Selamat pagi, selamat berjumpa
lagi dengan saya dalam kegiatan meracau. Ini jam sekitar setelah shalat subuh
dan sebelum dhuha. Tiba-tiba saja saya rindu mama, sudah menangis sedikit..
lalu saya sadar, ah saya kan sedang shaum dan ini ramadhan. Tidak batal selama
air matanya tidak saya telan, tapi makruh, hukumnya begitu bukan?
Lalu apa? Iya saya rindu mama
tanpa perlu dideskripsikan panjang lebar dan selengkap-lengkapnya. Hanya saja
saya mau tiba-tiba mama telpon, atau minimalnya kirim pesan singkat untuk saya.
Ini awal bulan agustus dan lebaran sebentar lagi… apa yang sudah saya dapat
sejauh ini tanpa mama? Saya tidak ingin menjawabnya.
Rindu sama mama pagi ini
rasanya.. seperti menahan lapar karena sejak pagi hingga petang belum makan
padahal tidak sedang shaum, perih. Seperti lari keliling lapangan sepak bola
selama 12 menit tanpa minum dan langsung melanjutkan hidup ke ruang lainnya,
haus. Seperti gurun shara walau saya tidak pernah kesana, kering. Seperti kopi
hitam pekat yang tidak perlu diberi gula dengan alasan cita rasa, pahit.
Inginnya saya mengabaikan segala
macam hal-hal yang membuat saya merasa ciut dan berfikiran buruk terhadap
apapun, misalnya saja ada orang yang memandangi saya sedemikian rupa ketika
saya menangis, maka seketika itu pula saya akan berfikir “wah enak betul ya
jadi kamu, masih punya mama” padahal seharusnya saya bersyukur, karena tanpa
mama berarti saya sudah ‘jadi orang hebat’ karena seharusnya lebih tegar dari
dia, tapi kosong! Saya malah semain cengeng.
Untuk mengabaikan yang jelek-jelek
dan kotor-kotor dalam benak saya, maka saya aharus mencari alternatif “rindu
sama mama” itu seperti.. pelangi setelah hujan turun dan dibiaskan oleh sinar
matahari, indah sesaat tapi membekas di mata, hati dan fikiran. Seperti susu
ultra putih kesukaan saya, tidak kelat, gurih, dan membuat perut kenyang.
Seperti hujan pagi-pagi, dingin menusuk tapi menguarkan harum tanah basah dan
terjadi kapilaritas, menjalar hingga atom dalam tubuh saya.
Hei apakah tadi saya bilang saya
tidak ingin mendeskripsikan kerinduan untuk mama? Ah mungkin saya salah ketik,
atau kamu yang salah baca. Saya tidak pernah bermaksud apa-apa apalagi
mengapa-apakan. Tentu tidak akan mengharubirukan kamu dengan tulisan ini. Apa
yang kamu fikirkan tentang saya di awal tulisan? Apa? Saya cengeng? Sebaiknya
kamu jangan sok tahu, saya bahkan lebih kuat dari yang saya kira.
Lalu mengapa pagi ini saya agak
menangis? Tentu saja karena saya merasa terlalu perih, haus, kering dan pahit.
Tapi saya tidak menangis terlalu lama seperti ketika uang dalam celengan saya
tiba-tiba raib dan katanya karena tuyul. Saya juga tidak menangis seperti zaman
dulu di acara perpisahan sekolah. Kan sudah saya bilang, saya ini tidak
cengeng. Jadi saya fikir, rindu pada mama itu seharusnya dan sudah semestinya seperti
pelangi yang meski sesaat tapi selalu berkesan, susu ultra dengan segala
kebaikannya, dan seperti hujan.
Belum lagi tepat pukul enam, saya
sudah semakin ‘gerah’ untuk meracau. Kalian sudah tahu meracau? Meracau bagi
saya adalah kegiatan penting, sudah masuk dalam daftar rutinitas sehari-hari
seperti makan, minum, tidur, bahkan kuliah saja tidak termasuk dalam daftar
saya. Sungguh hebat ya eracau itu, bagi saya. Meracau entah apa bahasa bakunya,
maklumlah saya lahir dan besar dengan bahasa ibu, ibu pertiwi yang sedang
bersusah hati, yang penting saya faham nasionalisme dan itu sudah lebih dari
cukup daripada saya fasih berbahasa yang baik dan benar tapi otak saya
sengklek. Spertinya ini sudah jauh ya dari definisi meracau -___-
Baiklah.. untuk mengefektifkan
waktu dan mengefisienkan space, saya buat paragraph baru untuk mendefinisikan
meracau. Meracau adalah: pagi-pagi nyalakan hp, pilih menu twitter, ketikkan
“dear tweeps.. selamat pagii” atau “yang masih melek mana suaranyaa?” dan tentu
saya untuk yang kedua itu dilakukan lewat tengah malam. Atau ada juga meracau
yang dilakukan dengan cara menulis, puisi bagi saya adalah wujud nyata dari
meracau yang paling indah. Jangan pernah mengartikan meracau sebagai
pembicaraan yang omong kosong, ngalor-ngidul, apalagi debat kusir, karena itu
akan melukai hati dan perasaan saya sebagai tukang meracau.
Sudah berapa paragraph? See..
saya sudah tidak sedih lagi, rindu pada mama kembali mengkristal, tapi
percayalah, suatu hari perlahan tapi pasti akan kersingkap kembali bahkan saya
akan dengan sengaja membuka-buka semua pintu yang ada dalam kepingan memori
untuk memperjelas ingatan saya, saya tidak mau melupakan kenangan bersama mama
meski saya sudah tua nanti.
Akhirnya kita tiba di ujung acara
meracau pagi bersama saya Ineu Handayani, sampai jumpa di acara meracau
selanjutnya.