Thursday, August 27, 2020

Simsalabim

Ada masa dimana musim penghujan datang terlambat, atau kemarau terlalu betah untuk berlalu.  Kamu mungkin juga tahu rasanya bubur ayam yang diaduk akan lebih nikmat, atau malah jadi koproh dan menghilangkan selera makan. Tentang musim yang berganti bukan karena simsalabim, tentang bubur ayam yang bisa kita tentukan cara menikmatinya, adalah dua hal yang berbanding terbalik dengan kenyaatan yang sedang kuhadapi. Tahun ini aku berusia 18 tahun, hal yang seharusnya bisa kupilih untuk dinikmati malah di-simsalabim oleh keadaan.

Nduk, kami itu sudah dewasa. Sudah saatnya untuk menikah!”.

Sejujurnya aku sudah menduga, tahun ini ibu ingin aku menikah. Sama seperti Maryam, Lastri, atau bahkan Aminah yang tampak bahagia karena tidak perlu lanjut sekolah lagi karena menikah. Tidak tanggung-tanggung, suaminya adalah juragan tambak di desa kami. Istri ketiga, tapi istri yang lainnya sudah tua. Aminah bilang, rezeki tidak akan kemana.

“Aku pengen kuliah, bu”.

Tatapan ibu kemudian menjadi lebih tajam, helaan nafasnya terdengar menjengkelkan.

“Ibu. Kalau aku kuliah, nanti bisa punya ijazah dan kerja di kota”.

“Kamu mau kerja apa? Sekarang ini cari kerjaan susah. Kalau menikah, bisa di rumah aja ngurus suami, segala kebutuhan sudah tercukupi”.

Aku harus melawan. “Nanti ibu, kalau aku sudah punya ijazah…”.

“Sudah, sudah. Jangan ngeyel!”.

Selanjutnya masih aku dengar ibu yang terus mengomel, membahas tentang keturunan, harta warisan, cerita tentang bapak, sampai pada acara pesta panen bulan depan. Ibu khawatir kalau sampai tiba waktunya acara itu dan aku belum juga dilamar orang, kata ibu itu aib. Kupandangi punggung ibu yang bergerak menjauh menuju sumur untuk mengambil air. Badannya masih tegap, kaki dan tangannya kokoh, sayang hatinya juga keras.

Aku urungkan niatku untuk makan pagi ini, tahu goreng dan sayur bayam biasanya adalah menu favoritku tapi pagi ini beda, mendadak hilang nafsu makanku. Lagipula kalau aku makan pagi ini, bisa-bisa siang nanti aku sudah kelaparan lagi dan tidak ada apa-apa yang bisa dimakan. Semenjak bapak meninggal, kehidupan semakin sulit. Ibu hanya berjualan daun ubi untuk disayur, padalah orang di desa kami juga rata-rata menanam ubi untuk kebutuhan pangan. Ibu harus tahu, aku ingin sekolah dan itu penting untuk kami.

Panas terik dan angin berhembus kencang. Kemarau sedang menuju puncaknya. Setelah dinyatakan lulus dari sekolah menengah atas satu-satunya yang ada di kecamatan, rasanya aku semakin kemrungsung, panasnya luar dan dalam. Betapa sia-sianya kalau aku tidak lanjut sekolah, perjuanganku selama ini menempuh perjalanan panjang hanya untuk belajar, memakai seragam yang itu-itu saja, dan nasihat dari bapak dan ibu guruku.

“Hanin nilai kamu bagus, harus lanjut kuliah ke kota, ya!”. Begitu kata Bu Bhakti, guru panutanku. Betapa bungahnya aku mendapat dukungan dari seorang guru yang sangat kreatif, sabar, dan baik seperti Bu Bhakti.

Tapi sekarang nyatanya, apa? Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk lanjut kuliah, pastinya juga ibu tidak akan punya cukup uang untuk membiayaiku, belum lagi di pesta panen bulan depan, orang-orang akan mulai bergunjing kalau melihat anak seusiaku belum nikah juga. Aku memikirkan banyak cara untuk kabur, dari pesta panen, dari desa ini, dan dari ibu.

Sambil duduk-duduk di halaman rumah, di bawah pohon jambu air yang sedang tidak berbuah, aku bisa melihat debu berterbangan, daun kering berserakan dan akan disapu oleh ibu-ibu sore nanti sambil mengobrol, membahas tentang Pak RT yang nikah lagi atau tentang bantuan dari pemerintah yang selalu kurang saja jumlahnya. Matahari beranjak naik, aku melihat seseorang datang memasuki halaman rumah kami yang cukup hijau karena ibu rajin menanam bunga, tapi aku tidak rajin.

“Nin, ibumu ada?”, ternyata itu adalah Mas Windu. Anak Pak Carik, umurnya hanya dua tahun lebih tua dari aku.

“Ada, mas. Sedang ke sumur. Aku panggilkan, ya”.

Ndak usah, Nin. Aku kesini mau ketemu kamu”.

“Aku, mas? Ada apa?”. Baru kali ini ada tamu datang dan mencariku, bukan mencari bapak dan menagih hutang-hutangnya.

“Ini ada titipan dari bapak, untuk dek Hanin”.

“…..”

Setelah menerima “hadiah” dari Pak Carik yang dititipkan pada Mas Windu, aku merasa suhu udara semakin panas, mataku juga panas dan benar saja keluarlah air mataku. Sambil membuka hadiah itu, aku terus menangis sampai bahuku terguncang dan ingusku juga ikut turun naik. Ibu yang baru kembali dari sumur dan melihatku menangis sesegukan di depan rumah langsung lari tergopoh.

Ngopo? Kenapa nangis? Kamu kenapa, nduk?”. Ibu sibuk mengusap-usap kepalaku, bergantian menggenggam jemariku sampai terasa telapak tangannya yang kasar itu. Air mataku semakin deras.

“Ini apa?”, ibu melihat dan membuka barang yang sedari tadi kupengang, kemudian memandangku dengan tatapan tidak percaya. Ibu memelukku.

“Ibu… Aku mau menikah sama Mas Windu”.

(Sidoarjo, 27 Agustus 2020)

 =================================================================

Ini saya tulis setelah mata pedih karena mencari lowongan pekerjaan. Saya adalah satu dari 6,8 juta manusia di Indonesia yang sedang menganggur. Seringkali kita berusaha memberikan yang terbaik dengan tulus hati, tapi Allah berkehendak lain. Kemudian kita menjadi kecewa karena merasa Allah tidak adil. Padahal jelas nian sering kita dengar, Allah memberikan yang terbaik untuk kita sesuai dengan kebutuhan kita dan tentunya perlu nian untuk melihat ke dalam diri, benarkah sudah maksimal? Benarkah tulus?.

Tulisan ini juga seperti biasa, meluahkan isi kepala yang terlalu random. Prihatin pada kondisi dunia pendidikan saat ini, pernikahan dini, pertentangan pendapat antara anak dan orang tua, kondisi yang mungkin relevan dengan kehidupan sehari-hari, sampai pada pilihan realistis dalam hidup.

Koproh : jorok (Jawa)

Nduk  : panggilan untuk anak perempuan (Jawa)

Bungah: bahagia

Ngopo  : mengapa/kenapa (Jawa)

Kemrungsung: bersungut-sungut/terburu-buru

        

Apa kamu penasaran hadiah apa yang Mas Windu berikan untuk Hanin? Semoga iya, hehehe. Jawabannya adalah, Kain batik dengan motif Sido Asih. Pak Carik ingin melamar Hanin untuk Mas Windu. Kenapa diterima? Padahal Hanin sangat ingin lanjut kuliah. Menurutmu, kenapa? ðŸ˜Š

 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design