“Nama kamu
siapa?”
“......”
----
Pertemuan pertama kami terjadi sekitar satu minggu
yang lalu. Saat itu aku sedang berada dalam antrian untuk mengulur waktu
kematianku. Sedangkan dia, bermaksud untuk mempersingkat masa hidupnya. Apakah kau
tahu berapa jumlah populasi manusia di dunia saat ini? Apakah kau tahu ada
beragam cara yang dapat dilakukan untuk bertahan hidup atau mengakhirinya?. Dari
sekian banyak manusia dan sekian banyak cara, kami bertemu. Takdir selalu saja
terasa sebagai sebuah kebetulan, tapi sejak aku merasa perlu untuk lebih dekat
dengan Tuhan, aku simpulkan bahwa pertemuan ini sudah diatur sejak lama. Kami bertemu
di sebuah apotek, halaman parkirnya cukup luas. Apoteker yang bekerja disana
masih muda, tidak cantik, tapi dia rapi dan harum. Tidak ada yang menarik
disini, sampai akhirnya kami bertemu pandang.
“Sakit apa?”
Penduduk di negeri ini sangat pandai berbasa-basi. Aku
sebagai pribumi rasanya memang sudah terlahir dengan bakat tersebut. Pertanyaan-pertanyaan
yang standar, tidak kreatif, dan seringkali tidak menghargai perasaan orang
lain. Kau mungkin sudah bisa membayangkan apa pertanyaan selanjutnya setelah
dia menjawab dengan menyebutkan nama penyakitnya, yaitu sejak kapan? Kok bisa? Lalu
rentetan harapan untuk kesembuhannya. Entahkah itu tulus atau tidak, yang jelas
setelah kami berpisah, itu akan menjadi obrolan seperti obralan. Aku akan
menceritakan pada orang lain tentang penyakitnya. Padahal kita tidak saling
kenal.
Sayang sekali, dia tidak menjawab pertanyaanku. Bahkan
tidak tampak ada respon yang ia berikan padaku. Sombong, ditanya begitu saja
tidak mau menjawab. Padahal apa susahnya menjawab, dia pasti tahu kan apa
penyakitnya? Lagipula aku malu, bagaimana bila ada yang memperhatikan bahwa aku
dicuekin saat bertanya padanya. Atau jangan-jangan dia tidak bisa mendengar? Aku
mulai berimajinasi sampai akhirnya tetap kesal meski berusaha memaklumi.
Tiba-tiba saja dia berdiri, aku terkejut. Majalah
di tanganku hampir saja jatuh ke lantai. Aku kira dia akan pergi. Nomor
antriannya dipanggil. Ternyata dia cukup tinggi. Kulitnya kuning langsat,
bersih. Sepatu yang dipakainya tampak mahal, aku pernah lihat itu di instagram saat membuang waktu dan kuota
internetku. Terlalu simpel untuk orang yang sedang sakit, di ruangan yang dingin
ini dia tidak memakai jaket. Kaos yang dia kenakan berlengan pendek dan
warnanya biru, bukan warna kesukaanku. Dari tangannya ia terlihat kurus,
jemarinya menggenggam sapu tangan berwarna tosca. Selain wajahnya yang tampak
lebih pucat dan kantung matanya yang agak gelap, dia tampak baik-baik saja.
Aku berusaha fokus pada majalah yang sedang kubaca,
isinya tentang budidaya jagung, bagaimana caranya timun bisa berbuah lebih
besar daripada timun pada umumnya, bahkan
majalah itu juga berisi tentang ikan cupang. Hanya beberapa menit, kemudian
buyar. Terjadi keributan di depan. Antara apoteker perempuan itu dengan orang
yang duduk di sampingku tadi. Mereka tampak beradu mulut, tapi aku tidak bisa
mendengarnya dengan jelas. Sampai akhirnya orang itu membalikkan badan menuju
pintu keluar. Aku yakin tidak salah lihat, dia sedang menangis. Sebagian besar
orang memandangi adegan itu dengan heran, penasaran, dan sebagian lainnya cuek
saja.
Kau mungkin akan merasa ini remeh dan klasik
seperti dalam adegan di sinetron yang bahkan ratingnya jelek, tapi ini
benar-benar terjadi. Sapu tangannya yang berwarna tosca itu terjatuh. Demi melihat
itu aku merasa ada dua sayap yang tumbuh pada setiap tulang belikatku. Tidak kusadari
kapan aku beranjak dari kursi dan berpindah tempat ke arah pintu keluar, sapu
tangan tosca itu kini ada ditanganku. Aku bahkan mengikutinya keluar, dia
benar-benar seperti magnet sekalipun aku seperti besi berkarat. Nafasku tersengal,
aku melihatnya hampir menyebrang.
“Hei, ini
punya kamu”, aku berteriak.
Sejenak aku ragu, mungkin memang tidak seharusnya
aku mengembalikan sapu tangan ini padanya. Dia bahkan tidak merespon saat
kutanya, tidak menoleh saat kupanggil. Gerakan yang kulakukan secara tiba-tiba
membuatku semakin lemas, aku mulai mimisan, buram tapi aku masih bisa melihat
dia hampir sampai di seberang jalan, aku mendengar orang-orang berteriak, lalu “bragg!”.
----
Satu minggu berlalu, aku tidak ingat bagaimana
persisnya kecelakaan itu terjadi. Lagipula aku sudah biasa berada disini, rumah
sakit ini sudah seperti rumah pertama bagiku sejak dulu. Jika ditambah dengan
koma selama beberapa hari, maka ini memang takdirku. Meski kali ini Tuhan
memberikan sedikit bonus, ada yang sedang duduk menungguku, tidak seperti
biasanya.
“Hai”,
aku berusaha tersenyum.
“Maaf”.
“Bukan
salahmu”.
Air mata mulai mengalir dari kedua matanya. Sebenarnya
aku geram sekali, mengapa lelaki menjadi demikian cengengnya. Aku menghela
nafas, kepalaku berdenyut agak nyeri. Sekali lagi kutanyakan,
“Nama kamu
siapa?”
“....”
Bola matanya bergerak kesana-kemari, ada yang lain
di matanya. Bukan, bukan ada pelangi. Tetapi seperti ada malam pada jalan
panjang yang lengang dan sendirian. Pada mata itu juga tampak malam yang dingin,
melihatnya saja aku menggigil. Luka macam apa yang dia derita?, sehingga burung
berhenti berkicau, nektar bunga menjadi hambar, dan angin melaluinya begitu
saja tanpa sapa.
“Aku Lania, dengan limfoma. Sudah stadium
akhir”.
Semoga kalimatku ini membuatnya merasa lebih baik. Ternyata
itu cukup berhasil, dia mengangkat wajahnya setelah sejak tadi menunduk sampai
akhirnya menatapku.
“Aku Abelard,
dan aku ODHA”.
“....”
Kami terus saling menatap selama beberapa saat. Abelard tersenyum dan aku balas dengan senyum yang lebih lebar lagi. Pukul 09.00 pagi
di kamar nomor 143, matahari lebih hangat dari biasanya, tirai bergerak lembut
terkena angin, Abelard menghapus air mataku menggunakan saputangan miliknya yang
tidak sempat aku kembalikan waktu itu. Takdir.
**
Note:
Setelah menulis cerita ini, Lania kembali berjuang melawan kankernya sampai akhirnya ia harus berhenti, karena Tuhan memanggilnya. Abelard sangat bersedih setelah Lania pergi, karena mereka semakin akrab dalam beberapa bulan sebelum kepergian Lania. Sekarang Abelard masih berjuang, sebagian besar waktunya digunakan untuk menulis dan menjadi motivator bagi ODHA yang baru mengetahui statusnya.
**
Dari notesofgea:
Ini bukan kisah nyata. Semuanya murni dari luapan rindu ingin menulis. Meski tulisan ini tidak rapi dan biasa saja, semoga menjadi motivasi untuk mulai membaca dan menulis dalam artian yang sesungguhnya.
Apakah kau tidak penasaran dengan "Limfoma" atau "ODHA"?.
Aahhhh... Suka tulisan nya. Next tentang kehidupan Aberald nya yaa 😄
ReplyDeleteSapu tangan nya berwarna tosca, warna kesukaanku ❤
Acc 😄 terima kasiiiih💚
Delete