Patah hati adalah suatu peristiwa…
apa sih, susah nian aku deskripsikan. Sebagian besar orang-orang yang aku kenal
akrab, pernah patah hati karena berbagai hal. Aku pun pernah dan itu membuatku
sadar memang benar rapuh nian hati ini. Makan cilok, tinggal satu yang paling
besar dan isi telur itu sengaja dimakan terakhir, tiba-tiba tusuknya ndak kuat dan cilok jatuh ke tanah. Begitu
saja bisa patah hatiku.
Bagaimana kalau hal lainnya
tentang perasaan, apa aku mampu menghadapinya?
Meskipun sadar betul, setiap
harapan akan berlabuh pada “sesuai” atau “tidak sesuai” dengan kenyataan. Pernah
aku ingin nian lulus ujian (ah ini sudah terlalu sering aku ceritakan), seperti
biasa aku sangat giat, menambah jam belajar, mengurangi jam yang tidak penting,
bahkan makan pun bukan hal yang penting saat itu. Aku tahu hasil ujian hanya akan
ada dua yaitu lulus atau tidak lulus. Ternyata aku tidak lulus, nah disitu
rasanya berat nian. Telapak tanganku panas dingin, lutut lemas, telingaku panas,
serta berbagai perasaan tidak nyaman lainnya. Setelah aku berusaha dan berjuang
begitu lama, hasilnya tidak sesuai dengan harapanku.
Itu adalah hasil terbaik untukmu
dari Allah. Kalimat itu, selalu aku gunakan untuk menguatkan hati. Tapi memanglah
imanku ini bukan lagi seperti wahana roler
coaster, ini sudah seperti histeria di dufan. Naik turunnya sama-sama
mendebarkan. Aku malu.
Maaf kamu belum lulus… maaf kamu
terlalu baik buatku… maaf kita tidak bisa lanjutkan cerita ini… maaf saldo anda
tidak cukup… maaf kamu terlambat… maaf.
Meskipun diawali dengan maaf,
tetap saja akhirnya membuat patah hati. Pemberatnya lagi adalah ketika
prosesnya lama. Deritanya karena patah hati akan semakin terasa. Padahal ketika
jatuh hati, aku begitu menggebu dan giat melakukan ini dan itu. Saat patah hati,
sulit lagi untuk bangkit. Bahkan ada juga yang sampai putus asa. Semoga kita tidak
begitu. Karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak suka pada hamba-Nya yang
berputus asa.
Tapi ada lagi macam anugerah yang
Allah berikan, yaitu jatuh dan patah pada saat yang hampir bersamaan. Misalkan,
aku sudah menyiapkan uang untuk beli cilok favorit di sore hari yang mendung
dan harus berjalan dengan cepat agar segera membeli cilok dan tidak kehujanan. Ternyata
pedagang ciloknya sedang libur, aku kecewa. Di perjalanan pulang, kehujanan
pula. Semakin kecewa. Tapi sesampainya di rumah, kisahku hanya sebatas… “Aku
tadi udah buru-buru jalan kesana, eh tutuuup” atau “Kesalnya, cilok ndak dapat malah kehujanan pula”. Pendek
saja kemudian berlalu.
Bagaimanapun aku siapkan diriku,
tetap saja ketika sampai masanya hatiku harus patah atau aku jatuh hati, aku tetap
terkejut. Tapi kembali lagi pada pertanyaan di atas, apakah aku mampu
menghadapinya?
Kalaulah tidak mampu, terus
kenapa sampai hari ini masih bisa tertawa lagi? Setelah aku lihat lagi, aku
baca ulang setiap catatan harianku, aku lihat tanda untuk momen penting,
ternyata Allah begitu baiknya memapukan aku. Kalian juga, seperti yang sudah
banyak dan sering orang bilang, patah hati bukan alasan menjadikan kita keras
hati atau bahkan tidak punya hati. Baik jatuh hati maupun patah hati, keduanya
adalah bukti kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala. Cepat atau lambat, kita
akan melaluinya. Kalau jatuh hati bisa membuat kita lebih baik dan patah hati
bisa kita lalui dengan cepat, alangkah ruginya kalau kita terlena pada merah
merona jatuh hati dan/atau terlarut pada kelabunya patah hati.
Awal 2018 lalu aku menulis, patah
hatiku sebab tidak lulus ujian semacam tidak ingin ikut ujian apapun lagi. tapi
banyak orang yang mendukungku, dan aku hidupkan kembali semangatku. Kemudian Allah
berikan aku kelulusan. Kemudian di awal 2019 hatiku ceria, meskipun
sepanjang tahun 2019 aku juga jatuh dan
patah berulang kali. Nyatanya aku sampai juga di awal tahun 2020 sampai hari-hari
terus berlalu. Jatuh hatiku…
0 komentar:
Post a Comment