Wednesday, January 27, 2021

Jangan Ada Dusta di Antara Kita

    Aku kalau mau berangkat sekolah, selalu malas untuk mandi. Karena pagi-pagi airnya selalu dingin, sarapannya juga nasi dingin sisa tadi malam. Kadang ibuku menggorengkan telur mata sapi yang pinggirnya agak gosong, tidak cantik seperti yang ada di iklan televisi. Tapi aku tetap harus mandi dan harus makan juga, kata ibuku supaya aku jadi anak pintar.

    Setiap pagi aku akan bercermin sambil menyisir rambut, mengikuti gaya rambut ayahku. Kata ayah, laki-laki harus rapi dan wangi supaya bisa jadi orang hebat. Di cermin mukaku tampak jadi ada tiga, karena cermin kecil yang terselip di dekat jendela itu retak. Sudah berbulan-bulan lalu jatuh dan beberapa bagiannya pecah, yang menjatuhkan tentu saja ayah sebagai yang paling sering bercermin di rumah ini. Sampai hari ini belum juga diganti dengan yang baru. Ibuku bilang, buat apa diganti? Toh masih bisa dipakai.

   Tidak seperti teman-teman lain yang diantar pakai mobil, ayah mengantarku ke sekolah menggunakan sepeda motor. AKu pakai seragam dan ayah pun juga. Seragam ayah sangat aman, jaket tebal yang resletingnya tertutup sampai ke dekat leher, ayah juga pakai sarung tangan, pakai sepatu meski tidak pakai kaos kaki. Kadang-kadang di jalan aku juga melihat orang-orang yang pakai seragam seperti ayah, bahkan helm yang mereka pakai juga sama dengan yang ayahku pakai. Pemandangan itu rasanya tidak mengurangi udara pagi yang sangat dingin. Untung saja ayahku badannya lebih lebar, atau mungkin tepatnya badanku yang masih kecil, jadi aku bisa berlindung di punggung ayah. Kadang aku peluk erat ayah dari belakang, untuk mengukur panjang tanganku sudah bertambah atau belum. Tapi kata ayah, panjang tangan itu bukan hal yang baik.

    Sebentar lagi ujian kenaikan kelas. Tiba-tiba kami harus pindah ke desa karena listrik di rumah kami sudah beberapa hari ini mati, air juga tidak mengalir. Aku memang malas mandi pagi, tapi ternyata aku malu kalau datang ke sekolah tapi tidak mandi. Ibuku juga sudah tidak pernah lagi menggorengkan aku telur. Kata ibu supaya aku tidak bosan, maka harus makan protein nabati juga karena telur termasuk protein hewani. Jadilah hampir seminggu ini aku makan nasi dengan lauk kecap. Rasanya manis, aku suka sekali dengan kecap. Sedangkan ayah katanya perlu banyak tenaga, jadi ayah harus banyak makan nasi dan tidak perlu lauk tambahan. Ibuku tentu saja puasa untuk mendekatkan diri pada sang maha pencipta.

    Hari kepindahan sudah ditentukan. Aku sangat sedih harus berpisah dengan teman-teman dan guru-guruku di sekolah. Mereka memberiku hadiah perpisahan, yaitu buku-buku pelajaran karena kata guruku di desa nanti jarang ada yang menjual buku. Aku juga mendapat hadiah mobil remote control dari teman-teman, canggih dan menggunakan baterai. Pasti aku akan mainkan setiap hari, supaya aku tidak kesepian sesampainya nanti di desa. Kami juga berjanji akan terus menjadi teman, tidak sombong, tidak melupakan, dan akan bertemu lagi nantinya. Aku melangkah keluar meninggalkan kelas, sangat berat rasanya. Aku menoleh ke belakang, pintu kelas sudah ditutup dan kudengar suara riuh teman-temanku mengobrol, tertawa, dan ada yang berteriak seperti biasanya. Ayah dan ibuku mengusap kepalaku dan memberikan semangat, mereka bilang di desa juga ada sekolah dan akan ada teman-teman yang baru, jadi aku tidak perlu khawatir.

    Sekarang, sudah satu bulan aku tinggal di desa. Ayah sudah mendapat pekerjaan yang baru, bahkan ibu juga ikut membantu. Seragam kerja ayah kali ini berbeda. Ayah cukup memakai celana pendek dan kaos oblong saja. Sementara ibu menggunakan pakai yang dipakainya tidur tadi malam, kadang-kadang pakai dress, piyama, celana olahraga dan kadang-kadang pakai celana pendek punya ayah. Aku berangkat sekolah dengan berjalan kaki, kata ayah supaya otot kakiku kuat dan ayah tidak boleh mencemari udara di desa dengan asap kendaraan sehingga ayah harus meninggalkan sepeda motornya di kota. Aku juga sudah punya teman-teman baru disini, kami bermain bersama setiap pulang sekolah. Selalu ada saja yang kami lakukan, menangkap belalang dan memasukkannya ke dalam botol bekas air mineral, mencari belut, mandi di sungai, bahkan menerbangkan layangan juga kami lakukan. Sangat seru. Aku tidak punya waktu lagi untuk memainkan mobil remote control pemberian teman-temanku dulu.

    Tapi teman-temanku jarang mandi. Kukunya kotor dan badannya bau. Seragamnya juga kotor dan warnanya tidak putih seperti yang aku pakai. Mereka belum lancar membaca dan jarang masuk sekolah. Kata Pak Guru rumah mereka jauh dari sekolah, atau hari ini sungai meluap sehingga mereka tidak bisa datang ke sekolah, atau mereka harus menjaga hewan ternak karena ayahnya sedang sakit, atau sedang ada panen raya di daerah mereka. Aku iri pada mereka, aku tidak bisa melakukan apa yang mereka lakukan. Aku selalu datang setiap hari ke sekolah, setiap ada tugas dari guru selalu aku kerjakan dengan mudah, dan aku juga harus mandi setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Rasanya sesekali aku ingin seperti mereka, tidak perlu datang ke sekolah.

    Semenjak tinggal di desa, kulit ayah semakin legam. Kata ayah itu tandanya lelaki perkasa. Ibu hanya akan tertawa saja menanggapi perkataan ayah. Aku senang bisa berkumpul bersama keluarga, apalagi ibuku sangat pintar dan kreatif. Setiap hari menu makanan kami selalu berubah dan baru aku rasakan sekarang makanan itu. Kata ibu merebus keladi untuk makan malam, merebus daun kelor dan diberi sedikit garam sebagai sayur, di akhir pekan kadang-kadang kami membakar sate keong dari sawah-sawah milik orang lain.

    Pernah ibuku bertanya, apakah aku ingin kembali ke kota? Tentu saja kujawab tidak. Lalu ibuku bertanya lagi, aku ingin apa? Kujawab, aku ingin menjadi seperti yang ayah dan ibu minta. Menjadi anak pintar, menjadi orang hebat, tidak khawatir pada apapun, menjadi lelaki kuat, dan menjadi lelaki perkasa. Maka dari itu aku sangat berusaha untuk selalu mandi dan makan pagi, bercermin setiap hari, bermain bersama teman-teman, senang berjalan kaki, dan menjadikan kulitku legam terbakar matahari. Aku ingin menjadi kebanggaan ayah dan ibu, seperti yang ayah dan ibu mau.

Friday, September 18, 2020

I "Swipe" You on #tinder

 

Pagi ini saya buka twitter dan ada taggar yang sudah lama nian membuat saya penasaran. Dulu sebelum saya menikah, beberapa orang teman menyarankan untuk mengunduh aplikasi tersebut untuk bertemu orang-orang baru dan berkenalan, lebih jauh lagi bisa lanjut pada hal-hal yang dikehendaki jika ada kecocokan. Beta ambigunya saran itu bagi saya. Apakah kamu sudah tahu salah satu taggar yang menjadi salah satu tranding topic hari ini di twitter? Jika belum, dengan suka rela akan saya beritahukan. Taggar itu adalah #tinder.

                Aplikasi yang mulai diluncurkan pada tahun 2012 itu sampai saat ini masih populer, atau bahkan semakin populer.  Menurut saya, itu aplikasi yang pintar. Terhubung melalui facebook yang rata-rata manusia di dunia ini menggunakannya, kemudian menganalisis data yang diunggah dengan suka rela oleh penggunanya. Namun setelah saya tilik kembali, saat ini memang begitulah cara kerja internet. Mulanya saya heran, bagaimana iklan-iklan di media sosial yang saya gunakan bisa begitu tepat dengan yang saya butuhkan? Saya hanya mencari satu kali kemudian mereka menawarkan beragam produk serupa sehingga membuat saya kebingungan untuk memilih. Saya jadi khawatir pada apa saja yang pernah saya ungguh di media sosial saya.

                Tinder bukan aplikasi mencari jodoh, tapi aplikasi pertemanan. Meskipun tidak sedikit saya menemukan artikel atau utas yang membagikan pengalaman mereka yang akhirnya menikah setelah berkenalan di aplikasi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata pengguna akan menghabiskan waktu satu setengah jam di aplikasi itu. Waktu yang cukup lama, bisa digunakan untuk ujian satu mata pelajaran, membaca buku sekitar 10-20 halaman, atau membakar kalori dengan olahraga. Saat ini bahkan ada fitur-fitur premium yang dapat dinikmati oleh penggunanya.

                Sayang sekali hal yang membuat tinder menjadi bahan pembicaraan saat ini bukan karena hal positifnya, melain hal negatif. Telah terjadi kasus pembunuhan dan berita mengabarkan bahwa antara pelaku dan korban saling kenal melalui tinder. Dalam konteks kejahatan, tentu saja tinder bukan pelakukanya, kan? Tapi aplikasi itu terus ditulisankan dalam taggar #tinder. Tentu saja itu bukan satu-satunya kasus kriminal yang berhubungan dengan tinder, ada beberapa masalah lain yang juga mengkhawatirkan mulai dari internal hingga masalah eksternal yang melibatkan pihak ketiga. Meskipun saya belum menemukan alasan pastinya, tapi saya telah membaca beberapa berita yang menyebutkan ada negara di  dunia ini yang memblokir tinder di negaranya.

                Sebenarnya, tentu saja bukan tinder yang salah. Aplikasi yang telah berkembang pesat seperti tinder dan lain sebagainya tentu mempertaruhkan kredibilitasnya jika sembarangan mempublikasikan data pengguna. Lain halnya jika pengguna itu sendiri yang secara suka rela terhubung dengan orang-orang baru. Sama halnya dengan kasus kriminal yang terjadi di Jakarta baru-baru ini, niat jahat memang sudah tertanam dalam hati dan otak para pelakunya. Tentunya kita bisa saja menjadi korban atau bahkan pelaku. Terlebih dalam masa yang belum stabil seperti sekarang ini, kondisi ekonomi sebelum masa pandemi saja kita tahu belum merata pertumbuhannya, apalagi pada saat pandemi dimana beberapa bidang usaha perlu dibatasi terlebih dahulu.

                Sebagai orang tua, tentu saja saya prihatin dengan kondisi sehubungan dengan taggar #tinder saat ini. Saya khawatir pada anak-anak saya, yang bisa saja belum bijak dalam menggunakan media sosialnya sehingga membuka kesempatan bagi orang yang punya niat jahat. Proteksi itu tidak cukup dari si anak saja, dari kita di rumah sebagai orang tua, dari guru di sekolah, dan tentu saja dari lingkungan bermain dan belajar yang kita berikan pada anak-anak. Saya harap anak-anak tumbuh dengan pesat sewajarnya usia tumbuh kembangnya, kalaupun ada yang berbeda boleh saja itu dikarenakan kemampuan intelektualnya yang di atas rata-rata. Tentunya saya dan semua orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anak dan diterima dengan baik pula oleh anak.

                Semoga anak-anak dan juga kita semakin mawas diri, berhati-hati untuk berkomunikasi dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya. Membangun jejaring memang penting, tetapi bertemu dengan orang yang tepat itu lebih penting.

               

Thursday, August 27, 2020

Simsalabim

Ada masa dimana musim penghujan datang terlambat, atau kemarau terlalu betah untuk berlalu.  Kamu mungkin juga tahu rasanya bubur ayam yang diaduk akan lebih nikmat, atau malah jadi koproh dan menghilangkan selera makan. Tentang musim yang berganti bukan karena simsalabim, tentang bubur ayam yang bisa kita tentukan cara menikmatinya, adalah dua hal yang berbanding terbalik dengan kenyaatan yang sedang kuhadapi. Tahun ini aku berusia 18 tahun, hal yang seharusnya bisa kupilih untuk dinikmati malah di-simsalabim oleh keadaan.

Nduk, kami itu sudah dewasa. Sudah saatnya untuk menikah!”.

Sejujurnya aku sudah menduga, tahun ini ibu ingin aku menikah. Sama seperti Maryam, Lastri, atau bahkan Aminah yang tampak bahagia karena tidak perlu lanjut sekolah lagi karena menikah. Tidak tanggung-tanggung, suaminya adalah juragan tambak di desa kami. Istri ketiga, tapi istri yang lainnya sudah tua. Aminah bilang, rezeki tidak akan kemana.

“Aku pengen kuliah, bu”.

Tatapan ibu kemudian menjadi lebih tajam, helaan nafasnya terdengar menjengkelkan.

“Ibu. Kalau aku kuliah, nanti bisa punya ijazah dan kerja di kota”.

“Kamu mau kerja apa? Sekarang ini cari kerjaan susah. Kalau menikah, bisa di rumah aja ngurus suami, segala kebutuhan sudah tercukupi”.

Aku harus melawan. “Nanti ibu, kalau aku sudah punya ijazah…”.

“Sudah, sudah. Jangan ngeyel!”.

Selanjutnya masih aku dengar ibu yang terus mengomel, membahas tentang keturunan, harta warisan, cerita tentang bapak, sampai pada acara pesta panen bulan depan. Ibu khawatir kalau sampai tiba waktunya acara itu dan aku belum juga dilamar orang, kata ibu itu aib. Kupandangi punggung ibu yang bergerak menjauh menuju sumur untuk mengambil air. Badannya masih tegap, kaki dan tangannya kokoh, sayang hatinya juga keras.

Aku urungkan niatku untuk makan pagi ini, tahu goreng dan sayur bayam biasanya adalah menu favoritku tapi pagi ini beda, mendadak hilang nafsu makanku. Lagipula kalau aku makan pagi ini, bisa-bisa siang nanti aku sudah kelaparan lagi dan tidak ada apa-apa yang bisa dimakan. Semenjak bapak meninggal, kehidupan semakin sulit. Ibu hanya berjualan daun ubi untuk disayur, padalah orang di desa kami juga rata-rata menanam ubi untuk kebutuhan pangan. Ibu harus tahu, aku ingin sekolah dan itu penting untuk kami.

Panas terik dan angin berhembus kencang. Kemarau sedang menuju puncaknya. Setelah dinyatakan lulus dari sekolah menengah atas satu-satunya yang ada di kecamatan, rasanya aku semakin kemrungsung, panasnya luar dan dalam. Betapa sia-sianya kalau aku tidak lanjut sekolah, perjuanganku selama ini menempuh perjalanan panjang hanya untuk belajar, memakai seragam yang itu-itu saja, dan nasihat dari bapak dan ibu guruku.

“Hanin nilai kamu bagus, harus lanjut kuliah ke kota, ya!”. Begitu kata Bu Bhakti, guru panutanku. Betapa bungahnya aku mendapat dukungan dari seorang guru yang sangat kreatif, sabar, dan baik seperti Bu Bhakti.

Tapi sekarang nyatanya, apa? Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk lanjut kuliah, pastinya juga ibu tidak akan punya cukup uang untuk membiayaiku, belum lagi di pesta panen bulan depan, orang-orang akan mulai bergunjing kalau melihat anak seusiaku belum nikah juga. Aku memikirkan banyak cara untuk kabur, dari pesta panen, dari desa ini, dan dari ibu.

Sambil duduk-duduk di halaman rumah, di bawah pohon jambu air yang sedang tidak berbuah, aku bisa melihat debu berterbangan, daun kering berserakan dan akan disapu oleh ibu-ibu sore nanti sambil mengobrol, membahas tentang Pak RT yang nikah lagi atau tentang bantuan dari pemerintah yang selalu kurang saja jumlahnya. Matahari beranjak naik, aku melihat seseorang datang memasuki halaman rumah kami yang cukup hijau karena ibu rajin menanam bunga, tapi aku tidak rajin.

“Nin, ibumu ada?”, ternyata itu adalah Mas Windu. Anak Pak Carik, umurnya hanya dua tahun lebih tua dari aku.

“Ada, mas. Sedang ke sumur. Aku panggilkan, ya”.

Ndak usah, Nin. Aku kesini mau ketemu kamu”.

“Aku, mas? Ada apa?”. Baru kali ini ada tamu datang dan mencariku, bukan mencari bapak dan menagih hutang-hutangnya.

“Ini ada titipan dari bapak, untuk dek Hanin”.

“…..”

Setelah menerima “hadiah” dari Pak Carik yang dititipkan pada Mas Windu, aku merasa suhu udara semakin panas, mataku juga panas dan benar saja keluarlah air mataku. Sambil membuka hadiah itu, aku terus menangis sampai bahuku terguncang dan ingusku juga ikut turun naik. Ibu yang baru kembali dari sumur dan melihatku menangis sesegukan di depan rumah langsung lari tergopoh.

Ngopo? Kenapa nangis? Kamu kenapa, nduk?”. Ibu sibuk mengusap-usap kepalaku, bergantian menggenggam jemariku sampai terasa telapak tangannya yang kasar itu. Air mataku semakin deras.

“Ini apa?”, ibu melihat dan membuka barang yang sedari tadi kupengang, kemudian memandangku dengan tatapan tidak percaya. Ibu memelukku.

“Ibu… Aku mau menikah sama Mas Windu”.

(Sidoarjo, 27 Agustus 2020)

 =================================================================

Ini saya tulis setelah mata pedih karena mencari lowongan pekerjaan. Saya adalah satu dari 6,8 juta manusia di Indonesia yang sedang menganggur. Seringkali kita berusaha memberikan yang terbaik dengan tulus hati, tapi Allah berkehendak lain. Kemudian kita menjadi kecewa karena merasa Allah tidak adil. Padahal jelas nian sering kita dengar, Allah memberikan yang terbaik untuk kita sesuai dengan kebutuhan kita dan tentunya perlu nian untuk melihat ke dalam diri, benarkah sudah maksimal? Benarkah tulus?.

Tulisan ini juga seperti biasa, meluahkan isi kepala yang terlalu random. Prihatin pada kondisi dunia pendidikan saat ini, pernikahan dini, pertentangan pendapat antara anak dan orang tua, kondisi yang mungkin relevan dengan kehidupan sehari-hari, sampai pada pilihan realistis dalam hidup.

Koproh : jorok (Jawa)

Nduk  : panggilan untuk anak perempuan (Jawa)

Bungah: bahagia

Ngopo  : mengapa/kenapa (Jawa)

Kemrungsung: bersungut-sungut/terburu-buru

        

Apa kamu penasaran hadiah apa yang Mas Windu berikan untuk Hanin? Semoga iya, hehehe. Jawabannya adalah, Kain batik dengan motif Sido Asih. Pak Carik ingin melamar Hanin untuk Mas Windu. Kenapa diterima? Padahal Hanin sangat ingin lanjut kuliah. Menurutmu, kenapa? ðŸ˜Š

 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design