Saturday, April 20, 2019

ELEGI


“Bu, nanti kalau aku sudah besar, aku mau nikahnya sama Mas Yasa, bu”.

Tiga belas tahun yang lalu, di dapur kami yang berwarna hijau cat dindingnya. Aku membuat ibu tersenyum geli karena pernyataanku. Ibu bilang aku terlalu kecil untuk membicarakan perihal cinta, apalagi sampai pernikahan begitu. Walaupun mataku sudah kubulatkan dengan sorot mata yang kurasa tajam, ibu tetap tidak percaya. Kata ibu, sepuluh tahun lagi saat aku sudah dewasa, mungkin Mas Yasa sudah menikah dan punya anak. Usiaku saat itu baru empat belas tahun. Benar saja aku masih anak-anak, nyatanya harum kue bolu buatan ibu saat itu segera mengalihkan perhatianku.

Mas Yasa orangnya baik. Pagi-pagi di halaman rumahnya, ia menyiram bunga  yang ditanam  oleh Bunda Windu, ibunya Mas Yasa. Setiap kali bunga-bunga itu mekar, aku membayangkan itu adalah senyum Mas Yasa. Aku hanya bisa melihat Mas Yasa sebentar saja, karena bapak selalu ngebut kalau lewat di depan rumah mereka. Waktu pulang sekolah, aku tidak dijemput bapak. Naik angkot sampai depan gang, maka aku bisa pelan-pelan lewat di depan rumah Mas Yasa. Tapi biasanya dia belum pulang dari sekolah. Aku ingin segera SMA, supaya bisa sekolah bareng Mas Yasa. kami hanya terpaut jarak usia satu tahun saja.

        Saat menjelang ujian sekolah. Bapak dan Ibu semakin sering menasihati untuk rajin belajar. Bapak juga mendaftarkan aku untuk mengikuti beberapa les, katanya supaya nilaiku meningkat dan aku bisa masuk di sekolah favorit. Aku tidak punya bakat sama sekali dalam bidang akademik, nilaiku terlalu biasa saja untuk memenuhi mimpi bapak. Lagipula aku ingin sekolah di daerah kami saja, tentu saja supaya bisa lihat Mas Yasa setiap hari. Aku ingin jadi menantu Bunda Windu. Tapi sebelum itu, aku ingin Mas Yasa mengenaliku.

“El, sedang apa?”
“.....”
“El, Elegi?”
“Eee, pulang les, Mas. Nunggu angkot”
“Tidak dijemput bapak? Mau pulang bareng Mas Yasa?”.

       Hari itu, kamis satu minggu menjelang ujian nasional dimulai. Aku duduk di belakang boncengan Mas Yasa. Motornya beda dengan punya bapak, tidak bisa mengebut dan kalau bisa tolong jangan ngebut. Aku melayang-layang, pipiku mungkin merona karena rasanya hangat. Mas Yasa memang baik, dia bilang aku harus rajin belajar supaya nilai-nilaiku menjadi lebih baik dan bisa lulus ujian. Aku seperti pernah mendengar nasihat seperti itu, tapi mendengarnya langsung dari Mas Yasa rasanya berbeda sekali. Mulai detik itu, aku berjanji akan sungguh-sungguh belajar. Ternyata ia kenal aku, ternyata ia juga tahu aku selalu melihatnya satiap pagi.

           Persiapan ujian benar-benar menguras tenagaku. Rasanya setiap pulang sekolah bahuku pegal-pegal, mataku berat, dan kakiku harus diseret untuk melangkah pulang. Aku belajar dengan giat, mungkin aku akan mendapat penghargaan dari pemerintah sebegai siswa teladan. Ibu prihatin dengan keadaanku sehingga menyarankan bapak untuk mengantar dan menjemputku menggunakan mobil saja, jadi aku bisa istirahat dalam perjalanan. Aku bersyukur lahir di dalam keluarga ini.

          Seandainya saja aku tahu bahwa kamis waktu itu adalah pertemuan terakhir dengan Mas Yasa, pasti aku akan... ah aku tidak tahu akan melakukan apa. Setelah ujian nasional selesai, aku baru tahu bahwa Mas Yasa dan keluarganya sudah pindah entah kemana. Menurut kabar yang beredar adalah orangtuanya bercerai. Aku tidak terlalu mengerti. Saat hal itu kutanyakan pada ibu, aku diingatkan agar jangan ikut-ikutan mengenai kabar burung tersebut. Mas Yasa harus tahu, aku tidak masalah dengan kabar itu dan aku juga ingin bilang bahwa aku lulus dengan nilai yang baik.

        Setelah tiga belas tahun berlalu, aku sudah mulai melupakan Mas Yasa. Mungkin itu karena cinta monyet. Bapak bahkan sekarang sedang main catur bersama Rajeg, teman kerjaku yang berkali-kali bilang bahwa suatu hari ia akan melamarku. Ya, sekitar empat kali sejak kami kuliah di jurusan dan kampus yang sama bahkan sekarang pun kami bekerja di lingkungan yang sama. Kata bapak, kalau saja Rajeg bisa sering-sering mengalahkan bapak dalam bermain catur, mungkin saja ia akan diterima sebagai menantu. Tapi Rajeg selalu mengelak, dia bilang harus mengalah pada yang tua. Suasana rumah jadi lebih ceria kalau Rajeg datang, dia humoris.

          “El, kamu belum ingin menikah?”
          “Ingin, bu. Tapi belum ketemu aja sama yang pas”
          “Kalau nunggu yang begitu, mau sampai kapan?”
          “Sebentar lagi ibuku sayang. Sabar ya, bu”.

           Dapur kami sekarang catnya sudah tidak berwarna hijau, tapi kuning gading. Ibu ingin suasana yang lebih cerah. Karena anak satu-satunya belum bisa membuat hati ibu cerah, begitu alasannya waktu kutanya kenapa harus ganti warna. Aku bukannya tidak ingin menikah. Tapi pada setiap pinangan yang datang, ada saja yang membuatku merasa sebaiknya jangan kuterima dulu. Mungkin aku butuh liburan dan aku akan mengajukan cuti tambahan supaya aku bisa lebih leluasa. Aku juga tidak ingin menjadi beban untuk bapak dan ibu.

           Aku memilih Belitung untuk mengisi liburanku. Bapak dan ibu mengantarku ke bandara, kami berfoto sebelum aku berangkat. Kemudian ibu juga berkelakar siapa tahu liburan ini aku bertemu dengan jodohku. Aku aminkan saja, supaya ibu benar-benar mengizinkanku liburan sendirian seperti ini. Aku hanya akan pergi selama tiga hari dua malam, tetapi mereka dengan penuh cinta memperlakukan aku seperti halnya akan pergi selama satu minggu, terlihat dari bekal makanan yang mereka jejalkan di dalam tasku.

         Ternyata bekal yang kubawa benar-benar berguna. Aku perlu itu semua untuk mengisi tenagaku saat menikmati indahnya Pulau Lengkuas. Aku berkeliling pulau, mengunjungi mercusuar yang konon usianya sudah ratusan tahun. Air lautnya sangat jernih, sayang sekali bila datang ke Pulau Lengkuas tapi tidak snorkling. Aku mengambil banyak gambar sebagai kenang-kenangan, seperti yang pernah dikatakan seseorang bahwa satu gambar bisa berarti seribu kata. Dari ratusan gambar yang kuambil, beberapa orang terekam di dalamnya. Aku mulai tertarik karena ingat perkataan ibu, siapa tahu ketemu jodoh.

            “Ketemu jodohnya, El?”
            “Ibu, El itu pergi kesana untuk liburan. Bukan cari jodoh”.

Akhirnya hanya itu saja jawaban yang dapat kuberikan untuk ibu. Rajeg juga ikut-ikutan meledekku dengan dalih meminta oleh-oleh, malam ini dia datang ke rumah. Sebagai pembalasan aku memamerkan foto-foto yang kuambil selama aku liburan. Rajeg memuji kemampuan fotografiku, aku jadi jumawa sehingga dengan percaya diri aku sesumbar seharusnya fotoku layak tampil dalam wajalah wisata. Bapak sampai tersedak saat aku bilang begitu. Kami semua tertawa, malam itu aku melupakan perihal jodoh yang selalu dibahas sejak tadi.

“Halo, selamat pagi. Dengan Mbak Elegi”
“Iya, saya. Maaf, ada perlu apa?”
“....”

Jangankan kau, kebetulan semacam ini bahkan akupun tidak percaya. Jadi minggu lalu aku benar-benar mengirimkan beberapa foto yang kuambil di Pulau Lengkuas dan baru saja aku menerima telpon bahwa fotoku dimuat di salah satu majalah wisata. Sebagai apresiasi mereka memberikan tiket bermalam di salah satu hotel ternama di kota kami. Aku sangat antusias sekali sampai tidak ingin lanjut tidur lagi. Karena masih sangat pagi aku memutuskan untuk berolah raga, menghirup udara segar pagi ini.

Sudah banyak yang berubah di lingkungan rumah kami. Rasanya aku terlalu cepat tumbuh. Lampu jalan masih menyala. Kursi di taman kompleks perumahan kami mulai basah karena embun. Aku berhenti di depan rumah yang pernah ditempati oleh Mas Yasa. Setiap adegan berkelebatan, tentang cinta pertamaku, cinta monyetku. Aku ingat sering membuka helm saat berangkat sekolah demi sedikit melihat ia sedang menyiram bunga. Atau aku pura-pura membenarkan tali sepatu saat sore hari di depan rumahnya. Mas Yasa, sekarang dimana?.

Aku tahu bahwa aku beruntung karena bisa mendapatkan hadiah dari perbuatan isengku mengirimkan foto. Tapi kini aku tahu bahwa ternyata aku sangat beruntung. Pertanyaanku sebelumnya langsung terjawab.

“Apa kabar, Elegi?”
“..... Mas Yasa”

Mas Yasa baru saja mutasi kerja kembali ke kota kami. Ia bekerja di hotel tempat aku mendapat hadiah menginap gratis. Dari penampilan dan perlakuan karyawan hotel terhadapnya, aku bisa menilai bahwa Mas Yasa adalah orang yang cukup penting disini. Aku tidak melihat ada cincin pada setiap jari Mas Yasa. Entah mengapa aku tiba-tiba bernafas lega. Obrolan kami tidak berlangsung lama, karena ia harus melanjutkan pekerjaannya.

“Mas simpan nomormu ya, El. Besok malam mas telpon”.

Dulu aku pernah belajar mati-matian hanya karena Mas Yasa yang meminta. Maka saat ia meminta nomorku dan berjanji akan menelpon, aku akan menunggu. Aku bahkan sudah menunggu selama beberapa hari sampai akhirnya belasan tahun berlalu. Ternyata memang ada seseorang di hatiku. Ada yang belum selesai. Aku mengangguk sebagai tanggapan ada pernyataan Mas Yasa. Kami saling berpamitan, kutambahkan juga bahwa aku akan menunggu telpon darinya.

Aku ketik pesan untuk ibu... “Bu, ingat Mas Yasa?”.
---


Dari Notesofgea:
Aku mulai menulis karena keresahan, pada setiap kalimat yang menuntutku menjawab dengan yakin "Sudahkan jujur pada diri sendiri?". Menjawab itu, bukan perkara mudah.
Kemudian, apa kau tahu apa artinya Elegi?. Carilah artinya.
Bila kau begitu senggang membaca tulisan ini, ketiklah komentar dan sarankan beberapa hal untukku.

Saturday, April 13, 2019

Klik Bait

Saat burung-burung terbang pulang.
Kita lupa dimana melekatkan sayap.
Patah sudah, tertinggal sudah kita.
Kita berjalan lunglai, gontai, entah kemana.
Mata tajam, mata jalang, mata duitan, semua mengamati.
Risih nian sehingga ingin kutusuk dengan jemari busuk.
Pada jalanan yang penuh debu ini,
kita temukan harga diri.
Kita tidak harus selalu terbang.
Biar pulang yang menghampiri kita.
Mengantarkan sayap-sayap baru.
Memangnya kita butuh itu?
Sekarang kita sudah menjelma menjadi pohon.
Tidak berduri, berbunga harum, berakar tunggang.
Kita bisa saja menjadi lautan. Tempat damai dan sampah berlabuh.
Atau kau ingin menjadi aku? yang kini sedang menjadi engkau.


----- Sore hari waktu hujan tiba-tiba datang. Padahal langit terang.
Aku dan SRF, di ruangan dengan dua ac, satu kulkas, dan cctv.

Tuesday, April 2, 2019

Ibu Kandung?

Saya adalah seorang ibu. Meski bukan ibu yang rahimnya dibuahi sampai akhirnya mengandung dan melahirkan satu, dua, tiga, dan banyak anak. Tapi saya adalah seorang ibu. Saya tanam dan pelihara dengan kuat bahwa saya adalah seorang ibu. Apapun yang saya lakukan untuk anak-anak adalah karena saya ibunya. Saya berhak memberikan yang terbaik dan melihat anak-anak saya menerima perlakuan yang baik.

Suatu ketika saya mendapati ternyata anak saya melakukan hal yang kurang atau bahkan tidak baik. Padahal saya sudah berusaha dan merasa yakin telah memberikan banyak cinta dan kasih untuk anak. Secara naluri saya sempat bersikeras, bukan anak saya yang salah. Bukan saya yang salah. Pasti ada orang lain yang paling tepat untuk disalahkan. Dunia ini penuh dengan orang-orang jahat, salah satu dari mereka pasti telah bertemu dengan anak saya dan membisikkan sesuatu. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin anak saya melakukan hal yang tidak baik?.

Seiring dengan berjalannya waktu, naluri saya tetap kalah dengan logika. Saya sadar, saya belum benar-benar menjadi seorang ibu. Naluri saya mungkin tidak benar-benar ikhlas. Logika adalah bagian yang  lebih kuat yang bisa saya andalkan dalam menghadapi masalah. Berdasarkan fakta, bukti, dan bahkan argumentasi bagaimanapun, sesuatu yang salah tetaplah salah dan yang benar akan selalu saja ada jalannya sehingga muncul ke permukaan. Kodrat. Meski selalu saja ada ketidakadilan di dunia ini, anak yang salah harus menerima risikonya. Secara langsung maupun tidak langsung, saja turut juga menanggung risiko tersebut.

Terlalu memanjakan anak akan berbahaya bagi masa depannya kelak. Maka saya memutuskan untuk menjadikan momentum ini sebagai pengalaman berharga untuk saya dan anak saya. Peran pendidikan sangat penting bagi kami saat ini. Kami harus maju mendekat pada pemilik semesta, walaupun berat tetapi kami harus berusaha. Saya mungkin bisa saja melakukannya, tetapi ini bukan hal yang mudah untuk anak saya. Jangan terlalu cepat disimpulkan bahwa kami tidak bisa, bisa!. Saya siap melalui proses menanggung risiko, anak saya juga siap. Saya adalah ibu dan anak yang kompak. Walaupun masih banyak rahasia di antara kami, kami siap.

Ketidakadilan yang sempat dibiarkan itu, ternyata bergerak mendekat, menekan dengan lekat, sehingga saya tercekat. Apakah barusan ini saya sudah seperti seorang ibu kandung? belum juga sih sepertinya. Hanya saja, tentu saya akan sangat kecewa jika ada masalah yang lebih besar lagi tetapi dilewatkan begitu saja. 
 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design