“Bu, nanti kalau aku sudah besar, aku mau nikahnya sama Mas Yasa, bu”.
Tiga belas
tahun yang lalu, di dapur kami yang berwarna hijau cat dindingnya. Aku membuat
ibu tersenyum geli karena pernyataanku. Ibu bilang aku terlalu kecil untuk
membicarakan perihal cinta, apalagi sampai pernikahan begitu. Walaupun mataku
sudah kubulatkan dengan sorot mata yang kurasa tajam, ibu tetap tidak percaya. Kata
ibu, sepuluh tahun lagi saat aku sudah dewasa, mungkin Mas Yasa sudah menikah
dan punya anak. Usiaku saat itu baru empat belas tahun. Benar saja aku masih
anak-anak, nyatanya harum kue bolu buatan ibu saat itu segera mengalihkan
perhatianku.
Mas Yasa
orangnya baik. Pagi-pagi di halaman rumahnya, ia menyiram bunga yang
ditanam oleh Bunda Windu, ibunya Mas
Yasa. Setiap kali bunga-bunga itu mekar, aku membayangkan itu adalah senyum Mas
Yasa. Aku hanya bisa melihat Mas Yasa sebentar saja, karena bapak selalu ngebut
kalau lewat di depan rumah mereka. Waktu pulang sekolah, aku tidak dijemput
bapak. Naik angkot sampai depan gang, maka aku bisa pelan-pelan lewat di depan
rumah Mas Yasa. Tapi biasanya dia belum pulang dari sekolah. Aku ingin segera
SMA, supaya bisa sekolah bareng Mas Yasa. kami hanya terpaut jarak usia satu tahun saja.
Saat
menjelang ujian sekolah. Bapak dan Ibu semakin sering menasihati untuk rajin
belajar. Bapak juga mendaftarkan aku untuk mengikuti beberapa les, katanya
supaya nilaiku meningkat dan aku bisa masuk di sekolah favorit. Aku tidak punya
bakat sama sekali dalam bidang akademik, nilaiku terlalu biasa saja untuk
memenuhi mimpi bapak. Lagipula aku ingin sekolah di daerah kami saja, tentu
saja supaya bisa lihat Mas Yasa setiap hari. Aku ingin jadi menantu Bunda Windu. Tapi
sebelum itu, aku ingin Mas Yasa mengenaliku.
“El, sedang apa?”
“.....”
“El, Elegi?”
“Eee, pulang les, Mas. Nunggu angkot”
“Tidak dijemput bapak? Mau pulang bareng Mas
Yasa?”.
Hari
itu, kamis satu minggu menjelang ujian nasional dimulai. Aku duduk di belakang
boncengan Mas Yasa. Motornya beda dengan punya bapak, tidak bisa mengebut dan
kalau bisa tolong jangan ngebut. Aku melayang-layang, pipiku mungkin merona
karena rasanya hangat. Mas Yasa memang baik, dia bilang aku harus rajin belajar
supaya nilai-nilaiku menjadi lebih baik dan bisa lulus ujian. Aku seperti
pernah mendengar nasihat seperti itu, tapi mendengarnya langsung dari Mas Yasa
rasanya berbeda sekali. Mulai detik itu, aku berjanji akan sungguh-sungguh
belajar. Ternyata ia kenal aku, ternyata ia juga tahu aku selalu melihatnya
satiap pagi.
Persiapan
ujian benar-benar menguras tenagaku. Rasanya setiap pulang sekolah bahuku
pegal-pegal, mataku berat, dan kakiku harus diseret untuk melangkah pulang. Aku
belajar dengan giat, mungkin aku akan mendapat penghargaan dari pemerintah
sebegai siswa teladan. Ibu prihatin dengan keadaanku sehingga menyarankan bapak
untuk mengantar dan menjemputku menggunakan mobil saja, jadi aku bisa istirahat
dalam perjalanan. Aku bersyukur lahir di dalam keluarga ini.
Seandainya
saja aku tahu bahwa kamis waktu itu adalah pertemuan terakhir dengan Mas Yasa,
pasti aku akan... ah aku tidak tahu akan melakukan apa. Setelah ujian nasional
selesai, aku baru tahu bahwa Mas Yasa dan keluarganya sudah pindah entah
kemana. Menurut kabar yang beredar adalah orangtuanya bercerai. Aku tidak
terlalu mengerti. Saat hal itu kutanyakan pada ibu, aku diingatkan agar jangan
ikut-ikutan mengenai kabar burung tersebut. Mas Yasa harus tahu, aku tidak
masalah dengan kabar itu dan aku juga ingin bilang bahwa aku lulus dengan nilai
yang baik.
Setelah
tiga belas tahun berlalu, aku sudah mulai melupakan Mas Yasa. Mungkin itu karena
cinta monyet. Bapak bahkan sekarang sedang main catur bersama Rajeg, teman
kerjaku yang berkali-kali bilang bahwa suatu hari ia akan melamarku. Ya,
sekitar empat kali sejak kami kuliah di jurusan dan kampus yang sama bahkan
sekarang pun kami bekerja di lingkungan yang sama. Kata bapak, kalau saja Rajeg
bisa sering-sering mengalahkan bapak dalam bermain catur, mungkin saja ia akan
diterima sebagai menantu. Tapi Rajeg selalu mengelak, dia bilang harus mengalah
pada yang tua. Suasana rumah jadi lebih ceria kalau Rajeg datang, dia humoris.
“El, kamu belum ingin menikah?”
“Ingin, bu. Tapi
belum ketemu aja sama yang pas”
“Kalau nunggu yang
begitu, mau sampai kapan?”
“Sebentar lagi
ibuku sayang. Sabar ya, bu”.
Dapur
kami sekarang catnya sudah tidak berwarna hijau, tapi kuning gading. Ibu ingin
suasana yang lebih cerah. Karena anak satu-satunya belum bisa membuat hati ibu
cerah, begitu alasannya waktu kutanya kenapa harus ganti warna. Aku bukannya
tidak ingin menikah. Tapi pada setiap pinangan yang datang, ada saja yang
membuatku merasa sebaiknya jangan kuterima dulu. Mungkin aku butuh liburan dan
aku akan mengajukan cuti tambahan supaya aku bisa lebih leluasa. Aku juga tidak
ingin menjadi beban untuk bapak dan ibu.
Aku
memilih Belitung untuk mengisi liburanku. Bapak dan ibu mengantarku ke bandara,
kami berfoto sebelum aku berangkat. Kemudian ibu juga berkelakar siapa tahu
liburan ini aku bertemu dengan jodohku. Aku aminkan saja, supaya ibu
benar-benar mengizinkanku liburan sendirian seperti ini. Aku hanya akan pergi
selama tiga hari dua malam, tetapi mereka dengan penuh cinta memperlakukan aku
seperti halnya akan pergi selama satu minggu, terlihat dari bekal makanan yang
mereka jejalkan di dalam tasku.
Ternyata
bekal yang kubawa benar-benar berguna. Aku perlu itu semua untuk mengisi
tenagaku saat menikmati indahnya Pulau Lengkuas. Aku berkeliling pulau,
mengunjungi mercusuar yang konon usianya sudah ratusan tahun. Air lautnya
sangat jernih, sayang sekali bila datang ke Pulau Lengkuas tapi tidak
snorkling. Aku mengambil banyak gambar sebagai kenang-kenangan, seperti yang
pernah dikatakan seseorang bahwa satu gambar bisa berarti seribu kata. Dari ratusan
gambar yang kuambil, beberapa orang terekam di dalamnya. Aku mulai tertarik
karena ingat perkataan ibu, siapa tahu ketemu jodoh.
“Ketemu jodohnya, El?”
“Ibu, El itu pergi
kesana untuk liburan. Bukan cari jodoh”.
Akhirnya hanya
itu saja jawaban yang dapat kuberikan untuk ibu. Rajeg juga ikut-ikutan
meledekku dengan dalih meminta oleh-oleh, malam ini dia datang ke rumah. Sebagai
pembalasan aku memamerkan foto-foto yang kuambil selama aku liburan. Rajeg memuji
kemampuan fotografiku, aku jadi jumawa sehingga dengan percaya diri aku
sesumbar seharusnya fotoku layak tampil dalam wajalah wisata. Bapak sampai
tersedak saat aku bilang begitu. Kami semua tertawa, malam itu aku melupakan
perihal jodoh yang selalu dibahas sejak tadi.
“Halo, selamat pagi. Dengan Mbak Elegi”
“Iya, saya. Maaf, ada perlu apa?”
“....”
Jangankan kau,
kebetulan semacam ini bahkan akupun tidak percaya. Jadi minggu lalu aku
benar-benar mengirimkan beberapa foto yang kuambil di Pulau Lengkuas dan baru
saja aku menerima telpon bahwa fotoku dimuat di salah satu majalah wisata. Sebagai
apresiasi mereka memberikan tiket bermalam di salah satu hotel ternama di kota
kami. Aku sangat antusias sekali sampai tidak ingin lanjut tidur lagi. Karena masih
sangat pagi aku memutuskan untuk berolah raga, menghirup udara segar pagi ini.
Sudah banyak
yang berubah di lingkungan rumah kami. Rasanya aku terlalu cepat tumbuh. Lampu
jalan masih menyala. Kursi di taman kompleks perumahan kami mulai basah karena
embun. Aku berhenti di depan rumah yang pernah ditempati oleh Mas Yasa. Setiap adegan
berkelebatan, tentang cinta pertamaku, cinta monyetku. Aku ingat sering membuka
helm saat berangkat sekolah demi sedikit melihat ia sedang menyiram bunga. Atau
aku pura-pura membenarkan tali sepatu saat sore hari di depan rumahnya. Mas
Yasa, sekarang dimana?.
Aku tahu bahwa
aku beruntung karena bisa mendapatkan hadiah dari perbuatan isengku mengirimkan
foto. Tapi kini aku tahu bahwa ternyata aku sangat beruntung. Pertanyaanku sebelumnya
langsung terjawab.
“Apa kabar, Elegi?”
“..... Mas Yasa”
Mas Yasa baru
saja mutasi kerja kembali ke kota kami. Ia bekerja di hotel tempat aku mendapat
hadiah menginap gratis. Dari penampilan dan perlakuan karyawan hotel
terhadapnya, aku bisa menilai bahwa Mas Yasa adalah orang yang cukup penting
disini. Aku tidak melihat ada cincin pada setiap jari Mas Yasa. Entah mengapa
aku tiba-tiba bernafas lega. Obrolan kami tidak berlangsung lama, karena ia harus
melanjutkan pekerjaannya.
“Mas simpan nomormu ya, El. Besok malam mas
telpon”.
Dulu aku
pernah belajar mati-matian hanya karena Mas Yasa yang meminta. Maka saat ia
meminta nomorku dan berjanji akan menelpon, aku akan menunggu. Aku bahkan sudah
menunggu selama beberapa hari sampai akhirnya belasan tahun berlalu. Ternyata memang
ada seseorang di hatiku. Ada yang belum selesai. Aku mengangguk sebagai
tanggapan ada pernyataan Mas Yasa. Kami saling berpamitan, kutambahkan juga
bahwa aku akan menunggu telpon darinya.
Aku ketik
pesan untuk ibu... “Bu, ingat Mas Yasa?”.
---
Dari Notesofgea:
Aku mulai menulis karena keresahan, pada setiap kalimat yang menuntutku menjawab dengan yakin "Sudahkan jujur pada diri sendiri?". Menjawab itu, bukan perkara mudah.
Kemudian, apa kau tahu apa artinya Elegi?. Carilah artinya.
Bila kau begitu senggang membaca tulisan ini, ketiklah komentar dan sarankan beberapa hal untukku.