Hari ini hujan, kemarin hujan,
hari kemarinnya juga turun hujan.. Halo, hujan. Ternyata kau merajai hari-hari
di bulan belakangan ini. Terima kasih, pagi ini aku kehujanan. Sebagai salah
satu penggemar beratmu, aku ndak keberatan harus kehujanan sepagi itu, lagipula
kata orang, hujan adalah waktu yang tepat untuk menyembunyikan air mata.
Padahal aku ndak perlu menyembunyikan apapun kan? Memangnya kenapa kalau aku
menangis? Walaupun setiap hari turun hujan tetapi aku menangis di tengah
panggung, lalu apalagi yang bisa aku sembunyikan? Hadapi, jangan pernah
bersembunyi lagi. Ndak ada korelasi yang logis bagiku antara hujan dan air
mata.
Katanya hujan itu gambarn bahwa
langit sedang bersedih, bumi berduka, seperti kita yang menangis karena hal
itu. Ah, mereka belum mengenal aku rupanya. Bahkan tanpa hal hal yang pedih,
perih, luka, lara, sedu, dan sedan pun aku bisa menangis. Bukan sandiwara. Tapi
karena air mataku ini memang agak murahan, itu sudah teruji oleh waktu. Aku
bahkan bisa menangis hanya dengan melihat senyum seseorang, atau waktu aku
melihat daun gugur, terhembus angin yanglebih sejuk dari biasanya pun aku bisa
menangis.
Perempuan adalah makhluk tangguh
ya ada di muka bumi ini, dia sanggup mengandung hingga membesarkan satu, dua,
tiga, empat, dan banyak anak. Bahkan dia sanggup membuangnya atau melakukan hal keji lainnya. Air mata
perempuan adalah hal yang sering dibicarakan orang-orang. Air mata ibu, air
mata kekasihmu, sahabatmu, bahkan perempuan dengan pekerjaan paling hina pun
berhak memegang tropi perempuan tangguh karena air matanya. Katanya lagi, air
mata perempuan itu simbol ketangguhan ketika beban berat menimpanya, dan simbol
ketulusan. Bagiku, air mataku pnya fungsi yang sudah sangat hebat dan aku
menghargainya. Terima kasih air mataku, kau sudah membersihkan mataku dari
kotoran yang bahkan ndak bisa kulakukan sendirian.
Sekarang masih hujan, mungkin
tepatnya ini adalah gerimis. Aku sudah berteduh, dan aku belum menangis.
Kemarin, antara waktu yang hampir
sama dengan hari ini. Aku pergi ke tempat ibadah, tempat paling nyaman setelah
pelukan ibuku. Katanya ini rumah Tuhan. Aku ndak melakukan apapun, hanya
melihat ke luar ruangan, berharap bisa melihat hembusan angin. Aku harap
anginnya berwarna hijau, warna kesukaanku. Kemudian aku mendengar sesuatu yang
ndak aku ketahui awalnya dan ndak aku fahami akhirnya. Aku ada di bagian
tengah.
Begini....
Kita adalah manusia yang
berbudaya, tetapi budaya kita dengan orang lain sangatlah berbeda *tentusaja*
aku bahkan mempelajarinya sejak sekolah dasar. Kebudayaan kita orang di negara
kepulauan yang termasuk negara ketiga yang sangat luas yaitu Indoneisia,
memliki budaya peduli yang sangat tinggi. Ketika bertemu dengan seseorang kita
akan bertanya “Darimana?” atau “Mau kemana?”. Orang lain di luar kelompok kita
katanya ndak memiliki budaya seperti itu, bahkan negara dimana ajaran kebenaran
dari Tuhan yang banyak dianut oleh orang di dunia, termasuk aku, juga ndak
memiliki budaya begitu. Mereka mengurusi masalahnya sendiri-sendiri.
Lalu?
Lalu pagi ini aku bertemu dengan
seorang teman. Ah salah, aku bahkan ndak punya teman. Sebaiknya aku katakan aku
bertemu dengan seseorang yang aku kenal. Kami saling menyapa dengan senyum. Aku
sebagai orang yang lebih muda merasa itu kurang santun. Jelas ini basa-basi
karena aku ndak sungguh-sungguh ingin tahu. Aku bilang “Darimana?” dan dia
jawab “makan”. Lalu kami saling berlalu dan kepalaku seperti tertimpa batu
besar. Hei, kenap aku bertanya tentang hal yang ndak ingin aku ketahui? Umumya,
ini berdasarkan pengalamanku pula.. waktu kita tanya “Darimana?” lalu dia
menjawab dengan menyebutkkan suatu tempat maka insha allah pertanyaan
selanjutnya adalah “Ngapain?”.
Nah, pertanyaan ngapain itu yang
sangat berbahaya, terutama untukku. Itu bisa membawaku ke surga dan potensi
membawaku ke neraka akan lebih besar. Mengapa? Ah, kalian mulai banyak bertanya
seperti aku saja. Jelasnya, kelak aku akan lebih berhati-hati dalam bertanya
dan memberikan jawaban. Karena rasa ingin tahu itu bisa saja berujung pada
simpati dan antek-anteknya. Tapi selama berjalan di bawah rintik hujan, aku
merasa pertanyaan itu hanya akan memenuhi rasa ingin tahuku, lalu aku bisa
menyampaikannya pada orang lain yang rasa ingin tahunya lebih dari aku, dan
seterusnya....
Sekarang di luar masih hujan dan
aku sama sekali ndak keberatan untuk menunggu. Terima kasih untuk orang tua
yang masih ada, ada tapi menghilang, dan sudah ndak ada. Terima kasih untuk
kapten dan jendral di luar sana yang sudah berjuang dengan gagah dan baik.
Terima kasih untuk guru-guru nan mulia hatinya. Terima kasih untuk atasan dan
bawahan yang selalu berpasangan. Terima kasih untuk mata teduh. Terima kasih...
untuk setiap tetesan hujan yang kita rasakan bersama. Selamat berjuang.
0 komentar:
Post a Comment