Tuesday, March 19, 2019

Mengembangkan Kegiatan Ekstrakurikuler di Sekolah


“Geography Get Gold and Glory (4G)”

Oleh: Ineu Handayani, S.Pd.,Gr.

            Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang lokasi serta persamaan dan perbedaan (variasi) keruangan atas fenomena fisik, dan manusia di atas permukaan bumi. Kalimat itu akan mudah kita temukan ketika menyebutkan kata kunci “geografi adalah” pada mesin pencari di media daring. Kata awal Geo dalam geografi berarti Bumi. Sebagai makhluk penuh dengan rasa ingin tahu, maka sangat wajar bila akhirnya ilmu tentang bumi (geografi) terus berkembang bersama dengan ilmu lainnya sesuai dengan falsafah ilmu.

            Penelitian dalam bidang geografi (fisik maupun sosial) terus berkembang. Geografi juga dikenal sebagai Mother of science, yaitu ibu dari segala ilmu lainnya. Membicarakan kondisi sumberdaya alam Indonesia yang melipah, berarti kita sedang berbicara dalam lingkup geografi. Bencana alam yang rentan terjadi di Indonesia juga dikaji dalam geografi. Bahkan meninjau lebih jauh mengenai Indonesia yang multikultur dan tersebar dari Sabang sampai Merauke juga merupakan kondisi sosial yang dipelajari dalam geografi. Tentu saja untuk mempelajari itu semua perlu ilmu-ilmu lain yang lebih spesifik agar lebih komprehensif dalam mengaplikasikan konsepnya.

            Cakupan materi yang sangat luas tentang geografi  sebagai ilmu dan pengetahuan merupakan bagian yang wajib diajarkan kepada anak-anak Indonesia terutama dalam pendidikan formal. Kurikulum pendidikan di Indonesia memasukkan geografi ke dalam rumpun ilmu-ilmu sosial (Jurusan IPS) yang dipelajari oleh siswa di jenjang SMA/SMK/MA. Selain itu, geografi tetap dapat dipelajari oleh siswa dengan jurusan ilmu-ilmu alam (Jurusan MIPA) melalui program lintas minat.

            Saya adalah seorang guru geografi di salah satu sekolah swasta yang ada di Kabupaten Tangerang dengan ciri khas kegiatan rutin bermuatan religi sebagai bekal dalam kehidupan sehari-hari siswa setelah lulus selain mendapatkan bekal ilmu dan pengetahuan umum. Perjalanan karir saya di sekolah ini baru seumur jagung, namun tidak menjadi hambatan bagi saya untuk maju dan berkembang. Selain menerima hak dan menjalankan tanggungjawab sebagai salah satu guru mata pelajaran geografi, saya diberi amanah lain yaitu sebagi pembimbing ekstrakurikuler geografi.

            Ektrakurikuler seperti yang pada umumnya dipahami oleh kita bersama adalah kegiatan tambahan di luar jam pelajaran siswa di sekolah dengan muatan skill maupun softskill yang tentunya sangat bermanfaat bagi siswa sesuai usia tumbuh dan kembangnya secara sosial dan emosional. Sementara hal yang berhubungan dengan mata pelajaran biasanya ada pembinaan khusus untuk persiapan olimpiade dan semacamnya. Ketika ada ekstrakurikuler geografi di sekolah ini dan ternyata saya yang bertanggungjawab menjadi pembimbingnya, yang saya lakukan adalah menerimanya dan kemudian bertanya karena heran, “Mata pelajaran ini dijadikan ektrakurikuler?”.

            Konsep yang saya siapkan untuk kegiatan ekstrakurikuler geografi pada awalnya adalah belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi setiap ajang olimpiade yang dapat diikuti oleh siswa melalui sekolah. Saya juga mulai berani menuliskan dalam bentuk draf kegiatan ini dan itu yang tentu saja masih merupakan bagian dari naluri dan imajinasi sebagai seorang guru geografi. Sekolah yang terbilang masih baru ini belum punya banyak pengalaman dalam bidang olimpiade geografi. Ini adalah pengalaman pertama bagi saya.

            Mata pelajaran geografi yang saya ampu ternyata memang terdaftar sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ini. Dua jam pertemuan dalam satu minggu, setiap hari Sabtu. Pada awal semester ganjil tahun ajaran 2018/2019 pendaftaran setiap bidang ektrakurikuler dibuka. Ada juga seorang siswa yang menemui saya secara langsung dan menyatakan ingin bergabung dalam ekstrakurikuler geografi. Tentu saja itu merupakan pemicu semangat yang baik sebagai permulaan. Saya bahkan sempat menyiapkan soal untuk seleksi penerimaan anggota ektrakurikuler. Hingga hari ini ternyata soal yang telah saya siapkan itu tidak terpakai.

            Anggota ektrakurikuler geografi pada pertemuan pertama adalah 4 orang. Satu orang adalah siswa yang menemui saya sebelum pendaftaran dibuka dan kemudian dia mengajak dua orang temannya, dan ditambah satu orang lagi yang juga secara sukarela bergabung dalam ektrakurikuler geografi. Pada pertemuan pertama itu saya banyak tersenyum, sama sekali tidak membahas soal-soal geografi. Kami menghabiskan waktu dua jam pertemuan dengan berkenalan dan menentukan beberapa peraturan untuk seterusnya ditaati bersama dan menerima ide-ide dari mereka untuk beberapa kegiatan yang juga akan dilakukan dalam ekstrakurikuler ini.

            Jumlah anggota yang tidak seperti dalam bayangan saya itu membuat saya harus mengatur ulang draf kegiatan. Setelah banyak membaca dan lebih banyak bertanya kemudian berdiskusi dengan beberapa rekan sejawat, akhirnya saya memutuskan fokus utama kegiatan ekstrakurikulier ini adalah olimpiade dan outdoor study. Fokus pada olimpiade berarti menyiapkan kemampuan dalam ranah koginitif atau pengetahuan siswa. Sedangkan outdoor study akan kami manfaatkan untuk belajar dari alam, bahwa geografi itu sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, sangat kontekstual.

            Pertemuan kedua, jumlah anggota bertambah menjadi tujuh orang. Saya semakin semangat menyampaikan materi. Semua anggota tampak dapat menerima materi dengan baik. Beberapa dari mereka mengajukan pertanyaan. Tetapi hampir setiap kali saya mengajukan pertanyaan, mereka memilih bungkam. Seketika saya merasa ini mirip dengan kasus pembelajaran di kelas-kelas yang rasanya rata di seluruh Indonesia. Anak-anak tidak mau menjawab karena tidak tahu jawabannya, tidak percaya diri, dan tidak mau dinilai sok tahu.

            Saya mulai paham bagaimana medan yang akan kami arungi bersama dalam kapal kecil di samudera yang luas. Pihak sekolah dan tentunya juga saya sebagai seorang pembimbing mempunyai target dan ekspektasi yang tinggi terhadap anak-anak. Sejak awal pertemuan, seringkali jam ekstrakurikuler ini menjadi kelas bimbingan belajar untuk anak-anak. Materi yang sudah diterima di kelas X mereka lupa, materi yang akan diberikan saat mereka kelas XII, belum mereka baca. Betapa pentingnya budaya membaca. Maka strategi yang saya pilih untuk mengatasi permasalahan materi adalah dengan memaksa mereka untuk membaca. Setiap soal yang saya berikan harus diselesaikan dengan terlebih dahulu membaca materinya. Mencari tahu melalui buku-buku yang mereka miliki, melalui buku di perpustakaan, dan yang paling mudah adalah melalui internet.

            Fokus pertama dalam kegiatan ekstrakurikuler geografi adalah olimpiade. Saya pernah mengajukan pertanyaan klasik pada anggota ekstrakurikuler, “Apakah kalian ingin mengikuti ajang olimpiade mulai dari tingkat kabupaten dan seterusnya?”. Tentu saja jawaban mereka ingin dan sangat ingin. Beberapa jawaban terdengar optimis, ada juga yang menjawab sekedarnya, dan ada juga yang merasa ragu akan mampu untuk mengikutinya. Ekstrakurikuler kami seperti bumi, berdinamika dan banyak masalah yang perlu dicari jalan keluarnya.

            Saya harus peka dalam menerima dan juga memberikan sinyal pada mereka. Terkadang saya merasa kami tidak berada pada frekuensi yang sama. Pada saat itulah saya merumuskan 4G, Geography Get Gold and Glory. Ternyata kata-kata itu bisa menjadi kekuatan untuk mereka yang pada akhirnya juga menjadi kebahagiaan bagi saya. Menjadi pembimbing ektrakurikuler dan juga guru di sekolah yang sama membuat saya membuat saya menjadi melankolis. Saya melihat sisi lain perjuangan anak-anak.

            Satu semester pertama kami terus rutin membahas soal dan penjelasan materinya. Jumlah anggota sekarang adalah sembilan orang. Selain kegiatan di kelas, kami juga membagi waktu untuk menjalankan fokus kedua yaitu outdoor study. Meskipun untuk kegiatan lapangan belum berlangsung secara maksimal, kami sempat melakukan pembuatan video mengenai geografi baik yang ada di wilayah Kabupaten Tangerang sebagai lingkungan tempat tinggal kami maupun video yang sifatnya media pembelajaran dan juga informasi tentang geografi. Ini adalah pencapaian pertama bagi beberapa orang anak yang mendaftarkan videonya. Saya sebagai guru pembimbing melakukan  segala sesuatunya semaksimal mungkin. Karena jika saya tidak maksimal, maka itu sama artinya dengan tidak menghargai usaha anak-anak. Penghargaan tidak harus berupa medali, uang, dan materi lainnya. Sanjungan, dukungan, saran, bahkan kritik yang membangun juga merupakan wujud penghargaan untuk setiap usaha yang dilakukan oleh anak-anak.

            Pada awal bulan Desember 2018 empat orang anggota ekstrakurikuler geografi dinyatakan lolos mengikuti seleksi tahap awal dan berhak mengikuti olimpiade tertulis pada tahun 2019 dalam olimpiade geografi SMA dalam wialayah Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Barat. Mereka mulai mengajukan tambahan jadwal belajar. Ini merupakan kemajuan yang baik. Anggota ekstrakurikuler yang semula berjumlah empat orang saja hingga kemudian akan mengikuti sebuah ajang perlombaan untuk pertama kalinya. Saya sungguh berbahagia.

            Ekstrakurikuler 4G di sekolah kami, sekarang sudah tidak seperti bimbingan belajar lagi. Tetapi sudah menjadi sebuah rumah, tempat bagi anak-anak anggota ektrakurikuler pulang dan menceritakan pembelajaran geografi di kelas sesungguhnya, mengerjakan PR, membahas soal ujian nasional, membahas soal olimpiade, membahas masalah-masalah lingkungan yang ada di bumi saat ini. Rasa jenuh dan lelah tentu saja akan ada, namun ketika kami merasakan hal itu, kami akan mengingat kalimat bijak dari Imam Syafi’i, “Jika kau tak tahan lelahnya belajar, maka kau harus tahan menanggung perihnya kebodohan.” Seperti bumi yang tidak bosan melakukan rotasi dan juga bumi yang pada saat bersamaan tidak lelah melakukann revolusi, kami tidak mengizinkan kata “menyerah” untuk hadir di antara kami.

Sunday, March 3, 2019

Ich bin Nicht Krank


“Nama kamu siapa?”
“......”
----
Pertemuan pertama kami terjadi sekitar satu minggu yang lalu. Saat itu aku sedang berada dalam antrian untuk mengulur waktu kematianku. Sedangkan dia, bermaksud untuk mempersingkat masa hidupnya. Apakah kau tahu berapa jumlah populasi manusia di dunia saat ini? Apakah kau tahu ada beragam cara yang dapat dilakukan untuk bertahan hidup atau mengakhirinya?. Dari sekian banyak manusia dan sekian banyak cara, kami bertemu. Takdir selalu saja terasa sebagai sebuah kebetulan, tapi sejak aku merasa perlu untuk lebih dekat dengan Tuhan, aku simpulkan bahwa pertemuan ini sudah diatur sejak lama. Kami bertemu di sebuah apotek, halaman parkirnya cukup luas. Apoteker yang bekerja disana masih muda, tidak cantik, tapi dia rapi dan harum. Tidak ada yang menarik disini, sampai akhirnya kami bertemu pandang.

“Sakit apa?”

Penduduk di negeri ini sangat pandai berbasa-basi. Aku sebagai pribumi rasanya memang sudah terlahir dengan bakat tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang standar, tidak kreatif, dan seringkali tidak menghargai perasaan orang lain. Kau mungkin sudah bisa membayangkan apa pertanyaan selanjutnya setelah dia menjawab dengan menyebutkan nama penyakitnya, yaitu sejak kapan? Kok bisa? Lalu rentetan harapan untuk kesembuhannya. Entahkah itu tulus atau tidak, yang jelas setelah kami berpisah, itu akan menjadi obrolan seperti obralan. Aku akan menceritakan pada orang lain tentang penyakitnya. Padahal kita tidak saling kenal.

Sayang sekali, dia tidak menjawab pertanyaanku. Bahkan tidak tampak ada respon yang ia berikan padaku. Sombong, ditanya begitu saja tidak mau menjawab. Padahal apa susahnya menjawab, dia pasti tahu kan apa penyakitnya? Lagipula aku malu, bagaimana bila ada yang memperhatikan bahwa aku dicuekin saat bertanya padanya. Atau jangan-jangan dia tidak bisa mendengar? Aku mulai berimajinasi sampai akhirnya tetap kesal meski berusaha memaklumi.

Tiba-tiba saja dia berdiri, aku terkejut. Majalah di tanganku hampir saja jatuh ke lantai. Aku kira dia akan pergi. Nomor antriannya dipanggil. Ternyata dia cukup tinggi. Kulitnya kuning langsat, bersih. Sepatu yang dipakainya tampak mahal, aku pernah lihat itu di instagram saat membuang waktu dan kuota internetku. Terlalu simpel untuk orang yang sedang sakit, di ruangan yang dingin ini dia tidak memakai jaket. Kaos yang dia kenakan berlengan pendek dan warnanya biru, bukan warna kesukaanku. Dari tangannya ia terlihat kurus, jemarinya menggenggam sapu tangan berwarna tosca. Selain wajahnya yang tampak lebih pucat dan kantung matanya yang agak gelap, dia tampak baik-baik saja.

Aku berusaha fokus pada majalah yang sedang kubaca, isinya tentang budidaya jagung, bagaimana caranya timun bisa berbuah lebih besar daripada timun pada umumnya,  bahkan majalah itu juga berisi tentang ikan cupang. Hanya beberapa menit, kemudian buyar. Terjadi keributan di depan. Antara apoteker perempuan itu dengan orang yang duduk di sampingku tadi. Mereka tampak beradu mulut, tapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Sampai akhirnya orang itu membalikkan badan menuju pintu keluar. Aku yakin tidak salah lihat, dia sedang menangis. Sebagian besar orang memandangi adegan itu dengan heran, penasaran, dan sebagian lainnya cuek saja.
Kau mungkin akan merasa ini remeh dan klasik seperti dalam adegan di sinetron yang bahkan ratingnya jelek, tapi ini benar-benar terjadi. Sapu tangannya yang berwarna tosca itu terjatuh. Demi melihat itu aku merasa ada dua sayap yang tumbuh pada setiap tulang belikatku. Tidak kusadari kapan aku beranjak dari kursi dan berpindah tempat ke arah pintu keluar, sapu tangan tosca itu kini ada ditanganku. Aku bahkan mengikutinya keluar, dia benar-benar seperti magnet sekalipun aku seperti besi berkarat. Nafasku tersengal, aku melihatnya hampir menyebrang.

“Hei, ini punya kamu”, aku berteriak.

Sejenak aku ragu, mungkin memang tidak seharusnya aku mengembalikan sapu tangan ini padanya. Dia bahkan tidak merespon saat kutanya, tidak menoleh saat kupanggil. Gerakan yang kulakukan secara tiba-tiba membuatku semakin lemas, aku mulai mimisan, buram tapi aku masih bisa melihat dia hampir sampai di seberang jalan, aku mendengar orang-orang berteriak, lalu “bragg!”.

----

Satu minggu berlalu, aku tidak ingat bagaimana persisnya kecelakaan itu terjadi. Lagipula aku sudah biasa berada disini, rumah sakit ini sudah seperti rumah pertama bagiku sejak dulu. Jika ditambah dengan koma selama beberapa hari, maka ini memang takdirku. Meski kali ini Tuhan memberikan sedikit bonus, ada yang sedang duduk menungguku, tidak seperti biasanya.

“Hai”, aku berusaha tersenyum.
“Maaf”.
“Bukan salahmu”.

Air mata mulai mengalir dari kedua matanya. Sebenarnya aku geram sekali, mengapa lelaki menjadi demikian cengengnya. Aku menghela nafas, kepalaku berdenyut agak nyeri. Sekali lagi kutanyakan,

“Nama kamu siapa?”
“....”

Bola matanya bergerak kesana-kemari, ada yang lain di matanya. Bukan, bukan ada pelangi. Tetapi seperti ada malam pada jalan panjang yang lengang dan sendirian. Pada mata itu juga tampak malam yang dingin, melihatnya saja aku menggigil. Luka macam apa yang dia derita?, sehingga burung berhenti berkicau, nektar bunga menjadi hambar, dan angin melaluinya begitu saja tanpa sapa.

“Aku Lania, dengan limfoma. Sudah stadium akhir”.

Semoga kalimatku ini membuatnya merasa lebih baik. Ternyata itu cukup berhasil, dia mengangkat wajahnya setelah sejak tadi menunduk sampai akhirnya menatapku.

“Aku Abelard, dan aku ODHA”.
“....”

Kami terus saling menatap selama beberapa saat. Abelard tersenyum dan aku balas dengan senyum yang lebih lebar lagi. Pukul 09.00 pagi di kamar nomor 143, matahari lebih hangat dari biasanya, tirai bergerak lembut terkena angin, Abelard menghapus air mataku menggunakan saputangan miliknya yang tidak sempat aku kembalikan waktu itu. Takdir.
**

Note:
Setelah menulis cerita ini, Lania kembali berjuang melawan kankernya sampai akhirnya ia harus berhenti, karena Tuhan memanggilnya. Abelard sangat bersedih setelah Lania pergi, karena mereka semakin akrab dalam beberapa bulan sebelum kepergian Lania. Sekarang Abelard masih berjuang, sebagian besar waktunya digunakan untuk menulis dan menjadi motivator bagi ODHA yang baru mengetahui statusnya.
**

Dari notesofgea:
Ini bukan kisah nyata. Semuanya murni dari luapan rindu ingin menulis. Meski tulisan ini tidak rapi dan biasa saja, semoga menjadi motivasi untuk mulai membaca dan menulis dalam artian yang sesungguhnya. 
Apakah kau tidak penasaran dengan "Limfoma" atau "ODHA"?.
 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design