Saturday, August 17, 2013

Meracau di pagi hari, lagi!


Selamat pagi, selamat berjumpa lagi dengan saya dalam kegiatan meracau. Ini jam sekitar setelah shalat subuh dan sebelum dhuha. Tiba-tiba saja saya rindu mama, sudah menangis sedikit.. lalu saya sadar, ah saya kan sedang shaum dan ini ramadhan. Tidak batal selama air matanya tidak saya telan, tapi makruh, hukumnya begitu bukan?

Lalu apa? Iya saya rindu mama tanpa perlu dideskripsikan panjang lebar dan selengkap-lengkapnya. Hanya saja saya mau tiba-tiba mama telpon, atau minimalnya kirim pesan singkat untuk saya. Ini awal bulan agustus dan lebaran sebentar lagi… apa yang sudah saya dapat sejauh ini tanpa mama? Saya tidak ingin menjawabnya.

Rindu sama mama pagi ini rasanya.. seperti menahan lapar karena sejak pagi hingga petang belum makan padahal tidak sedang shaum, perih. Seperti lari keliling lapangan sepak bola selama 12 menit tanpa minum dan langsung melanjutkan hidup ke ruang lainnya, haus. Seperti gurun shara walau saya tidak pernah kesana, kering. Seperti kopi hitam pekat yang tidak perlu diberi gula dengan alasan cita rasa, pahit.

Inginnya saya mengabaikan segala macam hal-hal yang membuat saya merasa ciut dan berfikiran buruk terhadap apapun, misalnya saja ada orang yang memandangi saya sedemikian rupa ketika saya menangis, maka seketika itu pula saya akan berfikir “wah enak betul ya jadi kamu, masih punya mama” padahal seharusnya saya bersyukur, karena tanpa mama berarti saya sudah ‘jadi orang hebat’ karena seharusnya lebih tegar dari dia, tapi kosong! Saya malah semain cengeng.

Untuk mengabaikan yang jelek-jelek dan kotor-kotor dalam benak saya, maka saya aharus mencari alternatif “rindu sama mama” itu seperti.. pelangi setelah hujan turun dan dibiaskan oleh sinar matahari, indah sesaat tapi membekas di mata, hati dan fikiran. Seperti susu ultra putih kesukaan saya, tidak kelat, gurih, dan membuat perut kenyang. Seperti hujan pagi-pagi, dingin menusuk tapi menguarkan harum tanah basah dan terjadi kapilaritas, menjalar hingga atom dalam tubuh saya.

Hei apakah tadi saya bilang saya tidak ingin mendeskripsikan kerinduan untuk mama? Ah mungkin saya salah ketik, atau kamu yang salah baca. Saya tidak pernah bermaksud apa-apa apalagi mengapa-apakan. Tentu tidak akan mengharubirukan kamu dengan tulisan ini. Apa yang kamu fikirkan tentang saya di awal tulisan? Apa? Saya cengeng? Sebaiknya kamu jangan sok tahu, saya bahkan lebih kuat dari yang saya kira.
Lalu mengapa pagi ini saya agak menangis? Tentu saja karena saya merasa terlalu perih, haus, kering dan pahit. Tapi saya tidak menangis terlalu lama seperti ketika uang dalam celengan saya tiba-tiba raib dan katanya karena tuyul. Saya juga tidak menangis seperti zaman dulu di acara perpisahan sekolah. Kan sudah saya bilang, saya ini tidak cengeng. Jadi saya fikir, rindu pada mama itu seharusnya dan sudah semestinya seperti pelangi yang meski sesaat tapi selalu berkesan, susu ultra dengan segala kebaikannya, dan seperti hujan.

Belum lagi tepat pukul enam, saya sudah semakin ‘gerah’ untuk meracau. Kalian sudah tahu meracau? Meracau bagi saya adalah kegiatan penting, sudah masuk dalam daftar rutinitas sehari-hari seperti makan, minum, tidur, bahkan kuliah saja tidak termasuk dalam daftar saya. Sungguh hebat ya eracau itu, bagi saya. Meracau entah apa bahasa bakunya, maklumlah saya lahir dan besar dengan bahasa ibu, ibu pertiwi yang sedang bersusah hati, yang penting saya faham nasionalisme dan itu sudah lebih dari cukup daripada saya fasih berbahasa yang baik dan benar tapi otak saya sengklek. Spertinya ini sudah jauh ya dari definisi meracau -___-

Baiklah.. untuk mengefektifkan waktu dan mengefisienkan space, saya buat paragraph baru untuk mendefinisikan meracau. Meracau adalah: pagi-pagi nyalakan hp, pilih menu twitter, ketikkan “dear tweeps.. selamat pagii” atau “yang masih melek mana suaranyaa?” dan tentu saya untuk yang kedua itu dilakukan lewat tengah malam. Atau ada juga meracau yang dilakukan dengan cara menulis, puisi bagi saya adalah wujud nyata dari meracau yang paling indah. Jangan pernah mengartikan meracau sebagai pembicaraan yang omong kosong, ngalor-ngidul, apalagi debat kusir, karena itu akan melukai hati dan perasaan saya sebagai tukang meracau.

Sudah berapa paragraph? See.. saya sudah tidak sedih lagi, rindu pada mama kembali mengkristal, tapi percayalah, suatu hari perlahan tapi pasti akan kersingkap kembali bahkan saya akan dengan sengaja membuka-buka semua pintu yang ada dalam kepingan memori untuk memperjelas ingatan saya, saya tidak mau melupakan kenangan bersama mama meski saya sudah tua nanti.
Akhirnya kita tiba di ujung acara meracau pagi bersama saya Ineu Handayani, sampai jumpa di acara meracau selanjutnya.

0 komentar:

Post a Comment

 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design