Saturday, April 2, 2016

Dari Kami untuk Lesten

Sejak bulan dalam kelambu lalu bulat penuh, hingga bulan berlalu malu-malu... kami masih di perjalanan. Kali ini langkah kaki dan tujuan hati adalah Lesten. Di Gayo Lues, Lesten sangat terkenal sedemikian rupa. Di antara semua rekan yang sama-sama mengabdi di Kecamatan Pining, hanya saya yang belum pernah berkunjung ke Lesten.

Sama halnya dengan daerah terpencil dimanapun di seluruh Indonesia. Lesten juga sulit diakses menggunakan kendaraan. Beberapa sepeda motor yang telah dimodifikasi atau bahkan dipaksakan memang akan mampu menembus balantara dan jalan yang hanya satu-satunya dari dan menuju Lesten. Selain itu, kendaraan atau angkutan yang paling terkenal adalah Jonder. Duduk di atas Jonder seperti menonton diri sendiri dalam film-film perkebunan di Eropa sana. Ban Jonder bahkan melebihi tinggi tubuh saya. Hanya tiga orang yang mestinya bisa duduk nyaman di dalam Jonder, tapi berkat sedikit sentuhan adaptasi, 20 – 30 orang pun bisa diangkut oleh Jonder


Saya dan rombongan berangkat hari Jum’at, 25 Maret 2016 siang hari setelah menunaikan ibadah shalat Jum’at bagi yang berkewajiban, rencananya begitu. Ternyata sat jam setelahnya barulah kami berangkat, sekitar pukul tiga sore hari. Matahari masih tinggi, setelah diberi waktu untuk manja kepada Tuhan, kami berdoa dengan gaya masing-masing dan siap berangkat. Pada awal perjalanan ini kami masih banyak tertawa, berfoto ria, dan berpegangan secukupnya. Kelak beberapa jam kemudian kami mulai berkonsentrasi, lupa pada kamera, dan berpegangan seeratnya.

Perjalanan ini disponsori oleh Bapak dan Ibu Guru Garis Depan Kabupaten Gayo Lues. Ini adalah kesempatan kedua bagi saya setelah melewatkan kesempatan pertama bersama SM3T V Gayo Lues. Mengapa kami ke Lesten? Tentu saja karena ada yang kami tuju dan ada yang kami harapkan. Yang kami tuju adalah SD N 8 Pining dan yang kami harapkan adalah senyum mereka. Mungkin ini terasa berlebihan, tapi nyatanya bagi 16 orang anak-anak itu kedatangan kami sangat berarti. Warga Kampung Lesten sangat jarang mendapat kunjungan, meskipun pernah diliput oleh salah satu stasiun televisi tapi belum tayang juga.

Bebrapa orang murid SMP N 1 Pining tempat saya mengajar berasal dari Lesten. Maka kedatangan saya kali pertama ke Lesten saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk bersilaturahmi dengan wali murid dan keluarganya. Karena tentu saja mereka berbeda, sementara wali murid lainnya bisa saya kunjungi kapanpun setiap harinya, wali murid dari Lesten tidak semudah itu, harus berjalan kaki selama 9 jam atau duduk terguncang-guncang di atas Jonder selama 6 jam, pilihan yang sama-sama membuat otot menjadi kaku.

Di beberapa tempat tertentu penumpang harus turun, terutama para lelaki. Mereka harus turun untuk mengurangi beban ketika jalan menanjak atau membantu membebaskan tubuh Jonder yang terjebak dalam genangan lumpur dan tanah yang licin. Saat ini sedang musim kemarau, jalan sudah demikian sulitnya. Bayangkan saja bila medan yang menanjak dan menurun ini harus dilalui pada musim penghujan, saya rasa mereka, orang-orang dari dan menuju Lesten itu sangat luar biasa.

Salah seorang Guru Garis Depan Kabupaten Gayo Lues ditempatkan di SD N 8 Pining, Pak Dika. Beliau beserta empat orang guru lainnya termasuk kepala sekolah, bagi kami yang mengenalnya adalah orang yang tangguh. Mungkin ada Bapak, Ibu, Kakak, atau bahkan teman-teman yang daerah penempatannya semasa SM3T lebih sulit. Maka ini adalah penilaian yang relatif, karena saya belum pernah menemui tempat yang lebih “sulit” keadaannya daripada Lesten.

Dalam waktu yang singkat itu, Bapak dan Ibu Guru Garis Depan Kabupaten Gayo Lues mengisi kegiatannya dengan sangat menarik. Tidak hanya memberikan bingkisan bagi anak-anak dan sekolah, sempat pula diadakan lomba mewarnai yang dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelas besar yang diikuti kelas 4, 5 , dan 6, dan kelas kecil yang diikuti kelas 1, 2, dan 3. Anak-anak sangat antusias mengikuti kegiatan. Bermain dengan warna, mereka tidak peduli bila gambar orang diberi warna merah dan rambutnya berwarna hijau seperti buah cabe. Mereka juga menyanyikan beberapa lagu wajib dengan nada yang lari kesana-kemari dengan penuh penghayatan dan percaya diri. Dengan hanya melihat, kita akan tahu bahwa mereka bahagia.

26 Maret 2016, gerimis kecil mengundang petrichor. Terlalu dramatis dan mengada-ada bila terselip rasa “Langit pun bersedih ketika kami akan berpisah”. Pemandangan sekeliling sekolah biasa saja. Mushala yang tampak rusak dan jarang digunakan. Ruang kelas yang berdebu karena hanya dua dari tiga kelas yang digunakan. Ruang guru dan perpustakaan berada dalam ruangan yang sama. Dua buah rumah dinas guru yang baru dibangun, salah satunya sudah rusak. Jangan berburuk sangka karena dikorupsi ini itunya. Rusaknya rumah dinas yang masih baru itu karena ditabrak gajah.

Lesten dan Gajah adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Di Lesten masih ada, masih banyak Gajah. Meskipun saya belum pernah melihat secara langsung, tetapi kotoran Gajah yang kami lihat di sepanjang perjalanan dengan bau yang sangat menyengat dan masih basah adalah bukti keberadaan mereka. Jalur pejalan kaki, motor, dan jonder adalah jalur yang sama biasa dilalui oleh Gajah. Masyarakat dan pemerintahan setempat sangat bangga dengan masih lestarinya Gajah di daerah mereka.

Menurut kabar yang beredar, tahun ini akan segera dibangun SMP Satu Atap di Lesten. Itu artinya akan ada kemajuan dalam bidang pendidikan. Beberapa anak yang sudah putus sekolah setahun belakangn ini sangat menantikan bakal sekolah baru mereka. Selain itu tentu akan ada guru baru lagi untuk mengajar jenjang yang lebih tinggi tersebut. Dalam perjalanan juga kami melihat adanya patok-patok yang menunjukkan ukuran jalan. Kelak jalan tanah sepanjang 18 KM ini akan berubah warna menjadi hitam karena aspal. Lesten akan segera ramai dikunjungi orang.

Tugas yang tidak mudah bagi guru, pemerintah dan juga masyarakat untuk mempersiapkan diri menerima segala perubahan yang akan segera mereka alami. Pergeseran nilai adalah hal yang sangat riskan terjadi. Saya Guru SM3T malu-malu saya mengakui, belum tentu bisa bertahan dalam kondisi seperti yang mereka alami selama ini, listrik dari panel surya yang terbatas dan banyak yang sudah rusak, tanpa sinyal telpon seluler, populasi yang tidak lebih dari 200 orang, jauh dari sentuhan modern padahal mereka tidak konservatif, dan akan semakin banyak lagi bila saya terus membandingkan dengan hidup dan gaya hidup saya selama ini.


Menjelang tengah hari, kami beranjak pulang. Entah kapan bisa datang ke Lesten lagi. Entah harus dengan bahasa yang bagaimana kelak kembali akan saya ceritakan tentang Lesten. Dimanapun kita merasa nyaman, beranjaklah melihat ke sekitar kita. Ada banyak orang yang tidak seberuntung kita yang bisa berleha-leha di depan telvisi, mengenggam telpon seluler bersosial media tanpa bersosialisasi nyata, dan menikmati segala fasilitas apapun dengan mudah. Sebaliknya, ada lebih banyak lagi orang yang berada dalam serba keterbatasan tetapi mereka lebih bahgia dari kita. Jangan lupa bersyukur.


Bapak, Ibu... salam dari anak Lesten. Semangat mengajar, ya. Berkunjunglah ke tempat kami J.
 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design