Ada masa dimana musim penghujan datang terlambat, atau kemarau
terlalu betah untuk berlalu. Kamu mungkin juga tahu rasanya bubur ayam
yang diaduk akan lebih nikmat, atau malah jadi koproh dan
menghilangkan selera makan. Tentang musim yang berganti bukan karena
simsalabim, tentang bubur ayam yang bisa kita tentukan cara menikmatinya,
adalah dua hal yang berbanding terbalik dengan kenyaatan yang sedang kuhadapi.
Tahun ini aku berusia 18 tahun, hal yang seharusnya bisa kupilih untuk
dinikmati malah di-simsalabim oleh keadaan.
“Nduk, kami itu sudah dewasa. Sudah saatnya untuk
menikah!”.
Sejujurnya aku sudah menduga, tahun ini ibu ingin aku menikah.
Sama seperti Maryam, Lastri, atau bahkan Aminah yang tampak bahagia karena
tidak perlu lanjut sekolah lagi karena menikah. Tidak tanggung-tanggung,
suaminya adalah juragan tambak di desa kami. Istri ketiga, tapi istri yang
lainnya sudah tua. Aminah bilang, rezeki tidak akan kemana.
“Aku pengen kuliah, bu”.
Tatapan ibu kemudian menjadi lebih tajam, helaan nafasnya
terdengar menjengkelkan.
“Ibu. Kalau aku kuliah, nanti bisa punya ijazah dan kerja di kota”.
“Kamu mau kerja apa? Sekarang ini cari kerjaan susah. Kalau
menikah, bisa di rumah aja ngurus suami, segala kebutuhan sudah
tercukupi”.
Aku harus melawan. “Nanti ibu, kalau aku sudah punya ijazah…”.
“Sudah, sudah. Jangan ngeyel!”.
Selanjutnya masih aku dengar ibu yang terus mengomel, membahas
tentang keturunan, harta warisan, cerita tentang bapak, sampai pada acara pesta
panen bulan depan. Ibu khawatir kalau sampai tiba waktunya acara itu dan aku
belum juga dilamar orang, kata ibu itu aib. Kupandangi punggung ibu yang
bergerak menjauh menuju sumur untuk mengambil air. Badannya masih tegap, kaki
dan tangannya kokoh, sayang hatinya juga keras.
Aku urungkan niatku untuk makan pagi ini, tahu goreng dan sayur
bayam biasanya adalah menu favoritku tapi pagi ini beda, mendadak hilang nafsu makanku.
Lagipula kalau aku makan pagi ini, bisa-bisa siang nanti aku sudah kelaparan
lagi dan tidak ada apa-apa yang bisa dimakan. Semenjak bapak meninggal,
kehidupan semakin sulit. Ibu hanya berjualan daun ubi untuk disayur, padalah
orang di desa kami juga rata-rata menanam ubi untuk kebutuhan pangan. Ibu harus
tahu, aku ingin sekolah dan itu penting untuk kami.
Panas terik dan angin berhembus kencang. Kemarau sedang menuju
puncaknya. Setelah dinyatakan lulus dari sekolah menengah atas satu-satunya
yang ada di kecamatan, rasanya aku semakin kemrungsung, panasnya
luar dan dalam. Betapa sia-sianya kalau aku tidak lanjut sekolah, perjuanganku
selama ini menempuh perjalanan panjang hanya untuk belajar, memakai seragam
yang itu-itu saja, dan nasihat dari bapak dan ibu guruku.
“Hanin nilai kamu bagus, harus lanjut kuliah ke kota, ya!”. Begitu
kata Bu Bhakti, guru panutanku. Betapa bungahnya aku mendapat
dukungan dari seorang guru yang sangat kreatif, sabar, dan baik seperti Bu
Bhakti.
Tapi sekarang nyatanya, apa? Aku tidak tahu bagaimana caranya
untuk lanjut kuliah, pastinya juga ibu tidak akan punya cukup uang untuk
membiayaiku, belum lagi di pesta panen bulan depan, orang-orang akan mulai
bergunjing kalau melihat anak seusiaku belum nikah juga. Aku memikirkan banyak
cara untuk kabur, dari pesta panen, dari desa ini, dan dari ibu.
Sambil duduk-duduk di halaman rumah, di bawah pohon jambu air yang
sedang tidak berbuah, aku bisa melihat debu berterbangan, daun kering
berserakan dan akan disapu oleh ibu-ibu sore nanti sambil mengobrol, membahas
tentang Pak RT yang nikah lagi atau tentang bantuan dari pemerintah yang selalu
kurang saja jumlahnya. Matahari beranjak naik, aku melihat seseorang datang
memasuki halaman rumah kami yang cukup hijau karena ibu rajin menanam bunga,
tapi aku tidak rajin.
“Nin, ibumu ada?”, ternyata itu adalah Mas Windu. Anak Pak Carik,
umurnya hanya dua tahun lebih tua dari aku.
“Ada, mas. Sedang ke sumur. Aku panggilkan, ya”.
“Ndak usah, Nin. Aku kesini mau ketemu kamu”.
“Aku, mas? Ada apa?”. Baru kali ini ada tamu datang dan mencariku,
bukan mencari bapak dan menagih hutang-hutangnya.
“Ini ada titipan dari bapak, untuk dek Hanin”.
“…..”
Setelah menerima “hadiah” dari Pak Carik yang dititipkan pada Mas
Windu, aku merasa suhu udara semakin panas, mataku juga panas dan benar saja
keluarlah air mataku. Sambil membuka hadiah itu, aku terus menangis sampai
bahuku terguncang dan ingusku juga ikut turun naik. Ibu yang baru kembali dari
sumur dan melihatku menangis sesegukan di depan rumah langsung lari tergopoh.
“Ngopo? Kenapa nangis? Kamu kenapa, nduk?”. Ibu
sibuk mengusap-usap kepalaku, bergantian menggenggam jemariku sampai terasa
telapak tangannya yang kasar itu. Air mataku semakin deras.
“Ini apa?”, ibu melihat dan membuka barang yang sedari tadi
kupengang, kemudian memandangku dengan tatapan tidak percaya. Ibu memelukku.
“Ibu… Aku mau menikah sama Mas Windu”.
(Sidoarjo, 27 Agustus 2020)
=================================================================
Ini saya tulis setelah mata pedih karena mencari lowongan
pekerjaan. Saya adalah satu dari 6,8 juta manusia di Indonesia yang sedang
menganggur. Seringkali kita berusaha memberikan yang terbaik dengan tulus hati,
tapi Allah berkehendak lain. Kemudian kita menjadi kecewa karena merasa Allah
tidak adil. Padahal jelas nian sering kita dengar, Allah memberikan yang
terbaik untuk kita sesuai dengan kebutuhan kita dan tentunya perlu nian untuk
melihat ke dalam diri, benarkah sudah maksimal? Benarkah tulus?.
Tulisan ini juga seperti biasa, meluahkan isi kepala yang terlalu
random. Prihatin pada kondisi dunia pendidikan saat ini, pernikahan dini,
pertentangan pendapat antara anak dan orang tua, kondisi yang mungkin relevan
dengan kehidupan sehari-hari, sampai pada pilihan realistis dalam hidup.
Koproh :
jorok (Jawa) Nduk :
panggilan untuk anak perempuan (Jawa) Bungah:
bahagia Ngopo :
mengapa/kenapa (Jawa) Kemrungsung: bersungut-sungut/terburu-buru |
Apa kamu penasaran hadiah apa yang Mas Windu berikan untuk Hanin?
Semoga iya, hehehe. Jawabannya adalah, Kain batik dengan motif Sido Asih. Pak
Carik ingin melamar Hanin untuk Mas Windu. Kenapa diterima? Padahal Hanin
sangat ingin lanjut kuliah. Menurutmu, kenapa? 😊