Friday, January 16, 2015

Hujan, Budaya, dan Air Mata

Hari ini hujan, kemarin hujan, hari kemarinnya juga turun hujan.. Halo, hujan. Ternyata kau merajai hari-hari di bulan belakangan ini. Terima kasih, pagi ini aku kehujanan. Sebagai salah satu penggemar beratmu, aku ndak keberatan harus kehujanan sepagi itu, lagipula kata orang, hujan adalah waktu yang tepat untuk menyembunyikan air mata. Padahal aku ndak perlu menyembunyikan apapun kan? Memangnya kenapa kalau aku menangis? Walaupun setiap hari turun hujan tetapi aku menangis di tengah panggung, lalu apalagi yang bisa aku sembunyikan? Hadapi, jangan pernah bersembunyi lagi. Ndak ada korelasi yang logis bagiku antara hujan dan air mata.

Katanya hujan itu gambarn bahwa langit sedang bersedih, bumi berduka, seperti kita yang menangis karena hal itu. Ah, mereka belum mengenal aku rupanya. Bahkan tanpa hal hal yang pedih, perih, luka, lara, sedu, dan sedan pun aku bisa menangis. Bukan sandiwara. Tapi karena air mataku ini memang agak murahan, itu sudah teruji oleh waktu. Aku bahkan bisa menangis hanya dengan melihat senyum seseorang, atau waktu aku melihat daun gugur, terhembus angin yanglebih sejuk dari biasanya pun aku bisa menangis.

Perempuan adalah makhluk tangguh ya ada di muka bumi ini, dia sanggup mengandung hingga membesarkan satu, dua, tiga, empat, dan banyak anak. Bahkan dia sanggup membuangnya  atau melakukan hal keji lainnya. Air mata perempuan adalah hal yang sering dibicarakan orang-orang. Air mata ibu, air mata kekasihmu, sahabatmu, bahkan perempuan dengan pekerjaan paling hina pun berhak memegang tropi perempuan tangguh karena air matanya. Katanya lagi, air mata perempuan itu simbol ketangguhan ketika beban berat menimpanya, dan simbol ketulusan. Bagiku, air mataku pnya fungsi yang sudah sangat hebat dan aku menghargainya. Terima kasih air mataku, kau sudah membersihkan mataku dari kotoran yang bahkan ndak bisa kulakukan sendirian.

Sekarang masih hujan, mungkin tepatnya ini adalah gerimis. Aku sudah berteduh, dan aku belum menangis.

Kemarin, antara waktu yang hampir sama dengan hari ini. Aku pergi ke tempat ibadah, tempat paling nyaman setelah pelukan ibuku. Katanya ini rumah Tuhan. Aku ndak melakukan apapun, hanya melihat ke luar ruangan, berharap bisa melihat hembusan angin. Aku harap anginnya berwarna hijau, warna kesukaanku. Kemudian aku mendengar sesuatu yang ndak aku ketahui awalnya dan ndak aku fahami akhirnya. Aku ada di bagian tengah.

Begini....

Kita adalah manusia yang berbudaya, tetapi budaya kita dengan orang lain sangatlah berbeda *tentusaja* aku bahkan mempelajarinya sejak sekolah dasar. Kebudayaan kita orang di negara kepulauan yang termasuk negara ketiga yang sangat luas yaitu Indoneisia, memliki budaya peduli yang sangat tinggi. Ketika bertemu dengan seseorang kita akan bertanya “Darimana?” atau “Mau kemana?”. Orang lain di luar kelompok kita katanya ndak memiliki budaya seperti itu, bahkan negara dimana ajaran kebenaran dari Tuhan yang banyak dianut oleh orang di dunia, termasuk aku, juga ndak memiliki budaya begitu. Mereka mengurusi masalahnya sendiri-sendiri.

Lalu?

Lalu pagi ini aku bertemu dengan seorang teman. Ah salah, aku bahkan ndak punya teman. Sebaiknya aku katakan aku bertemu dengan seseorang yang aku kenal. Kami saling menyapa dengan senyum. Aku sebagai orang yang lebih muda merasa itu kurang santun. Jelas ini basa-basi karena aku ndak sungguh-sungguh ingin tahu. Aku bilang “Darimana?” dan dia jawab “makan”. Lalu kami saling berlalu dan kepalaku seperti tertimpa batu besar. Hei, kenap aku bertanya tentang hal yang ndak ingin aku ketahui? Umumya, ini berdasarkan pengalamanku pula.. waktu kita tanya “Darimana?” lalu dia menjawab dengan menyebutkkan suatu tempat maka insha allah pertanyaan selanjutnya adalah “Ngapain?”.

Nah, pertanyaan ngapain itu yang sangat berbahaya, terutama untukku. Itu bisa membawaku ke surga dan potensi membawaku ke neraka akan lebih besar. Mengapa? Ah, kalian mulai banyak bertanya seperti aku saja. Jelasnya, kelak aku akan lebih berhati-hati dalam bertanya dan memberikan jawaban. Karena rasa ingin tahu itu bisa saja berujung pada simpati dan antek-anteknya. Tapi selama berjalan di bawah rintik hujan, aku merasa pertanyaan itu hanya akan memenuhi rasa ingin tahuku, lalu aku bisa menyampaikannya pada orang lain yang rasa ingin tahunya lebih dari aku, dan seterusnya....

Sekarang di luar masih hujan dan aku sama sekali ndak keberatan untuk menunggu. Terima kasih untuk orang tua yang masih ada, ada tapi menghilang, dan sudah ndak ada. Terima kasih untuk kapten dan jendral di luar sana yang sudah berjuang dengan gagah dan baik. Terima kasih untuk guru-guru nan mulia hatinya. Terima kasih untuk atasan dan bawahan yang selalu berpasangan. Terima kasih untuk mata teduh. Terima kasih... untuk setiap tetesan hujan yang kita rasakan bersama. Selamat berjuang.


 

Notes Of Gea Template by Ipietoon Cute Blog Design