Sejak bulan dalam kelambu lalu
bulat penuh, hingga bulan berlalu malu-malu... kami masih di perjalanan. Kali
ini langkah kaki dan tujuan hati adalah Lesten. Di Gayo Lues, Lesten sangat
terkenal sedemikian rupa. Di antara semua rekan yang sama-sama mengabdi di
Kecamatan Pining, hanya saya yang belum pernah berkunjung ke Lesten.
Sama halnya dengan daerah
terpencil dimanapun di seluruh Indonesia. Lesten juga sulit diakses menggunakan
kendaraan. Beberapa sepeda motor yang telah dimodifikasi atau bahkan dipaksakan
memang akan mampu menembus balantara dan jalan yang hanya satu-satunya dari dan
menuju Lesten. Selain itu, kendaraan atau angkutan yang paling terkenal adalah
Jonder. Duduk di atas Jonder seperti menonton diri sendiri dalam film-film
perkebunan di Eropa sana. Ban Jonder bahkan melebihi tinggi tubuh saya. Hanya
tiga orang yang mestinya bisa duduk nyaman di dalam Jonder, tapi berkat sedikit
sentuhan adaptasi, 20 – 30 orang pun bisa diangkut oleh Jonder
Saya dan rombongan berangkat hari
Jum’at, 25 Maret 2016 siang hari setelah menunaikan ibadah shalat Jum’at bagi
yang berkewajiban, rencananya begitu. Ternyata sat jam setelahnya barulah kami
berangkat, sekitar pukul tiga sore hari. Matahari masih tinggi, setelah diberi
waktu untuk manja kepada Tuhan, kami berdoa dengan gaya masing-masing dan siap
berangkat. Pada awal perjalanan ini kami masih banyak tertawa, berfoto ria, dan
berpegangan secukupnya. Kelak beberapa jam kemudian kami mulai berkonsentrasi,
lupa pada kamera, dan berpegangan seeratnya.
Perjalanan ini disponsori oleh
Bapak dan Ibu Guru Garis Depan Kabupaten Gayo Lues. Ini adalah kesempatan kedua
bagi saya setelah melewatkan kesempatan pertama bersama SM3T V Gayo Lues.
Mengapa kami ke Lesten? Tentu saja karena ada yang kami tuju dan ada yang kami
harapkan. Yang kami tuju adalah SD N 8 Pining dan yang kami harapkan adalah
senyum mereka. Mungkin ini terasa berlebihan, tapi nyatanya bagi 16 orang
anak-anak itu kedatangan kami sangat berarti. Warga Kampung Lesten sangat
jarang mendapat kunjungan, meskipun pernah diliput oleh salah satu stasiun
televisi tapi belum tayang juga.
Bebrapa orang murid SMP N 1
Pining tempat saya mengajar berasal dari Lesten. Maka kedatangan saya kali
pertama ke Lesten saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk bersilaturahmi dengan
wali murid dan keluarganya. Karena tentu saja mereka berbeda, sementara wali
murid lainnya bisa saya kunjungi kapanpun setiap harinya, wali murid dari
Lesten tidak semudah itu, harus berjalan kaki selama 9 jam atau duduk
terguncang-guncang di atas Jonder selama 6 jam, pilihan yang sama-sama membuat
otot menjadi kaku.
Di beberapa tempat tertentu
penumpang harus turun, terutama para lelaki. Mereka harus turun untuk
mengurangi beban ketika jalan menanjak atau membantu membebaskan tubuh Jonder
yang terjebak dalam genangan lumpur dan tanah yang licin. Saat ini sedang musim
kemarau, jalan sudah demikian sulitnya. Bayangkan saja bila medan yang menanjak
dan menurun ini harus dilalui pada musim penghujan, saya rasa mereka,
orang-orang dari dan menuju Lesten itu sangat luar biasa.
Salah seorang Guru Garis Depan
Kabupaten Gayo Lues ditempatkan di SD N 8 Pining, Pak Dika. Beliau beserta
empat orang guru lainnya termasuk kepala sekolah, bagi kami yang mengenalnya
adalah orang yang tangguh. Mungkin ada Bapak, Ibu, Kakak, atau bahkan
teman-teman yang daerah penempatannya semasa SM3T lebih sulit. Maka ini adalah
penilaian yang relatif, karena saya belum pernah menemui tempat yang lebih
“sulit” keadaannya daripada Lesten.
Dalam waktu yang singkat itu,
Bapak dan Ibu Guru Garis Depan Kabupaten Gayo Lues mengisi kegiatannya dengan
sangat menarik. Tidak hanya memberikan bingkisan bagi anak-anak dan sekolah,
sempat pula diadakan lomba mewarnai yang dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu
kelas besar yang diikuti kelas 4, 5 , dan 6, dan kelas kecil yang diikuti kelas
1, 2, dan 3. Anak-anak sangat antusias mengikuti kegiatan. Bermain dengan
warna, mereka tidak peduli bila gambar orang diberi warna merah dan rambutnya
berwarna hijau seperti buah cabe. Mereka juga menyanyikan beberapa lagu wajib
dengan nada yang lari kesana-kemari dengan penuh penghayatan dan percaya diri.
Dengan hanya melihat, kita akan tahu bahwa mereka bahagia.
26 Maret 2016, gerimis kecil
mengundang petrichor. Terlalu dramatis dan mengada-ada bila terselip rasa
“Langit pun bersedih ketika kami akan berpisah”. Pemandangan sekeliling sekolah
biasa saja. Mushala yang tampak rusak dan jarang digunakan. Ruang kelas yang
berdebu karena hanya dua dari tiga kelas yang digunakan. Ruang guru dan
perpustakaan berada dalam ruangan yang sama. Dua buah rumah dinas guru yang
baru dibangun, salah satunya sudah rusak. Jangan berburuk sangka karena
dikorupsi ini itunya. Rusaknya rumah dinas yang masih baru itu karena ditabrak
gajah.
Lesten dan Gajah adalah dua hal
yang tidak terpisahkan. Di Lesten masih ada, masih banyak Gajah. Meskipun saya
belum pernah melihat secara langsung, tetapi kotoran Gajah yang kami lihat di
sepanjang perjalanan dengan bau yang sangat menyengat dan masih basah adalah
bukti keberadaan mereka. Jalur pejalan kaki, motor, dan jonder adalah jalur
yang sama biasa dilalui oleh Gajah. Masyarakat dan pemerintahan setempat sangat
bangga dengan masih lestarinya Gajah di daerah mereka.
Menurut kabar yang beredar, tahun
ini akan segera dibangun SMP Satu Atap di Lesten. Itu artinya akan ada kemajuan
dalam bidang pendidikan. Beberapa anak yang sudah putus sekolah setahun
belakangn ini sangat menantikan bakal sekolah baru mereka. Selain itu tentu
akan ada guru baru lagi untuk mengajar jenjang yang lebih tinggi tersebut.
Dalam perjalanan juga kami melihat adanya patok-patok yang menunjukkan ukuran
jalan. Kelak jalan tanah sepanjang 18 KM ini akan berubah warna menjadi hitam
karena aspal. Lesten akan segera ramai dikunjungi orang.
Tugas yang tidak mudah bagi guru,
pemerintah dan juga masyarakat untuk mempersiapkan diri menerima segala
perubahan yang akan segera mereka alami. Pergeseran nilai adalah hal yang
sangat riskan terjadi. Saya Guru SM3T malu-malu saya mengakui, belum tentu bisa
bertahan dalam kondisi seperti yang mereka alami selama ini, listrik dari panel
surya yang terbatas dan banyak yang sudah rusak, tanpa sinyal telpon seluler,
populasi yang tidak lebih dari 200 orang, jauh dari sentuhan modern padahal
mereka tidak konservatif, dan akan
semakin banyak lagi bila saya terus membandingkan dengan hidup dan gaya hidup
saya selama ini.
Menjelang tengah hari, kami
beranjak pulang. Entah kapan bisa datang ke Lesten lagi. Entah harus dengan
bahasa yang bagaimana kelak kembali akan saya ceritakan tentang Lesten.
Dimanapun kita merasa nyaman, beranjaklah melihat ke sekitar kita. Ada banyak
orang yang tidak seberuntung kita yang bisa berleha-leha di depan telvisi,
mengenggam telpon seluler bersosial media tanpa bersosialisasi nyata, dan
menikmati segala fasilitas apapun dengan mudah. Sebaliknya, ada lebih banyak
lagi orang yang berada dalam serba keterbatasan tetapi mereka lebih bahgia dari
kita. Jangan lupa bersyukur.
Bapak, Ibu... salam dari anak
Lesten. Semangat mengajar, ya. Berkunjunglah ke tempat kami J.