Tunduk kala naik, tegak kala turun
Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan mengambil apapun kecuali gambar, jangan membunuh apapun kecuali waktu
Pada suatu hari, lebih tepatnya pada tanggal 23 November 2013, saya dan tiga orang saudara sesama Jantera.. Sebut saja Reza, Mahar, dan Hafid memutuskan untuk berakhir pekan di suatu tempat yang tidak ada mall, tidak ada kebab, apalagi penjual susu ultra. Gunung. Kami pergi ke gunung, tidak terlalu jauh dan tidak pula berada di negeri antah berantah, karena gunungnya terpetakan dalam peta zaman dahulu sekalipun.
Gunung Cikuray...
Berdasarkan studi literatur yang saya lakukan sebelum bahkan setelah pendakian, tinggi Gunung Cikuray adalah 2.818 mdpl. Ternyata, itu data di lapangan menyatakan hal yang berbeda. Tentu saja bukan saya sengaja ukur untuk membuktikan, hanya saja di puncaknya ada benteng tanda puncak dan di sana tertulis bahwa ketinggiannya adalah 2.821, wallahu a'lam bishawaab...
Gunung Cikuray berada di sebelah selatan Kota Garut. Tepatnya berada di perbatasan Kecamatan Bayongbong, Cikajang, dan Dayeh Manggung. Sebagai gunung tertinggi ke-4 di Jawa Barat setelah Ciremai (3078 mdpl), Pangrango (3019 mdpl), dan Gede (2985 mdpl), Gunung Cikuray termasuk gunung yang tidak aktif dan bentuknya menyerupai kerucut yang sangat besar.
Perjalanan dimulai...
Kami berangkat dari rumah tercinta, sekre Jantera, malam hari pukul 10 sudah cukup larut untuk pergi ke Garut. Dan memang tujuan kami tidak langsung kesana, kami akan bermalam di rumah Hafid, di Margahayu.. Itu menjadi pengalaman pertama saya ke Margahayu pakai motor dan menginap. So amazing! (bagi saya). Rencananya, kami akan berangkat setelah shalat subuh.. Tapi apa daya, bangun siang dan tak mungkin serta tak ingin menolak tawaran sarapan di rumah Hafid. Orang tua yang sangat baik, kami bahkan dieri bekal uang jajan. Terima kasih Bapak dan Ibu.
Akhirnya kami pun sampai di puncak. Ah tentu saja saya salah ketik. Kami sampai di kaki Cikuray sekitar pukul 9 pagi. Reza yang memnadu perjalanan karena dia sudah pernah kesini sebelumnya. Bila ada ungkapan manusia adalah tempatnya salah, khilaf, dosa.. True! Itu yang kami alami..
Pendakian tidak dilakukan melalui jalur yang banyak dan biasa digunakan pendaki lain dari seluruh pelosok negri ini, jalur pemancar. Tetapi kami menggunakan jalur olan. Pada hari itu.. Reza agak lupa nama dan jalurnya dan kami memutuskan untuk bertanya pada warga setempat. Ah, ternyata manusia memang bebas melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya masing-masing. Warga menunjukkan jalan yang bisa kami lalui untuk mencapai puncak. Hasilnya? Buntu.. Kalaupun maju, menuju lembahan. Sampai dzuhur kami berputar dan akhirnya memuturkan untuk turun kembali. Berhenti sejenak untuk melengkapi rukun islam. Air dengan kekuatan da itu membantu kami semangat lagi.. kembali turun, mencari jalan yang lebih benar.
Smepat lapar.. dan kami membali bakso juga batagor. Ya tentu saja kami makan. Perjalanan dilanjutkan dengan mengaplikasikan "malu bertanya sesat di jalan".. Maka kami banyak bertanya. Jreeeng! Kami sampai di jalur olan. Hari sudah menjelang ashar, rasanya saya sudah berjalan seharian. Saya sebagai seseorang yang paling cantik rasanya ingin mengeluh, tapi malu dan takut menyusahkan.
Sekitar pukul 3 sore, perjalanan yang sebenarnya di mulai.. Reza di depan memimpin.. saya, mahar, dan hafid mengkor di belakangnya. Shalat ashar di lereng menurun rasanya aneh, tetapi itu tetap dilakukan. Sepanjang perjalanan, saya mulai meracau dalam hati. Apakah benar tracknya terus menanjak? Apakah kekuatan magis disini sangat ada? Mungkinkan kami akan membutuhkan bantuan SAR? Apakah akan bertemu orang lain selama perjalanan? dan lain-lain, dan sebagainya, dan seterusnya....
Ingat Tuhan, supaya diingat Tuhan selalu...
Berhubung saya bukanlah orang yang terlalu hebat dan kuat seperti mereka bertiga, saya mengandalkan kekuatan doa dan fisik yang ala kadarnya saja. Sesekali berhenti, memakan snack dan bergantian minum persediaan air. Harus hemat, karena kita tidak akan menemukan mata air setelah memasuki kawasan yang rapat dengan vegetasi. Sebelumnya kami meminum air dari slang-slang air milik warga, airnya sangat dingin, segar, tapi mentah.
Pos 1 entah dimana.. Tiba-tiba saja ada tulisan pos 2. Mungkin kami kurang mengamati lingkungan sekitar, atau mungkin juga karena memang tidak ada tanda untuk pos 1. Hari semakin gelap, kami mulai menyalakan headlamp. Hari ini saya ingin menyampaikan bahwa headlamp yang saya gunakan masih sangat baru, merk energizer. Semakin malam, saya semakin ingin mengeluh. Langkah kaki semakin pendek dan semakin lamban. Tetapi mereka sungguh saudara saya yang baik hati dan tangguh.. Mereka tidak membiarkan saya merasa tertinggal langkah dan semangatnya. Terima kasih, saudaraku.
Pos 3, disitu ada tempat yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Tetapi kami tidak berniat mendirikan tenda disitu. Tujuan kami adalah puncak. Sampai di pos 3, kami melihat dan mendengar tanda-tanda ada pendaki lain dari Jakarta. Tetapi mereka tidak naik kereta malam kok.. karena tidak akan ke Surabaya (naon sih). Katanya mereka berjumlah 22 orang, ada sedikit insiden yang membuat saya ingin segera berlari sampai puncak, takut sesuatu terjadi pada kami berempat, seperti halnya yang terjadi pada salah seorang dari mereka.. Ada kakak perempuan yang terus menangis karena sepertinya 'kelelahan'.
Track semakin menanjak, sedikit saja bonusnya. Banyak lampu, banyak senter, banyak tenda, dan banyak suara orang. Puncak? Menurutmu?
Selamat.. Ineu sudah sampai puncak!
Reza, diam-diam saya ingin menangis.. Ini terlalu berharga untuk menjadi cengeng. Terima kasih Reza, Mahar, dan Hafid.
Kami mencari spot terbaik yang masih ada untuk mendirikan tenda, merebus air, dan memasak mie untuk makan. Setelah shalat.. Berdasarkan laporan ketiga saudara saya itu, saya sangat cepat terlelap.
Pagi hari tanggal 24 November 2013, kami bangun memulai hari dengan bersujud dua rakaat untuk-Nya. Rasanya sedang ada dimanaaa gitu.. Ramai orang, dari Jakarta, dari Jawa Barat, dan ada yang dari Jawa Timur/Tengah.. Karena mereka semua berbahasa jawa. Meskipun hari itu kami tidak berjumpa dengan sunrise, tetapi sama sekali tidak mengurangi keindahan puncak Cikuray. Kami bahkan harus mengantri untuk berfoto di tugu puncaknya. Sebelum pukul 10, kami memutuskan untuk turun.
Perjalanan turun tidak lebih mudah... Karena kaki sudah semakin letih dan turun menopang beban yang lebih berat daripada ketika naik.
Seperti yang sudah saya bilang di awal, tunduk kala naik dan regak kala turun... Itu benar-benar meresap dalam jiwa saya, seperti air yang terilnfiltrasi. Harus baik-baik melihat jalan, mawas diri ketika kita ingin menggapai target, Dan tentu saja kita harus kuat menegakkan kepala ketika segala hal dalam hidup sedang menurun menjauhi target. Itu artinya kita harus mulai menyusun rencana dan persiapan untuk target selanjutnya. Bahagia itu sederhana, naik dan turun gunung.