Apa ada cerita lain yang lebih “basi” daripada semua itu?. Ada! Dan inilah yang sebenarnya ingin aku ceritakan.

Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya, bulan ini targetku kacau balau. Uang simpananku ludes karena belanja online yang kukira hanya akan membeli barang yang aku butuhkan saja. Nyatanya aku membeli barang yang diskon 50% jika aku membeli dua barang sekaligus. Aku juga membeli benda-benda tiada berguna hanya dengan alasan sepertinya lucu kalau kupajang ini di meja belajarku. Lebih parah lagi, ada benda yang kubeli karena temanku punya, masa aku tidak punya benda yang sama seperti itu.

Hasilnya? Sudah dapat ditebak, pada bulan itu aku sering makan mie instan, telur ayam, kerupuk, kecap, dan numpang di rumah teman. Hutang bukannya surut berkurang, malah bertambah. Sampai pernah juga aku minum teh yang basi, karena sayang kalau tidak aku habiskan. Teh ada yang basi? Entahlah apa namanya, tapi teh yang aku seduh di malam hari kemudian aku lanjut minum keesok paginya. Rasanya sudah berubah, tapi aku tidak peduli.

Kemudian puncaknya adalah ketika tamu bulanan datang. Keuangan menipis, persedian pembalut juga terbatas. Akhirnya aku membeli secara eceran di toko kelontong. Ternyata memang ekonomis dan sesuai ekonomi rakyat ya sepertinya toko kelontong itu. Dengan senang hati aku menikmati kondisi itu. Sampai kurasakan ada hal yang berbeda. Sempat terbersit perasaan sombong, memang tidak biasa aku pakai barang-barang murahan.

“Ah, sudah basi”.

           Itu adalah kalimat tidak lengkap yang pertama kali aku ucapkan. Demi mengetahui bahwa yang kupakai adalah pembalut yang basi. Dari semua hal-hal basi yang pernah aku ketahui, kurasa ini adalah “basi” yang paling mengerikan. Mungkin kalian akan merasa aneh, kenapa aku memilih kata basi ketimbang kedaluwarsa. Karena memang itu kata yang muncul diotakku.

Lagipula memangnya pembalut bisa kedaluwarsa?

Ketidak sesuaian antara harapan dengan kenyataan, itulah masalah. Kekhawatiran membuat masalah semakin pelik. Tertera dengan jelan ada tanggal exp.xx.xx.18 dan ketika ini aku tulis saja sudah tahun 2019. Apakah cerita ini juga basi? Tidak, karena baru-baru ini terjadi.

Sebenarnya ada sumber bacaan yang menyatakan bahwa pembalut tidak ada masa kedaluwarsanya. Tergantung bagaimana kita menyimpannya saja, supaya pembalut tetap bersih dan bisa digunakan. Sampai aku menemukan tulisan yang bagus dan melegakan hati.

Biasanya tanggal yang tertera pada produk pembalut adalah tanggal pengemasan dan pembuatan produk. Nah, boleh jadi aku salah mengerti dalam membaca tanggal itu (tapi ada tulisan exp-nya huhuhu). Kemudian dijelaskan ebih lanjut bahwa tetap saja harus berhati-hati karena akan berdampak pada hal-hal berikut:

1.       Iritasi pada area organ intim
2.       Ruam pada kulit area kewanitaan
3.       Pertumbuhan bakteri lebih cepat (pembalut yang tidak kedaluwarsa saja bisa bisa menimbulkan kemunculan bakteri di area kewanitaan jika dipakai terlalu lama, apalagi kalau memakai yang sudah kedaluwarsa)
4.       Sistem reproduksi dan daya tahan tubuh wanita terkena racun (ini berhubungan dengan bahan kimia yang ada di dalam pembalut)

Dari lima dampak itu, tidak ada satu pun yang tampak “mendingan”. Bagiku semuanya mengerikan. Kemudian aku jadi lebih berhati-hati dan semoga kau juga.
-----

(Tamat).

Kesimpulan:
Setiap hal basi sekalipun, ada hikmahnya.
Salah satunya adalah, aku jadi menulis dan engkau jadi membaca.




Saturday, April 20, 2019

ELEGI


“Bu, nanti kalau aku sudah besar, aku mau nikahnya sama Mas Yasa, bu”.

Tiga belas tahun yang lalu, di dapur kami yang berwarna hijau cat dindingnya. Aku membuat ibu tersenyum geli karena pernyataanku. Ibu bilang aku terlalu kecil untuk membicarakan perihal cinta, apalagi sampai pernikahan begitu. Walaupun mataku sudah kubulatkan dengan sorot mata yang kurasa tajam, ibu tetap tidak percaya. Kata ibu, sepuluh tahun lagi saat aku sudah dewasa, mungkin Mas Yasa sudah menikah dan punya anak. Usiaku saat itu baru empat belas tahun. Benar saja aku masih anak-anak, nyatanya harum kue bolu buatan ibu saat itu segera mengalihkan perhatianku.

Mas Yasa orangnya baik. Pagi-pagi di halaman rumahnya, ia menyiram bunga  yang ditanam  oleh Bunda Windu, ibunya Mas Yasa. Setiap kali bunga-bunga itu mekar, aku membayangkan itu adalah senyum Mas Yasa. Aku hanya bisa melihat Mas Yasa sebentar saja, karena bapak selalu ngebut kalau lewat di depan rumah mereka. Waktu pulang sekolah, aku tidak dijemput bapak. Naik angkot sampai depan gang, maka aku bisa pelan-pelan lewat di depan rumah Mas Yasa. Tapi biasanya dia belum pulang dari sekolah. Aku ingin segera SMA, supaya bisa sekolah bareng Mas Yasa. kami hanya terpaut jarak usia satu tahun saja.

        Saat menjelang ujian sekolah. Bapak dan Ibu semakin sering menasihati untuk rajin belajar. Bapak juga mendaftarkan aku untuk mengikuti beberapa les, katanya supaya nilaiku meningkat dan aku bisa masuk di sekolah favorit. Aku tidak punya bakat sama sekali dalam bidang akademik, nilaiku terlalu biasa saja untuk memenuhi mimpi bapak. Lagipula aku ingin sekolah di daerah kami saja, tentu saja supaya bisa lihat Mas Yasa setiap hari. Aku ingin jadi menantu Bunda Windu. Tapi sebelum itu, aku ingin Mas Yasa mengenaliku.

“El, sedang apa?”
“.....”
“El, Elegi?”
“Eee, pulang les, Mas. Nunggu angkot”
“Tidak dijemput bapak? Mau pulang bareng Mas Yasa?”.

       Hari itu, kamis satu minggu menjelang ujian nasional dimulai. Aku duduk di belakang boncengan Mas Yasa. Motornya beda dengan punya bapak, tidak bisa mengebut dan kalau bisa tolong jangan ngebut. Aku melayang-layang, pipiku mungkin merona karena rasanya hangat. Mas Yasa memang baik, dia bilang aku harus rajin belajar supaya nilai-nilaiku menjadi lebih baik dan bisa lulus ujian. Aku seperti pernah mendengar nasihat seperti itu, tapi mendengarnya langsung dari Mas Yasa rasanya berbeda sekali. Mulai detik itu, aku berjanji akan sungguh-sungguh belajar. Ternyata ia kenal aku, ternyata ia juga tahu aku selalu melihatnya satiap pagi.

           Persiapan ujian benar-benar menguras tenagaku. Rasanya setiap pulang sekolah bahuku pegal-pegal, mataku berat, dan kakiku harus diseret untuk melangkah pulang. Aku belajar dengan giat, mungkin aku akan mendapat penghargaan dari pemerintah sebegai siswa teladan. Ibu prihatin dengan keadaanku sehingga menyarankan bapak untuk mengantar dan menjemputku menggunakan mobil saja, jadi aku bisa istirahat dalam perjalanan. Aku bersyukur lahir di dalam keluarga ini.

          Seandainya saja aku tahu bahwa kamis waktu itu adalah pertemuan terakhir dengan Mas Yasa, pasti aku akan... ah aku tidak tahu akan melakukan apa. Setelah ujian nasional selesai, aku baru tahu bahwa Mas Yasa dan keluarganya sudah pindah entah kemana. Menurut kabar yang beredar adalah orangtuanya bercerai. Aku tidak terlalu mengerti. Saat hal itu kutanyakan pada ibu, aku diingatkan agar jangan ikut-ikutan mengenai kabar burung tersebut. Mas Yasa harus tahu, aku tidak masalah dengan kabar itu dan aku juga ingin bilang bahwa aku lulus dengan nilai yang baik.

        Setelah tiga belas tahun berlalu, aku sudah mulai melupakan Mas Yasa. Mungkin itu karena cinta monyet. Bapak bahkan sekarang sedang main catur bersama Rajeg, teman kerjaku yang berkali-kali bilang bahwa suatu hari ia akan melamarku. Ya, sekitar empat kali sejak kami kuliah di jurusan dan kampus yang sama bahkan sekarang pun kami bekerja di lingkungan yang sama. Kata bapak, kalau saja Rajeg bisa sering-sering mengalahkan bapak dalam bermain catur, mungkin saja ia akan diterima sebagai menantu. Tapi Rajeg selalu mengelak, dia bilang harus mengalah pada yang tua. Suasana rumah jadi lebih ceria kalau Rajeg datang, dia humoris.

          “El, kamu belum ingin menikah?”
          “Ingin, bu. Tapi belum ketemu aja sama yang pas”
          “Kalau nunggu yang begitu, mau sampai kapan?”
          “Sebentar lagi ibuku sayang. Sabar ya, bu”.

           Dapur kami sekarang catnya sudah tidak berwarna hijau, tapi kuning gading. Ibu ingin suasana yang lebih cerah. Karena anak satu-satunya belum bisa membuat hati ibu cerah, begitu alasannya waktu kutanya kenapa harus ganti warna. Aku bukannya tidak ingin menikah. Tapi pada setiap pinangan yang datang, ada saja yang membuatku merasa sebaiknya jangan kuterima dulu. Mungkin aku butuh liburan dan aku akan mengajukan cuti tambahan supaya aku bisa lebih leluasa. Aku juga tidak ingin menjadi beban untuk bapak dan ibu.

           Aku memilih Belitung untuk mengisi liburanku. Bapak dan ibu mengantarku ke bandara, kami berfoto sebelum aku berangkat. Kemudian ibu juga berkelakar siapa tahu liburan ini aku bertemu dengan jodohku. Aku aminkan saja, supaya ibu benar-benar mengizinkanku liburan sendirian seperti ini. Aku hanya akan pergi selama tiga hari dua malam, tetapi mereka dengan penuh cinta memperlakukan aku seperti halnya akan pergi selama satu minggu, terlihat dari bekal makanan yang mereka jejalkan di dalam tasku.

         Ternyata bekal yang kubawa benar-benar berguna. Aku perlu itu semua untuk mengisi tenagaku saat menikmati indahnya Pulau Lengkuas. Aku berkeliling pulau, mengunjungi mercusuar yang konon usianya sudah ratusan tahun. Air lautnya sangat jernih, sayang sekali bila datang ke Pulau Lengkuas tapi tidak snorkling. Aku mengambil banyak gambar sebagai kenang-kenangan, seperti yang pernah dikatakan seseorang bahwa satu gambar bisa berarti seribu kata. Dari ratusan gambar yang kuambil, beberapa orang terekam di dalamnya. Aku mulai tertarik karena ingat perkataan ibu, siapa tahu ketemu jodoh.

            “Ketemu jodohnya, El?”
            “Ibu, El itu pergi kesana untuk liburan. Bukan cari jodoh”.

Akhirnya hanya itu saja jawaban yang dapat kuberikan untuk ibu. Rajeg juga ikut-ikutan meledekku dengan dalih meminta oleh-oleh, malam ini dia datang ke rumah. Sebagai pembalasan aku memamerkan foto-foto yang kuambil selama aku liburan. Rajeg memuji kemampuan fotografiku, aku jadi jumawa sehingga dengan percaya diri aku sesumbar seharusnya fotoku layak tampil dalam wajalah wisata. Bapak sampai tersedak saat aku bilang begitu. Kami semua tertawa, malam itu aku melupakan perihal jodoh yang selalu dibahas sejak tadi.

“Halo, selamat pagi. Dengan Mbak Elegi”
“Iya, saya. Maaf, ada perlu apa?”
“....”

Jangankan kau, kebetulan semacam ini bahkan akupun tidak percaya. Jadi minggu lalu aku benar-benar mengirimkan beberapa foto yang kuambil di Pulau Lengkuas dan baru saja aku menerima telpon bahwa fotoku dimuat di salah satu majalah wisata. Sebagai apresiasi mereka memberikan tiket bermalam di salah satu hotel ternama di kota kami. Aku sangat antusias sekali sampai tidak ingin lanjut tidur lagi. Karena masih sangat pagi aku memutuskan untuk berolah raga, menghirup udara segar pagi ini.

Sudah banyak yang berubah di lingkungan rumah kami. Rasanya aku terlalu cepat tumbuh. Lampu jalan masih menyala. Kursi di taman kompleks perumahan kami mulai basah karena embun. Aku berhenti di depan rumah yang pernah ditempati oleh Mas Yasa. Setiap adegan berkelebatan, tentang cinta pertamaku, cinta monyetku. Aku ingat sering membuka helm saat berangkat sekolah demi sedikit melihat ia sedang menyiram bunga. Atau aku pura-pura membenarkan tali sepatu saat sore hari di depan rumahnya. Mas Yasa, sekarang dimana?.

Aku tahu bahwa aku beruntung karena bisa mendapatkan hadiah dari perbuatan isengku mengirimkan foto. Tapi kini aku tahu bahwa ternyata aku sangat beruntung. Pertanyaanku sebelumnya langsung terjawab.

“Apa kabar, Elegi?”
“..... Mas Yasa”

Mas Yasa baru saja mutasi kerja kembali ke kota kami. Ia bekerja di hotel tempat aku mendapat hadiah menginap gratis. Dari penampilan dan perlakuan karyawan hotel terhadapnya, aku bisa menilai bahwa Mas Yasa adalah orang yang cukup penting disini. Aku tidak melihat ada cincin pada setiap jari Mas Yasa. Entah mengapa aku tiba-tiba bernafas lega. Obrolan kami tidak berlangsung lama, karena ia harus melanjutkan pekerjaannya.

“Mas simpan nomormu ya, El. Besok malam mas telpon”.

Dulu aku pernah belajar mati-matian hanya karena Mas Yasa yang meminta. Maka saat ia meminta nomorku dan berjanji akan menelpon, aku akan menunggu. Aku bahkan sudah menunggu selama beberapa hari sampai akhirnya belasan tahun berlalu. Ternyata memang ada seseorang di hatiku. Ada yang belum selesai. Aku mengangguk sebagai tanggapan ada pernyataan Mas Yasa. Kami saling berpamitan, kutambahkan juga bahwa aku akan menunggu telpon darinya.

Aku ketik pesan untuk ibu... “Bu, ingat Mas Yasa?”.
---


Dari Notesofgea:
Aku mulai menulis karena keresahan, pada setiap kalimat yang menuntutku menjawab dengan yakin "Sudahkan jujur pada diri sendiri?". Menjawab itu, bukan perkara mudah.
Kemudian, apa kau tahu apa artinya Elegi?. Carilah artinya.
Bila kau begitu senggang membaca tulisan ini, ketiklah komentar dan sarankan beberapa hal untukku.

Saturday, April 13, 2019

Klik Bait

Saat burung-burung terbang pulang.
Kita lupa dimana melekatkan sayap.
Patah sudah, tertinggal sudah kita.
Kita berjalan lunglai, gontai, entah kemana.
Mata tajam, mata jalang, mata duitan, semua mengamati.
Risih nian sehingga ingin kutusuk dengan jemari busuk.
Pada jalanan yang penuh debu ini,
kita temukan harga diri.
Kita tidak harus selalu terbang.
Biar pulang yang menghampiri kita.
Mengantarkan sayap-sayap baru.
Memangnya kita butuh itu?
Sekarang kita sudah menjelma menjadi pohon.
Tidak berduri, berbunga harum, berakar tunggang.
Kita bisa saja menjadi lautan. Tempat damai dan sampah berlabuh.
Atau kau ingin menjadi aku? yang kini sedang menjadi engkau.


----- Sore hari waktu hujan tiba-tiba datang. Padahal langit terang.
Aku dan SRF, di ruangan dengan dua ac, satu kulkas, dan cctv.

Tuesday, April 2, 2019

Ibu Kandung?

Saya adalah seorang ibu. Meski bukan ibu yang rahimnya dibuahi sampai akhirnya mengandung dan melahirkan satu, dua, tiga, dan banyak anak. Tapi saya adalah seorang ibu. Saya tanam dan pelihara dengan kuat bahwa saya adalah seorang ibu. Apapun yang saya lakukan untuk anak-anak adalah karena saya ibunya. Saya berhak memberikan yang terbaik dan melihat anak-anak saya menerima perlakuan yang baik.

Suatu ketika saya mendapati ternyata anak saya melakukan hal yang kurang atau bahkan tidak baik. Padahal saya sudah berusaha dan merasa yakin telah memberikan banyak cinta dan kasih untuk anak. Secara naluri saya sempat bersikeras, bukan anak saya yang salah. Bukan saya yang salah. Pasti ada orang lain yang paling tepat untuk disalahkan. Dunia ini penuh dengan orang-orang jahat, salah satu dari mereka pasti telah bertemu dengan anak saya dan membisikkan sesuatu. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin anak saya melakukan hal yang tidak baik?.

Seiring dengan berjalannya waktu, naluri saya tetap kalah dengan logika. Saya sadar, saya belum benar-benar menjadi seorang ibu. Naluri saya mungkin tidak benar-benar ikhlas. Logika adalah bagian yang  lebih kuat yang bisa saya andalkan dalam menghadapi masalah. Berdasarkan fakta, bukti, dan bahkan argumentasi bagaimanapun, sesuatu yang salah tetaplah salah dan yang benar akan selalu saja ada jalannya sehingga muncul ke permukaan. Kodrat. Meski selalu saja ada ketidakadilan di dunia ini, anak yang salah harus menerima risikonya. Secara langsung maupun tidak langsung, saja turut juga menanggung risiko tersebut.

Terlalu memanjakan anak akan berbahaya bagi masa depannya kelak. Maka saya memutuskan untuk menjadikan momentum ini sebagai pengalaman berharga untuk saya dan anak saya. Peran pendidikan sangat penting bagi kami saat ini. Kami harus maju mendekat pada pemilik semesta, walaupun berat tetapi kami harus berusaha. Saya mungkin bisa saja melakukannya, tetapi ini bukan hal yang mudah untuk anak saya. Jangan terlalu cepat disimpulkan bahwa kami tidak bisa, bisa!. Saya siap melalui proses menanggung risiko, anak saya juga siap. Saya adalah ibu dan anak yang kompak. Walaupun masih banyak rahasia di antara kami, kami siap.

Ketidakadilan yang sempat dibiarkan itu, ternyata bergerak mendekat, menekan dengan lekat, sehingga saya tercekat. Apakah barusan ini saya sudah seperti seorang ibu kandung? belum juga sih sepertinya. Hanya saja, tentu saya akan sangat kecewa jika ada masalah yang lebih besar lagi tetapi dilewatkan begitu saja. 

Tuesday, March 19, 2019

Mengembangkan Kegiatan Ekstrakurikuler di Sekolah


“Geography Get Gold and Glory (4G)”

Oleh: Ineu Handayani, S.Pd.,Gr.

            Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang lokasi serta persamaan dan perbedaan (variasi) keruangan atas fenomena fisik, dan manusia di atas permukaan bumi. Kalimat itu akan mudah kita temukan ketika menyebutkan kata kunci “geografi adalah” pada mesin pencari di media daring. Kata awal Geo dalam geografi berarti Bumi. Sebagai makhluk penuh dengan rasa ingin tahu, maka sangat wajar bila akhirnya ilmu tentang bumi (geografi) terus berkembang bersama dengan ilmu lainnya sesuai dengan falsafah ilmu.

            Penelitian dalam bidang geografi (fisik maupun sosial) terus berkembang. Geografi juga dikenal sebagai Mother of science, yaitu ibu dari segala ilmu lainnya. Membicarakan kondisi sumberdaya alam Indonesia yang melipah, berarti kita sedang berbicara dalam lingkup geografi. Bencana alam yang rentan terjadi di Indonesia juga dikaji dalam geografi. Bahkan meninjau lebih jauh mengenai Indonesia yang multikultur dan tersebar dari Sabang sampai Merauke juga merupakan kondisi sosial yang dipelajari dalam geografi. Tentu saja untuk mempelajari itu semua perlu ilmu-ilmu lain yang lebih spesifik agar lebih komprehensif dalam mengaplikasikan konsepnya.

            Cakupan materi yang sangat luas tentang geografi  sebagai ilmu dan pengetahuan merupakan bagian yang wajib diajarkan kepada anak-anak Indonesia terutama dalam pendidikan formal. Kurikulum pendidikan di Indonesia memasukkan geografi ke dalam rumpun ilmu-ilmu sosial (Jurusan IPS) yang dipelajari oleh siswa di jenjang SMA/SMK/MA. Selain itu, geografi tetap dapat dipelajari oleh siswa dengan jurusan ilmu-ilmu alam (Jurusan MIPA) melalui program lintas minat.

            Saya adalah seorang guru geografi di salah satu sekolah swasta yang ada di Kabupaten Tangerang dengan ciri khas kegiatan rutin bermuatan religi sebagai bekal dalam kehidupan sehari-hari siswa setelah lulus selain mendapatkan bekal ilmu dan pengetahuan umum. Perjalanan karir saya di sekolah ini baru seumur jagung, namun tidak menjadi hambatan bagi saya untuk maju dan berkembang. Selain menerima hak dan menjalankan tanggungjawab sebagai salah satu guru mata pelajaran geografi, saya diberi amanah lain yaitu sebagi pembimbing ekstrakurikuler geografi.

            Ektrakurikuler seperti yang pada umumnya dipahami oleh kita bersama adalah kegiatan tambahan di luar jam pelajaran siswa di sekolah dengan muatan skill maupun softskill yang tentunya sangat bermanfaat bagi siswa sesuai usia tumbuh dan kembangnya secara sosial dan emosional. Sementara hal yang berhubungan dengan mata pelajaran biasanya ada pembinaan khusus untuk persiapan olimpiade dan semacamnya. Ketika ada ekstrakurikuler geografi di sekolah ini dan ternyata saya yang bertanggungjawab menjadi pembimbingnya, yang saya lakukan adalah menerimanya dan kemudian bertanya karena heran, “Mata pelajaran ini dijadikan ektrakurikuler?”.

            Konsep yang saya siapkan untuk kegiatan ekstrakurikuler geografi pada awalnya adalah belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi setiap ajang olimpiade yang dapat diikuti oleh siswa melalui sekolah. Saya juga mulai berani menuliskan dalam bentuk draf kegiatan ini dan itu yang tentu saja masih merupakan bagian dari naluri dan imajinasi sebagai seorang guru geografi. Sekolah yang terbilang masih baru ini belum punya banyak pengalaman dalam bidang olimpiade geografi. Ini adalah pengalaman pertama bagi saya.

            Mata pelajaran geografi yang saya ampu ternyata memang terdaftar sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ini. Dua jam pertemuan dalam satu minggu, setiap hari Sabtu. Pada awal semester ganjil tahun ajaran 2018/2019 pendaftaran setiap bidang ektrakurikuler dibuka. Ada juga seorang siswa yang menemui saya secara langsung dan menyatakan ingin bergabung dalam ekstrakurikuler geografi. Tentu saja itu merupakan pemicu semangat yang baik sebagai permulaan. Saya bahkan sempat menyiapkan soal untuk seleksi penerimaan anggota ektrakurikuler. Hingga hari ini ternyata soal yang telah saya siapkan itu tidak terpakai.

            Anggota ektrakurikuler geografi pada pertemuan pertama adalah 4 orang. Satu orang adalah siswa yang menemui saya sebelum pendaftaran dibuka dan kemudian dia mengajak dua orang temannya, dan ditambah satu orang lagi yang juga secara sukarela bergabung dalam ektrakurikuler geografi. Pada pertemuan pertama itu saya banyak tersenyum, sama sekali tidak membahas soal-soal geografi. Kami menghabiskan waktu dua jam pertemuan dengan berkenalan dan menentukan beberapa peraturan untuk seterusnya ditaati bersama dan menerima ide-ide dari mereka untuk beberapa kegiatan yang juga akan dilakukan dalam ekstrakurikuler ini.

            Jumlah anggota yang tidak seperti dalam bayangan saya itu membuat saya harus mengatur ulang draf kegiatan. Setelah banyak membaca dan lebih banyak bertanya kemudian berdiskusi dengan beberapa rekan sejawat, akhirnya saya memutuskan fokus utama kegiatan ekstrakurikulier ini adalah olimpiade dan outdoor study. Fokus pada olimpiade berarti menyiapkan kemampuan dalam ranah koginitif atau pengetahuan siswa. Sedangkan outdoor study akan kami manfaatkan untuk belajar dari alam, bahwa geografi itu sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, sangat kontekstual.

            Pertemuan kedua, jumlah anggota bertambah menjadi tujuh orang. Saya semakin semangat menyampaikan materi. Semua anggota tampak dapat menerima materi dengan baik. Beberapa dari mereka mengajukan pertanyaan. Tetapi hampir setiap kali saya mengajukan pertanyaan, mereka memilih bungkam. Seketika saya merasa ini mirip dengan kasus pembelajaran di kelas-kelas yang rasanya rata di seluruh Indonesia. Anak-anak tidak mau menjawab karena tidak tahu jawabannya, tidak percaya diri, dan tidak mau dinilai sok tahu.

            Saya mulai paham bagaimana medan yang akan kami arungi bersama dalam kapal kecil di samudera yang luas. Pihak sekolah dan tentunya juga saya sebagai seorang pembimbing mempunyai target dan ekspektasi yang tinggi terhadap anak-anak. Sejak awal pertemuan, seringkali jam ekstrakurikuler ini menjadi kelas bimbingan belajar untuk anak-anak. Materi yang sudah diterima di kelas X mereka lupa, materi yang akan diberikan saat mereka kelas XII, belum mereka baca. Betapa pentingnya budaya membaca. Maka strategi yang saya pilih untuk mengatasi permasalahan materi adalah dengan memaksa mereka untuk membaca. Setiap soal yang saya berikan harus diselesaikan dengan terlebih dahulu membaca materinya. Mencari tahu melalui buku-buku yang mereka miliki, melalui buku di perpustakaan, dan yang paling mudah adalah melalui internet.

            Fokus pertama dalam kegiatan ekstrakurikuler geografi adalah olimpiade. Saya pernah mengajukan pertanyaan klasik pada anggota ekstrakurikuler, “Apakah kalian ingin mengikuti ajang olimpiade mulai dari tingkat kabupaten dan seterusnya?”. Tentu saja jawaban mereka ingin dan sangat ingin. Beberapa jawaban terdengar optimis, ada juga yang menjawab sekedarnya, dan ada juga yang merasa ragu akan mampu untuk mengikutinya. Ekstrakurikuler kami seperti bumi, berdinamika dan banyak masalah yang perlu dicari jalan keluarnya.

            Saya harus peka dalam menerima dan juga memberikan sinyal pada mereka. Terkadang saya merasa kami tidak berada pada frekuensi yang sama. Pada saat itulah saya merumuskan 4G, Geography Get Gold and Glory. Ternyata kata-kata itu bisa menjadi kekuatan untuk mereka yang pada akhirnya juga menjadi kebahagiaan bagi saya. Menjadi pembimbing ektrakurikuler dan juga guru di sekolah yang sama membuat saya membuat saya menjadi melankolis. Saya melihat sisi lain perjuangan anak-anak.

            Satu semester pertama kami terus rutin membahas soal dan penjelasan materinya. Jumlah anggota sekarang adalah sembilan orang. Selain kegiatan di kelas, kami juga membagi waktu untuk menjalankan fokus kedua yaitu outdoor study. Meskipun untuk kegiatan lapangan belum berlangsung secara maksimal, kami sempat melakukan pembuatan video mengenai geografi baik yang ada di wilayah Kabupaten Tangerang sebagai lingkungan tempat tinggal kami maupun video yang sifatnya media pembelajaran dan juga informasi tentang geografi. Ini adalah pencapaian pertama bagi beberapa orang anak yang mendaftarkan videonya. Saya sebagai guru pembimbing melakukan  segala sesuatunya semaksimal mungkin. Karena jika saya tidak maksimal, maka itu sama artinya dengan tidak menghargai usaha anak-anak. Penghargaan tidak harus berupa medali, uang, dan materi lainnya. Sanjungan, dukungan, saran, bahkan kritik yang membangun juga merupakan wujud penghargaan untuk setiap usaha yang dilakukan oleh anak-anak.

            Pada awal bulan Desember 2018 empat orang anggota ekstrakurikuler geografi dinyatakan lolos mengikuti seleksi tahap awal dan berhak mengikuti olimpiade tertulis pada tahun 2019 dalam olimpiade geografi SMA dalam wialayah Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Barat. Mereka mulai mengajukan tambahan jadwal belajar. Ini merupakan kemajuan yang baik. Anggota ekstrakurikuler yang semula berjumlah empat orang saja hingga kemudian akan mengikuti sebuah ajang perlombaan untuk pertama kalinya. Saya sungguh berbahagia.

            Ekstrakurikuler 4G di sekolah kami, sekarang sudah tidak seperti bimbingan belajar lagi. Tetapi sudah menjadi sebuah rumah, tempat bagi anak-anak anggota ektrakurikuler pulang dan menceritakan pembelajaran geografi di kelas sesungguhnya, mengerjakan PR, membahas soal ujian nasional, membahas soal olimpiade, membahas masalah-masalah lingkungan yang ada di bumi saat ini. Rasa jenuh dan lelah tentu saja akan ada, namun ketika kami merasakan hal itu, kami akan mengingat kalimat bijak dari Imam Syafi’i, “Jika kau tak tahan lelahnya belajar, maka kau harus tahan menanggung perihnya kebodohan.” Seperti bumi yang tidak bosan melakukan rotasi dan juga bumi yang pada saat bersamaan tidak lelah melakukann revolusi, kami tidak mengizinkan kata “menyerah” untuk hadir di antara kami.

Sunday, March 3, 2019

Ich bin Nicht Krank


“Nama kamu siapa?”
“......”
----
Pertemuan pertama kami terjadi sekitar satu minggu yang lalu. Saat itu aku sedang berada dalam antrian untuk mengulur waktu kematianku. Sedangkan dia, bermaksud untuk mempersingkat masa hidupnya. Apakah kau tahu berapa jumlah populasi manusia di dunia saat ini? Apakah kau tahu ada beragam cara yang dapat dilakukan untuk bertahan hidup atau mengakhirinya?. Dari sekian banyak manusia dan sekian banyak cara, kami bertemu. Takdir selalu saja terasa sebagai sebuah kebetulan, tapi sejak aku merasa perlu untuk lebih dekat dengan Tuhan, aku simpulkan bahwa pertemuan ini sudah diatur sejak lama. Kami bertemu di sebuah apotek, halaman parkirnya cukup luas. Apoteker yang bekerja disana masih muda, tidak cantik, tapi dia rapi dan harum. Tidak ada yang menarik disini, sampai akhirnya kami bertemu pandang.

“Sakit apa?”

Penduduk di negeri ini sangat pandai berbasa-basi. Aku sebagai pribumi rasanya memang sudah terlahir dengan bakat tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang standar, tidak kreatif, dan seringkali tidak menghargai perasaan orang lain. Kau mungkin sudah bisa membayangkan apa pertanyaan selanjutnya setelah dia menjawab dengan menyebutkan nama penyakitnya, yaitu sejak kapan? Kok bisa? Lalu rentetan harapan untuk kesembuhannya. Entahkah itu tulus atau tidak, yang jelas setelah kami berpisah, itu akan menjadi obrolan seperti obralan. Aku akan menceritakan pada orang lain tentang penyakitnya. Padahal kita tidak saling kenal.

Sayang sekali, dia tidak menjawab pertanyaanku. Bahkan tidak tampak ada respon yang ia berikan padaku. Sombong, ditanya begitu saja tidak mau menjawab. Padahal apa susahnya menjawab, dia pasti tahu kan apa penyakitnya? Lagipula aku malu, bagaimana bila ada yang memperhatikan bahwa aku dicuekin saat bertanya padanya. Atau jangan-jangan dia tidak bisa mendengar? Aku mulai berimajinasi sampai akhirnya tetap kesal meski berusaha memaklumi.

Tiba-tiba saja dia berdiri, aku terkejut. Majalah di tanganku hampir saja jatuh ke lantai. Aku kira dia akan pergi. Nomor antriannya dipanggil. Ternyata dia cukup tinggi. Kulitnya kuning langsat, bersih. Sepatu yang dipakainya tampak mahal, aku pernah lihat itu di instagram saat membuang waktu dan kuota internetku. Terlalu simpel untuk orang yang sedang sakit, di ruangan yang dingin ini dia tidak memakai jaket. Kaos yang dia kenakan berlengan pendek dan warnanya biru, bukan warna kesukaanku. Dari tangannya ia terlihat kurus, jemarinya menggenggam sapu tangan berwarna tosca. Selain wajahnya yang tampak lebih pucat dan kantung matanya yang agak gelap, dia tampak baik-baik saja.

Aku berusaha fokus pada majalah yang sedang kubaca, isinya tentang budidaya jagung, bagaimana caranya timun bisa berbuah lebih besar daripada timun pada umumnya,  bahkan majalah itu juga berisi tentang ikan cupang. Hanya beberapa menit, kemudian buyar. Terjadi keributan di depan. Antara apoteker perempuan itu dengan orang yang duduk di sampingku tadi. Mereka tampak beradu mulut, tapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Sampai akhirnya orang itu membalikkan badan menuju pintu keluar. Aku yakin tidak salah lihat, dia sedang menangis. Sebagian besar orang memandangi adegan itu dengan heran, penasaran, dan sebagian lainnya cuek saja.
Kau mungkin akan merasa ini remeh dan klasik seperti dalam adegan di sinetron yang bahkan ratingnya jelek, tapi ini benar-benar terjadi. Sapu tangannya yang berwarna tosca itu terjatuh. Demi melihat itu aku merasa ada dua sayap yang tumbuh pada setiap tulang belikatku. Tidak kusadari kapan aku beranjak dari kursi dan berpindah tempat ke arah pintu keluar, sapu tangan tosca itu kini ada ditanganku. Aku bahkan mengikutinya keluar, dia benar-benar seperti magnet sekalipun aku seperti besi berkarat. Nafasku tersengal, aku melihatnya hampir menyebrang.

“Hei, ini punya kamu”, aku berteriak.

Sejenak aku ragu, mungkin memang tidak seharusnya aku mengembalikan sapu tangan ini padanya. Dia bahkan tidak merespon saat kutanya, tidak menoleh saat kupanggil. Gerakan yang kulakukan secara tiba-tiba membuatku semakin lemas, aku mulai mimisan, buram tapi aku masih bisa melihat dia hampir sampai di seberang jalan, aku mendengar orang-orang berteriak, lalu “bragg!”.

----

Satu minggu berlalu, aku tidak ingat bagaimana persisnya kecelakaan itu terjadi. Lagipula aku sudah biasa berada disini, rumah sakit ini sudah seperti rumah pertama bagiku sejak dulu. Jika ditambah dengan koma selama beberapa hari, maka ini memang takdirku. Meski kali ini Tuhan memberikan sedikit bonus, ada yang sedang duduk menungguku, tidak seperti biasanya.

“Hai”, aku berusaha tersenyum.
“Maaf”.
“Bukan salahmu”.

Air mata mulai mengalir dari kedua matanya. Sebenarnya aku geram sekali, mengapa lelaki menjadi demikian cengengnya. Aku menghela nafas, kepalaku berdenyut agak nyeri. Sekali lagi kutanyakan,

“Nama kamu siapa?”
“....”

Bola matanya bergerak kesana-kemari, ada yang lain di matanya. Bukan, bukan ada pelangi. Tetapi seperti ada malam pada jalan panjang yang lengang dan sendirian. Pada mata itu juga tampak malam yang dingin, melihatnya saja aku menggigil. Luka macam apa yang dia derita?, sehingga burung berhenti berkicau, nektar bunga menjadi hambar, dan angin melaluinya begitu saja tanpa sapa.

“Aku Lania, dengan limfoma. Sudah stadium akhir”.

Semoga kalimatku ini membuatnya merasa lebih baik. Ternyata itu cukup berhasil, dia mengangkat wajahnya setelah sejak tadi menunduk sampai akhirnya menatapku.

“Aku Abelard, dan aku ODHA”.
“....”

Kami terus saling menatap selama beberapa saat. Abelard tersenyum dan aku balas dengan senyum yang lebih lebar lagi. Pukul 09.00 pagi di kamar nomor 143, matahari lebih hangat dari biasanya, tirai bergerak lembut terkena angin, Abelard menghapus air mataku menggunakan saputangan miliknya yang tidak sempat aku kembalikan waktu itu. Takdir.
**

Note:
Setelah menulis cerita ini, Lania kembali berjuang melawan kankernya sampai akhirnya ia harus berhenti, karena Tuhan memanggilnya. Abelard sangat bersedih setelah Lania pergi, karena mereka semakin akrab dalam beberapa bulan sebelum kepergian Lania. Sekarang Abelard masih berjuang, sebagian besar waktunya digunakan untuk menulis dan menjadi motivator bagi ODHA yang baru mengetahui statusnya.
**

Dari notesofgea:
Ini bukan kisah nyata. Semuanya murni dari luapan rindu ingin menulis. Meski tulisan ini tidak rapi dan biasa saja, semoga menjadi motivasi untuk mulai membaca dan menulis dalam artian yang sesungguhnya. 
Apakah kau tidak penasaran dengan "Limfoma" atau "ODHA"?.
 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design