Sunday, March 3, 2019

Ich bin Nicht Krank


“Nama kamu siapa?”
“......”
----
Pertemuan pertama kami terjadi sekitar satu minggu yang lalu. Saat itu aku sedang berada dalam antrian untuk mengulur waktu kematianku. Sedangkan dia, bermaksud untuk mempersingkat masa hidupnya. Apakah kau tahu berapa jumlah populasi manusia di dunia saat ini? Apakah kau tahu ada beragam cara yang dapat dilakukan untuk bertahan hidup atau mengakhirinya?. Dari sekian banyak manusia dan sekian banyak cara, kami bertemu. Takdir selalu saja terasa sebagai sebuah kebetulan, tapi sejak aku merasa perlu untuk lebih dekat dengan Tuhan, aku simpulkan bahwa pertemuan ini sudah diatur sejak lama. Kami bertemu di sebuah apotek, halaman parkirnya cukup luas. Apoteker yang bekerja disana masih muda, tidak cantik, tapi dia rapi dan harum. Tidak ada yang menarik disini, sampai akhirnya kami bertemu pandang.

“Sakit apa?”

Penduduk di negeri ini sangat pandai berbasa-basi. Aku sebagai pribumi rasanya memang sudah terlahir dengan bakat tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang standar, tidak kreatif, dan seringkali tidak menghargai perasaan orang lain. Kau mungkin sudah bisa membayangkan apa pertanyaan selanjutnya setelah dia menjawab dengan menyebutkan nama penyakitnya, yaitu sejak kapan? Kok bisa? Lalu rentetan harapan untuk kesembuhannya. Entahkah itu tulus atau tidak, yang jelas setelah kami berpisah, itu akan menjadi obrolan seperti obralan. Aku akan menceritakan pada orang lain tentang penyakitnya. Padahal kita tidak saling kenal.

Sayang sekali, dia tidak menjawab pertanyaanku. Bahkan tidak tampak ada respon yang ia berikan padaku. Sombong, ditanya begitu saja tidak mau menjawab. Padahal apa susahnya menjawab, dia pasti tahu kan apa penyakitnya? Lagipula aku malu, bagaimana bila ada yang memperhatikan bahwa aku dicuekin saat bertanya padanya. Atau jangan-jangan dia tidak bisa mendengar? Aku mulai berimajinasi sampai akhirnya tetap kesal meski berusaha memaklumi.

Tiba-tiba saja dia berdiri, aku terkejut. Majalah di tanganku hampir saja jatuh ke lantai. Aku kira dia akan pergi. Nomor antriannya dipanggil. Ternyata dia cukup tinggi. Kulitnya kuning langsat, bersih. Sepatu yang dipakainya tampak mahal, aku pernah lihat itu di instagram saat membuang waktu dan kuota internetku. Terlalu simpel untuk orang yang sedang sakit, di ruangan yang dingin ini dia tidak memakai jaket. Kaos yang dia kenakan berlengan pendek dan warnanya biru, bukan warna kesukaanku. Dari tangannya ia terlihat kurus, jemarinya menggenggam sapu tangan berwarna tosca. Selain wajahnya yang tampak lebih pucat dan kantung matanya yang agak gelap, dia tampak baik-baik saja.

Aku berusaha fokus pada majalah yang sedang kubaca, isinya tentang budidaya jagung, bagaimana caranya timun bisa berbuah lebih besar daripada timun pada umumnya,  bahkan majalah itu juga berisi tentang ikan cupang. Hanya beberapa menit, kemudian buyar. Terjadi keributan di depan. Antara apoteker perempuan itu dengan orang yang duduk di sampingku tadi. Mereka tampak beradu mulut, tapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Sampai akhirnya orang itu membalikkan badan menuju pintu keluar. Aku yakin tidak salah lihat, dia sedang menangis. Sebagian besar orang memandangi adegan itu dengan heran, penasaran, dan sebagian lainnya cuek saja.
Kau mungkin akan merasa ini remeh dan klasik seperti dalam adegan di sinetron yang bahkan ratingnya jelek, tapi ini benar-benar terjadi. Sapu tangannya yang berwarna tosca itu terjatuh. Demi melihat itu aku merasa ada dua sayap yang tumbuh pada setiap tulang belikatku. Tidak kusadari kapan aku beranjak dari kursi dan berpindah tempat ke arah pintu keluar, sapu tangan tosca itu kini ada ditanganku. Aku bahkan mengikutinya keluar, dia benar-benar seperti magnet sekalipun aku seperti besi berkarat. Nafasku tersengal, aku melihatnya hampir menyebrang.

“Hei, ini punya kamu”, aku berteriak.

Sejenak aku ragu, mungkin memang tidak seharusnya aku mengembalikan sapu tangan ini padanya. Dia bahkan tidak merespon saat kutanya, tidak menoleh saat kupanggil. Gerakan yang kulakukan secara tiba-tiba membuatku semakin lemas, aku mulai mimisan, buram tapi aku masih bisa melihat dia hampir sampai di seberang jalan, aku mendengar orang-orang berteriak, lalu “bragg!”.

----

Satu minggu berlalu, aku tidak ingat bagaimana persisnya kecelakaan itu terjadi. Lagipula aku sudah biasa berada disini, rumah sakit ini sudah seperti rumah pertama bagiku sejak dulu. Jika ditambah dengan koma selama beberapa hari, maka ini memang takdirku. Meski kali ini Tuhan memberikan sedikit bonus, ada yang sedang duduk menungguku, tidak seperti biasanya.

“Hai”, aku berusaha tersenyum.
“Maaf”.
“Bukan salahmu”.

Air mata mulai mengalir dari kedua matanya. Sebenarnya aku geram sekali, mengapa lelaki menjadi demikian cengengnya. Aku menghela nafas, kepalaku berdenyut agak nyeri. Sekali lagi kutanyakan,

“Nama kamu siapa?”
“....”

Bola matanya bergerak kesana-kemari, ada yang lain di matanya. Bukan, bukan ada pelangi. Tetapi seperti ada malam pada jalan panjang yang lengang dan sendirian. Pada mata itu juga tampak malam yang dingin, melihatnya saja aku menggigil. Luka macam apa yang dia derita?, sehingga burung berhenti berkicau, nektar bunga menjadi hambar, dan angin melaluinya begitu saja tanpa sapa.

“Aku Lania, dengan limfoma. Sudah stadium akhir”.

Semoga kalimatku ini membuatnya merasa lebih baik. Ternyata itu cukup berhasil, dia mengangkat wajahnya setelah sejak tadi menunduk sampai akhirnya menatapku.

“Aku Abelard, dan aku ODHA”.
“....”

Kami terus saling menatap selama beberapa saat. Abelard tersenyum dan aku balas dengan senyum yang lebih lebar lagi. Pukul 09.00 pagi di kamar nomor 143, matahari lebih hangat dari biasanya, tirai bergerak lembut terkena angin, Abelard menghapus air mataku menggunakan saputangan miliknya yang tidak sempat aku kembalikan waktu itu. Takdir.
**

Note:
Setelah menulis cerita ini, Lania kembali berjuang melawan kankernya sampai akhirnya ia harus berhenti, karena Tuhan memanggilnya. Abelard sangat bersedih setelah Lania pergi, karena mereka semakin akrab dalam beberapa bulan sebelum kepergian Lania. Sekarang Abelard masih berjuang, sebagian besar waktunya digunakan untuk menulis dan menjadi motivator bagi ODHA yang baru mengetahui statusnya.
**

Dari notesofgea:
Ini bukan kisah nyata. Semuanya murni dari luapan rindu ingin menulis. Meski tulisan ini tidak rapi dan biasa saja, semoga menjadi motivasi untuk mulai membaca dan menulis dalam artian yang sesungguhnya. 
Apakah kau tidak penasaran dengan "Limfoma" atau "ODHA"?.

2 komentar:

  1. Aahhhh... Suka tulisan nya. Next tentang kehidupan Aberald nya yaa 😄

    Sapu tangan nya berwarna tosca, warna kesukaanku ❤

    ReplyDelete

 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design